DPR mendorong Komnas HAM mencari terobosan penyelesaian non yudisial, dan tak hanya pada jalur yudisial. Hal itu karena penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat dinilai tak memadai karena banyak saksi yang meninggal.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
Kompas/Wawan H Prabowo
Mural bertajuk Menolak Lupa yang bergambar empat sosok aktivis, Widji Thukul, Tan Malaka, Marsinah dan Munir menghiasi dinding Gang Mede, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, Banten, Minggu (14/3/2021). Keberadaan mural tersebut diharapkan bisa menjadi pengingat berbagai pihak tentang banyaknya kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang hingga kini belum diungkap secara tuntas. Kompas/Wawan H Prabowo
JAKARTA, KOMPAS –Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat dinilai tidak memadai hanya dilakukan melalui jalur yudisial atau pengadilan. Sejumlah kendala ditemui, salah satunya karena banyak saksi yang telah meninggal khusus untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 1990-an. Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat mendorong Komisi Nasional HAM untuk mencari terobosan penyelesaian yang lain, dan tidak hanya menggantungkan pada jalur yudisial.
Sejumlah anggota Komisi III DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Komnas HAM, Selasa (6/4/2021) di Jakarta, memberi masukan agar Komnas HAM memikirkan juga jalur di luar yudisial dalam penuntasan kasus-kasus pelangaran HAM berat. Sebab, dalam beberapa contoh kasus pelanggaran HAM berat, seperti peristiwa 65, banyak pihak yang diduga terlibat, termasuk para korban juga telah meninggal dunia.
“Kita masih bicara penyelesaian pelanggaran HAM berat 1965 dengan pendekatan yudisial. Yang mau diadili ini siapa. Kalau pun mereka teridentifikasi, sudah jadi nama jalan semuanya. Saya usulkan agar ada aternatif lain yang non-yudisial. Yang penting ada penyelesaiannya. Saya tidak bisa membayangkan penyelesaian kasus-kasus sebelum 1990. Kalau pun mereka masiih hidup apakah masih layak menghadapi proses hukum. Kenapa tidak ada terobosan yang lain,” ujar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani.
“Kita masih bicara penyelesaian pelanggaran HAM berat 1965 dengan pendekatan yudisial. Yang mau diadili ini siapa. Kalau pun mereka teridentifikasi, sudah jadi nama jalan semuanya. Saya usulkan agar ada aternatif lain yang non-yudisial. Yang penting ada penyelesaiannya. Saya tidak bisa membayangkan penyelesaian kasus-kasus sebelum 1990. Kalau pun mereka masiih hidup apakah masih layak menghadapi proses hukum. Kenapa tidak ada terobosan yang lain”
Dalam beberapa kasus yang lain, Komisi III DPR juga menyoroti berkas penyidikan yang bolak-balik antara kejaksaan agung dengan Komnas HAM. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang tidak dapat diselesaikan dengan mekanisme hukum atau yudisial itu pun mesti dicarikan jalan keluarnya, sehingga berkas tidak terus-menerus bolak-balik antara kejagung dan Komnas HAM.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Adang Daradjatun mengatakan, pelanggaran HAM berat bagaimana pun harus diselesaikan. Sebab, jika tidak segera diselesaikan, siapa pun yang menjadi anggota Komnas HAM harus menanggung beban penuntasan kasus-kasus itu. Senada dengan Arsul, Adang juga mendorong agar dilakukan penyelesaian non-yudisial untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang memang tidak memungkinkan lagi untuk dilakukan persidangan di muka pengadilan.
