Kewenangan KPK Terbitkan SP3 Bertentangan dengan Putusan MK
Kewenangan penghentian penyidikan perkara korupsi yang dimiliki KPK sebaiknya ditinjau ulang. Sebab, kewenangan tersebut berpotensi disalahgunakan, salah satunya untuk tawar-menawar perkara.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atau SP3 terhadap perkara korupsi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan itu berpotensi disalahgunakan seperti untuk negosiasi atau tawar-menawar penghentian perkara. Oleh karena itu, kewenangan penghentian penyidikan sebaiknya dibatalkan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan, aturan yang ada dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konsitusi (MK) pada 2004 lalu. Pasal tersebut menyebutkan, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan atas perkara yang tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Saat itu, uji materi diajukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) bersama dengan 32 anggotanya. Salah satu pasal yang diuji ke MK terkait larangan KPK menerbitkan SP3.
”Kala itu, MK menegaskan bahwa KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3 semata-mata untuk mencegah lembaga antirasuah tersebut melakukan penyalahgunaan kewenangan. Sebab, tidak menutup kemungkinan pemberian SP3 justru dijadikan sebagai tawar-menawar atau lebih jauh lagi sebagai bancakan kasus korupsi,” kata Kurnia ketika dihubungi di Jakarta, Senin (5/4/2021).
Kurnia menyebutkan, pola penyalahgunaan kewenangan tersebut beragam. Sebagai contoh, negosiasi penghentian perkara dengan para tersangka. Lebih jauh lagi, SP3 tersebut bisa dimanfaatkan oleh pejabat struktural KPK untuk menunaikan janji ketika mengikuti seleksi pejabat di lembaga antirasuah tersebut.
Menurut Kurnia, kewenangan ini dapat membuat kasus-kasus besar yang belum selesai dihentikan. Kekhawatiran tersebut akhirnya terjadi ketika KPK mengeluarkan SP3 untuk pertama kalinya pada Kamis (1/4/2021) lalu terhadap perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Ia menegaskan, ICW telah mengajukan uji materi atau judicial review terhadap UU No 19/2019 khususnya permohonan formil. ICW meminta seluruh substansi UU tersebut dibatalkan, salah satunya Pasal 40.
Penghentian perkara BLBI murni dilakukan karena aturan hukum. Kajian hingga diambil keputusan penyidikannya dihentikan memakan waktu lebih dari setahun.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan, KPK tidak mudah dan seketika dalam menghentikan penyidikan ataupun penuntutan. Ada pertimbangan matang dan kajian mendalam yang dilakukan terlebih dahulu.
Ali menegaskan, penghentian perkara BLBI murni karena aturan hukum. Ia menyebutkan, kajian untuk perkara ini lebih dari setahun. Kajian tersebut tidak hanya dilakukan KPK, tetapi juga melibatkan ahli hukum pidana dari eksternal supaya tidak subyektif.
Adapun gelar perkara yang dilakukan KPK untuk perkara BLBI ini dilakukan sampai tiga kali. Gelar perkara terakhir dilakukan pada Senin (29/3/2021) dan tetap disepakati agar dihentikan seperti dua gelar perkara sebelumnya.
Adapun ahli hukum yang digandeng KPK dalam proses pengkajian tersebut adalah Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Nur Basuki Minarno, dan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM Eddy OS Hiariej sebelum menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM RI.
Saat dikonfirmasi, Hibnu membenarkan dirinya diundang KPK untuk berdiskusi mengenai tindak lanjut dari perkara bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.
Ia mengungkapkan, secara formal, perkara ini sudah tidak mungkin lagi dilanjutkan. Sebab, Syafruddin diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslag) oleh Mahkamah Agung.
Dalam pertemuan tersebut, Hibnu memberikan saran kepada KPK agar melakukan gugatan perdata, persidangan in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa, dan membuat formula baru untuk mencari siapa yang menjadi penyerta dari penyelenggara negara.
Penghentian penyidikan ini sifatnya tidak abadi. Penghentian penyidikan ini dilakukan demi kepastian hukum. Sebab, seseorang tidak bisa menjadi tersangka sepanjang tahun.
Adapun penghentian penyidikan ini sifatnya tidak abadi. Penghentian penyidikan ini dilakukan demi kepastian hukum. Sebab, seseorang tidak bisa menjadi tersangka sepanjang tahun.
”Penghentian ini untuk kepentingan hukum karena belum ada bukti yang mengarah ke sana. Karena itu, ini menjadi pekerjaan rumah KPK untuk membuktikan kembali terhadap perkara yang lain,” kata Hibnu.
Ia menegaskan, KPK harus memulai lagi formulasi kasus supaya Sjamsul dan Itjih bisa dimasukkan.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengungkapkan, dirinya telah mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap lima perkara yang berpotensi mangkrak di KPK.
Lima perkara tersebut adalah kasus Bank Century, korupsi kartu tanda penduduk elektronik, bantuan sosial Covid-19 di Kementerian Sosial, pengadaan helikopter Agusta-Westland 101, dan pengembangan gratifikasi bekas Bupati Malang Rendra Kresna.
Sebelumnya, Boyamin juga akan mengajukan gugatan praperadilan agar KPK membatalkan SP3 terhadap Sjamsul dan Itjih. Gugatan tersebut akan diajukan maksimal akhir April 2021.