Strategi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme harus diubah menyusul banyaknya perempuan jadi target perekrutan kelompok teroris. Perlu dipelajari bagaimana ideologi radikal diterima dan memengaruhi perempuan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar, Dian Dewi Purnamasari
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program penanganan radikalisme dan terorisme yang melibatkan aktor perempuan dinilai tak sensitif jender dan terlalu maskulin. Jika pendekatan tak diubah, dikhawatirkan akar persoalan mengenai perempuan teroris tak tersentuh.
Ahli jender dan peneliti Rumah Kita Bersama (KitaB), Lies Marcoes Natsir, Selasa (6/4/2021), mengatakan, pendekatan terhadap perempuan yang terlibat radikalisme dan terorisme tidak memperhitungkan isu relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Pendekatan yang digunakan negara melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) masih melihat pelaku dengan kacamata maskulin, yaitu isu keamanan negara.
Alasan tersebut dapat dipahami karena, dalam sejarah, pelaku yang memiliki agenda dan misi menyerang keamanan negara adalah laki-laki. Akibatnya, perempuan terus-menerus dilihat sebagai korban, bukan sebagai pelaku aktif yang memiliki kehendak dan berkesadaran.
”Karena cara pandang yang digunakan BNPT adalah keamanan negara, perempuan dilihat bukan sebagai agen yang berdiri sendiri, melainkan sebagai korban dari suami, orangtua, dan pihak lain,” tutur Lies menerangkan.
Padahal, jika memakai sudut pandang feminisme, perempuan adalah pelaku aktif yang ingin menunjukkan eksistensinya. Namun, perempuan dalam budaya, sosial, dan agama kerap mengalami ketidakadilan sejak di ruang domestik karena seolah dianggap membawa dosa bawaan sehingga terus-menerus dilihat sebagai manusia lebih rendah (subordinasi). Demikian pula, akses mereka untuk beraktualisasi di ruang publik juga terbatas.
Dengan tekanan hidup yang semakin berat, perempuan pun punya kehendak untuk menciptakan perubahan. Karena merasa hidupnya tak bisa mencapai kesetaraan, dan membuat perubahan, mereka berpandangan perubahan bisa diciptakan di kehidupan setelah kematian. Paradigma inilah yang harus dilawan dan diluruskan melalui cara pandang feminisme yang mendorong perempuan untuk setara dan berkontribusi terhadap masyarakat.
”Seumur hidupnya, perempuan terus dipandang sebagai manusia yang lebih rendah, misalnya dengan anggapan mereka adalah aurat dan sumber fitnah. Teror seumur hidup itulah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai sosok yang rentan terhadap ideologi radikal. Mereka ingin hidup sekali, tetapi berarti meskipun kemudian mati berkeping karena bom bunuh diri,” papar Lies.
Sederet permasalahan seperti itu, kata Lies, tak bisa ditembus dengan pisau analisis keamanan negara. Analisis jender akan lebih relevan digunakan untuk membedah akar persoalan perempuan teroris.
Sebab, dalam hasil kajian Rumah Kitab tentang perempuan dan terorisme, ditemukan fakta bahwa perempuan adalah sosok yang punya semangat untuk membuat perubahan. Hanya saja, karena secara sosial-budaya dan agama dikonstruksikan sebagai manusia kelas dua, mereka merasa tak bisa membuat perubahan di dunia. Akhirnya, mereka memilih untuk menjadi pengantin (pelaku bom bunuh diri).
”Tidak ada yang menemani mereka, memberikan penyadaran kritis tentang jender dan sebagainya. Dengan demikian, mereka memilih melakukan amaliyah atau sesuatu yang mereka anggap baik untuk kehidupan setelah kematian. Paradigma ini harus diubah secara terus-menerus,” kata Lies.
Ubah strategi
Jika ingin mengubah pendekatan penanganan radikalisme dan terorisme pada perempuan, menurut Lies, strategi yang dilakukan BNPT harus diubah. Mereka tidak bisa hanya menggunakan pendekatan keamanan negara, tetapi juga keamanan manusia. BNPT perlu mempelajari bagaimana ideologi radikal diterima dan memengaruhi cara berpikir perempuan.
Selain itu, cara berdakwah dari pemuka agama Islam harus diubah menjadi lebih sensitif pada isu perempuan.