Di sisi lain, menurut pandangan anggota Komisi III yang lain, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui pengadilan tidak selalu menjadi jalan keluar terbaik. Pasalnya, keputusan pengadilan HAM itu pun belum tentu memuaskan korban, dan memberikan rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik (kiri) berbincang dengan Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam sebelum memulai penyampaikan keterangan terkait hasil investigasi Tim Penyelidik Komnas HAM terkait kasus kematian enam laskar FPI di Tol Jakarta-Merak di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (8/1/2021). Dari hasil penyelidikan tersebut, Komnas HAM merekomendasikan beberapa hal seperti, peristiwa tewasnya empat orang laskar FPI merupakan kategori pelanggaran HAM. Oleh karenanya Komnas HAM merekomendasikan kasus ini dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan pidana. Selain itu Komnas HAM juga merekomendasikan untuk mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang diduga digunakan Laksar FPI. Selain itu meminta proses penegakan hukum, akuntabel, objektif, dan transparan sesuai dengan standar hak asasi manusia. Kompas/Heru Sri Kumoro08-01-2021
Anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman, menuturkan, kasus pelanggaran HAM berat di Abepura, Papua, misalnya, yang sekalipun diselesaikan dengan jalur pengadilan, ternyata tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi korban. “Sewaktu saya masih jadi advokat dulu, kita sama-sama mendorong agar dilakukan pengadilan HAM dalam menyelesaikan kasus Abepura. Tetapi ketika diputuskan kasus itu, kita semua menolak dan memprotes. Artinya, ketika suatu kasus pelanggaran HAM berat diadili di pengadilan, putusannya pun belum tentu memberikan rasa keadilan bagi korban,” ucapnya.
Dalam putusan pengadilan HAM pada kasus Abepura itu, terdakwa malah diputus bebas oleh pengadilan. Hal itu memicu kekecewaan para korban, dan memantik ketidakpercayaan terhadap proses pengadilan yang berlangsung.
Menurut Habiburokhman, contoh kasus itu menunjukkan tujuan utama dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ialah pemberian rasa adil kepada korban. Tidak semata-mata tujuan prosedural, yakni membawa kasus itu ke pengadilan. Hal lain yang kerap luput diperhatikan ialah bagaimana korban itu mendapatkan restitusi atau penggantian atas peristiwa yang mereka hadapi.
Kompas/Heru Sri Kumoro
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara memberikan penjelasan terkait sejumlah dokumen terkait kasus kematian enam laskar FPI di Tol Jakarta-Merak saat penyampaian keterangan kepada wartawan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (8/1/2021). Dari hasil penyelidikan tersebut, Komnas HAM merekomendasikan beberapa hal seperti, peristiwa tewasnya empat orang laskar FPI merupakan kategori pelanggaran HAM. Oleh karenanya Komnas HAM merekomendasikan kasus ini dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan pidana. Selain itu Komnas HAM juga merekomendasikan untuk mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang diduga digunakan Laksar FPI. Selain itu meminta proses penegakan hukum, akuntabel, objektif, dan transparan sesuai dengan standar hak asasi manusia. Kompas/Heru Sri Kumoro08-01-2021
Jembatani perbedaan
“Kami telah melakukan pekerjaan sesuai dengan amanat UU, dan tindak lanjutnya terserah Kejagung. Kami pun telah mendorong pemerintah untuk segera merealisasaikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Kalau pun ada kasus-kasus yang tidak dapat diadili dan dipilih untuk diselesaikan melalaui KKR, kami juga mendukung hal itu”
Terkait hal ini, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, dalam beberapa kali pertemuan dengan pemerintah dan presiden, pihaknya meminta Menko Polhukam Mahfud MD untuk menjembatani perbedaan antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung. Sekalipun belum muncul titik temu, tetapi setidaknya ada upaya dari pemerintah untuk menyelesaikan berkasa perkara yang bolak-balik antara Komnas HAM dengan Kejagung.
“Kami telah melakukan pekerjaan sesuai dengan amanat UU, dan tindak lanjutnya terserah Kejagung. Kami pun telah mendorong pemerintah untuk segera merealisasaikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Kalau pun ada kasus-kasus yang tidak dapat diadili dan dipilih untuk diselesaikan melalaui KKR, kami juga mendukung hal itu,” ucapnya.
Namun, menurut Taufan, pihaknya bukan merupakan pihak yang terlibat dalam penyusunan KKR. Oleh karenanya, Komnas HAM hanya sebatas memberikan masukan kepada pemerintah mengenai KKR. Di sisi lain, Komnas HAM juga menilai pembentukan KKR itu perlu dan relevan dengan amanat UU Otonomi Khusus di Papua dan Aceh.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Polisi berusaha menangkap salah satu aktivis yang dianggap sebagai provokator aksi unjuk rasa mahasiswa Papua di Jalan Pahlawan, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (5/3/2021). Berbagai persoalan Papua antara lain pencabutan otonomi khusus, kemerdekaan dan pelanggaran HAM menjadi isu tuntutan mereka.Kompas/P Raditya Mahendra Yasa05-03-2021 *** Local Caption ***