Penyebaran Terorisme lewat Media Sosial Menargetkan Anak Muda
Saat ini penyebaran terorisme dinilai berlangsung masif melalui media sosial. Sasaran utamanya adalah kalangan muda atau milenial yang lebih banyak menggunakan dan memiliki akun media sosial.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran paham atau ideologi terorisme melalui media sosial dengan sengaja ditujukan untuk menyasar anak muda sebagai pengguna media sosial terbesar, khususnya di Indonesia. Selain penegakan hukum, pencegahan penyebaran terorisme perlu dilakukan dengan melibatkan pihak yang memang paling mengerti paham tersebut serta melalui pendidikan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar, Senin (5/4/2021), mengatakan, saat ini penyebaran terorisme berlangsung masif melalui media sosial. Karakteristik paham tersebut antara lain intoleran dan menghalalkan segala cara.
Saat ini penyebaran terorisme dinilai berlangsung masif melalui media sosial.
Menurut Boy Rafli, sasaran penyebaran terorisme memang sengaja ditujukan bagi kaum muda. Selain dengan maksud regenerasi, kenyataannya pengguna dunia siber mayoritas adalah kaum muda atau milenial. Di Indonesia, pengguna internet mencapai 202 juta jiwa dengan 80 persen adalah pengguna media sosial dan memiliki akun media sosial.
”Penyebar propaganda itu menyadari betul energi, idealisme, serta keberanian yang dimiliki anak muda, yang cenderung mencari jati diri. Dahsyatnya media sosial adalah pada saat terinfeksi ideologi itu pun tidak perlu dengan bertatap muka, tetapi sudah cukup untuk mengubah pandangan seseorang,” tutur Boy Rafli.
Ketika terperangkap tawaran tersebut, lanjut Boy, seseorang menjadi tidak kritis, melainkan larut dalam alam pikiran tersebut. Kemudian dia akan mengiyakan konsep atau gagasan-gagasan yang disampaikan.
Dengan kondisi seperti itu, menurut Boy, pencegahan terorisme perlu dilakukan dengan membangun kesadaran mulai dari lingkup keluarga. Sebab, di sanalah salah satu tempat untuk menanamkan nilai dan falsafah bangsa Indonesia yang sebenarnya merupakan antitesis dari ideologi terorisme.
”Ideologi itu mengubah cara berpikir. Dia tidak lagi berpikir sebagai anak-anak muda Indonesia, tetapi menjadi keliru. Seolah-olah apa yang disampaikan dalam paham ideologi terorisme ini sebagai sebuah kebenaran, apalagi ada janji-janji akan masuk surga dan sebagainya. Jadi, penerimaan yang tidak rasional itu terjadi di kalangan anak muda,” kata Boy.
Pencegahan terorisme perlu dilakukan dengan membangun kesadaran mulai dari lingkup keluarga. Sebab, keluarga merupakan tempat untuk menanamkan nilai dan falsafah bangsa yang menjadi antitesis dari ideologi terorisme.
Di dalam diskusi ”Teroris Beraksi Lagi, Ada Apa?” yang diselenggarakan Komite Nasional-Lutheran World Federation dengan Tepi Indonesia (Komite Pemilih Indonesia), Laksamana Muda (Purn) Soleman B Pontoh yang adalah Kepala Badan Intelijen Strategis TNI 2011-2013 berpandangan, jika yang terjadi adalah perbuatan atau aksi teror, penegakan hukum harus dilakukan. Namun, jika berupa pemahaman, yang perlu dilakukan adalah melawan hal itu dalam bingkai yang sesuai, yakni melalui pendidikan.
”Bicara teror adalah soal paham dan perbuatan. Perbuatan diatur pidana, soal paham di pendidikan. Ini yang belum dilakukan. Kalau menyangkut otak, itu ada di pendidikan. Sekarang yang bagian otak ditaruh di pidana, ya tidak jalan. Yang dilakukan sekarang adalah penanggulangan kebocoran, tetapi bukan menyelesaikan masalah,” paparnya.
Namun, Soleman menilai, penanggulangan teror melalui pendidikan belum diatur di dalam perundang-undangan. Padahal, melalui pendidikan, paham-paham yang tidak sesuai dengan keindonesiaan dapat dilawan atau diluruskan. Sementara program deradikalisasi justru akan menimbulkan resistensi dari orang-orang yang dianggap radikal.
Direktur Said Aqil Siradj (SAS) Institute Imdadun Rahmat berpandangan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah memberikan ruang bagi aparat keamanan untuk mencegah terjadinya aksi teror. Namun, ideologi teror juga mengalami perkembangan dari waktu ke waktu.
Melalui pendidikan, paham-paham yang tidak sesuai dengan keindonesiaan dapat dilawan. Sementara program deradikalisasi justru akan menimbulkan resistensi.
Ideologi terorisme di Indonesia terus berkembang, mulai dari pemikiran lokal, kemudian berkembang dengan pemahaman yang lebih luas atau regional, dan hingga saat ini menjadi semakin kompleks dengan yang disebut sebagai salafi jihadis takfiri. Untuk mengimbanginya, diperlukan cara atau pendekatan yang juga harus terus disesuaikan.
”Yang menjadi concern adalah perubahan dari jaringan yang gampang dideteksi menjadi sel-sel yang terpisah-pisah. Itu secara ilmu dan teknik susah dikendalikan semua. Memang deradikalisasi dan kontraradikalisasi belum efektif,” kata Imdadun.
Menurut Imdadun, tugas utama keluarga besar Nahdlatul Ulama adalah melakukan kontraradikalisasi agar Islam moderat menjadi arus utama. Sementara program deradikalisasi lebih tepat dilakukan oleh organisasi massa (ormas) yang memiliki titik temu pandangan dengan mereka yang berpaham radikal tersebut.
Di sisi lain, lanjut Imdadun, salah satu masalah yang terjadi adalah sejauh mana pemikiran seseorang, ucapan, serta sikap atau tampilan seseorang dapat dimasukkan dalam delik ancaman kekerasan yang mengarah kepada teror. Hal inilah yang selama ini menjadi kesulitan bagi penegak hukum.
Tugas utama keluarga besar Nahdlatul Ulama adalah melakukan kontraradikalisasi agar Islam moderat menjadi arus utama.
Menurut Pejabat Sementara Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Angel Damayanti, fenomena anak muda yang termasuk generasi milenial sebagai pelaku teror perlu dicermati lebih jauh. Menilik surat wasiat dari para pelaku terorisme di Katedral Makassar dan Mabes Polri, tampak bahwa para pelaku ingin menunjukkan keberanian mereka melalui aksi yang mereka lakukan.
”Radikalisme memang sifatnya ada di gagasan kepala dan tidak berbahaya kalau belum terealisasi dalam bentuk aksi. Namun, orang yang mengajarkan kekerasan juga berbahaya. Dia bisa mengatakan tidak melakukan, tetapi orang lain yang melakukannya karena dia. Maka, siapa yang lebih berbahaya? Ini yang perlu kita waspadai,” tutur Angel.
Menurut Angel, media sosial merupakan sarana yang paling mudah menjangkau anak muda. Melalui media sosial, terjadi indoktrinasi tahap awal. Ketika seseorang tertarik, dia akan mencari tahu lebih dalam.
Hingga saat ini, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri masih terus menelusuri mereka yang diduga terkait jaringan teror. Pada Sabtu malam, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mengatakan, aparat keamanan telah mengamankan hingga 60 terduga teroris di sejumlah wilayah, yakni Jawa Timur, Makassar, dan DI Yogyakarta.