”Jangan sampai penggunaan keamanan negara terus yang didepankan karena ini sudah ketinggalan zaman. Perempuan harus diberi penyadaran bagaimana mereka bisa berkontribusi pada perubahan dengan cara yang damai dan humanis,” kata Lies.
Feminisasi terorisme
Dosen Prodi Kajian Terorisme Universitas Indonesia, Amanah Nurish, menambahkan, perempuan tidak bisa didefinisikan sebagai korban semata. Sekarang, sudah terjadi pergeseran cara pandang pada kelompok teroris, terutama Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berbaiat dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Bahkan, terdapat aliran feminisasi terorisme yang menempatkan perempuan sebagai garda terdepan gerakan terorisme. Sebab, perempuan dianggap memiliki nilai tawar dan kelebihan jika berada di garda terdepan terorisme.
”Perempuan yang bergabung dengan kelompok teroris kemudian memutuskan menjadi pengantin, lone wolf, atau berada di belakang layar itu punya kehendak bebas untuk menentukan. Bukan sekadar ikut-ikutan,” kata Amanah.
Menurut Amanah, feminisasi terorisme ini pun pada akhirnya laku di kalangan perempuan karena mereka berkeinginan untuk setara dengan para jihadis laki-laki. Ada resistensi dan upaya perlawanan terhadap subordinasi perempuan, terutama terhadap akses mereka yang terbatas di ruang publik. Ketidakadilan itulah yang memicu mereka melakukan perlawanan terhadap negara meskipun caranya adalah dengan menjadi teroris.
Untuk mengatasi kompleksitas persoalan perempuan teroris ini, Amanah mengatakan, BNPT harus merestrukturisasi organisasi secara masif. Sebab, selama ini di struktur organisasi BNPT pun belum tercipta kesetaraan jender. Hal itu juga berpengaruh pada cara pandang dan metode penanganan terorisme yang sangat maskulin.
Selain itu, dalam program penanganan terorisme berbasis masyarakat, BNPT bisa melibatkan para pendakwah yang lebih melek jender, moderat, toleran, dan pluralis. Tanpa pembenahan secara menyeluruh, program penanganan perempuan teroris dikhawatirkan tak menyentuh akar persoalan.
”Pencegahan juga bisa dimulai dari pendidikan. Harus ada lebih banyak narasi di ruang publik yang digencarkan untuk isu-isu perempuan, jender, toleransi, dan pluralisme,” kata Amanah.
Kepala BNPT Boy Rafli Amar berpandangan, perempuan pelaku teror, termasuk anak, adalah korban dalam terorisme yang dilakukan laki-laki atau suami. Mereka terseret oleh alam pikiran dan tindakan yang dilakukan oleh si suami atau laki-laki.
Hal itu tampak dari peristiwa sejumlah keluarga Indonesia yang pergi menuju Suriah. Istri dan anak yang turut serta diyakini tidak lepas dari ajakan suami. Demikian pula dengan ZA, pelaku penyerangan di Mabes Polri beberapa waktu lalu, diyakini juga dipengaruhi oleh pihak lain yang berperan menjadi mentor, yakni teroris laki-laki.
”Karena pada masa ini, secara jender, baik laki-laki maupun perempuan, dianggap memiliki idealisme yang sama sehingga hal itu dimanfaatkan,” kata Boy Rafli.
Menurut Boy Rafli, adanya pengaruh dari orang lain bagi perempuan yang melakukan aksi teror tampak jelas dalam diri ZA. Dari rekaman gambar yang beredar tampak bahwa ideologi terorisme membuat pelaku menjadi irasional dan pemberani. Namun, dalam video itu pula tampak bahwa pelaku juga seperti orang bingung. Dalam kerangka ini, pelaku adalah korban propaganda ideologi terorisme di kalangan milenial.
Terkait dengan penanganan penyebaran ideologi terorisme, Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 menjadi panduan pencegahan di sisi hulu. Perpres tersebut mengupayakan agar pendekatan lunak dijalankan secara masif.
”BNPT tidak bisa sendiri. Perlu kerja bersama agar masyarakat memiliki imunitas dalam menghadapi pemikiran ekstremisme berbasis kekerasan melalui sosialisasi, edukasi, literasi, serta membuka ruang terjadinya dialog. Silakan berdebat biar nanti ketemu. Tidak bisa orang hanya dijadikan obyek. Kalau terjadi pro dan kontra, maka ayo dialog secara bermartabat,” kata Boy Rafli.