Di Usia 70 Tahun, Joko Tjandra Harus Jalani Hukuman dalam Tiga Perkara Berbeda
Pengadilan memvonis empat tahun enam bulan penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan penjara bagi Joko S Tjandra di usianya 70 tahun. Ia mengakui vonis ketiga dalam tiga perkara berbeda itu sangat berat.
JAKARTA, KOMPAS — Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan putusan empat tahun dan enam bulan penjara berikut denda Rp 100 juta subsider enam bulan penjara kepada Joko Soegiarto Tjandra. Ini merupakan vonis ketiga dalam perkara berbeda bagi Joko.
Sebelumnya, dalam Peninjauan Kembali (PK) perkara pengalihan hak tagih (cessie)Bank Bali, Joko telah divonis dua tahun penjara. Selain itu, dalam perkara pembuatan surat jalan palsu untuk rute Pontianak (Kalimantan Barat)-Jakarta dan sebaliknya tahun 2020, Joko juga telah divonis dua tahun enam bulan penjara.
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (5/4/2021), di Jakarta, membacakan putusan dalam perkara pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung dan penghapusan nama Joko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) di sistem imigrasi. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Muhammad Damis, dan hakim anggota Saifudin Zuhri serta Joko Subagyo.
Baca Juga: Kasus Hukum Joko Tjandra dalam Skandal Bank Bali
”Mengadili, menyatakan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam hal pembarengan beberapa perbuatan pada dakwaan alternatif kesatu pertama dan dakwaan kedua alternatif ketiga. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan, dan pidana denda Rp 100 juta subsider enam bulan penjara,” ujar Damis.
Mengadili, menyatakan terdakwa Joko Soegiarto Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam hal pembarengan beberapa perbuatan pada dakwaan alternatif kesatu pertama dan dakwaan kedua alternatif ketiga. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama empat tahun dan enam bulan, dan pidana denda Rp 100 juta subsider enam bulan penjara.
Saifudin Zuhri mengatakan, dari fakta persidangan diketahui bahwa Joko Tjandra, Andi Irfan Jaya, Pinangki Sirna Malasari, dan Anita Kolopaking mengetahui sejak awal bahwa MA memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menerbitkan fatwa yang bisa membebaskan Joko dari hukuman pidana dalam perkara cessie Bank Bali.
Sebelum ditangkap Polri pada 2020, Joko telah menjadi buronan Kejaksaan Agung selama 11 tahun. Pasca putusan PK MA tahun 2009 yang menghukum dirinya penjara dua tahun, Joko melarikan diri dengan menumpang pesawat carter pribadi dari Bandara Halim Perdana Kusumah, Jakarta. Dia melarikan diri ke Papua Nugini. Kemudian, dalam perkembangannya, dia diketahui tinggal di Malaysia.
Dari fakta persidangan diketahui, sosok yang memperkenalkan Joko dengan Jaksa Pinangki adalah Rahmat. Rahmat mengenalkan Joko kepada Pinangki karena jabatannya sebagai jaksa di Kejaksaan Agung dan memiliki kenalan pejabat yang bisa menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi Joko. Pinangki kemudian menyusun proposal rencana aksi pengurusan fatwa MA untuk membebaskan Joko dari jeratan hukum. Untuk membahas masalah itu, Joko mengundang Rahmat dan Pinangki ke Kuala Lumpur, Malaysia.
”Jika memang terdakwa tidak mau berhubungan dengan Pinangki Sirna Malasari yang berprofesi sebagai jaksa, seharusnya terdakwa tidak perlu mempersilakan Rahmat dan Pinangki datang ke Kuala Lumpur. Pada akhirnya, terdakwa sepakat dengan Pinangki dan Andi Irfan Jaya untuk membuat proposal rencana, tahapan, dan anggaran untuk pengurusan fatwa bebas MA,” kata Zuhri.
Sebagai perantara, Andi Irfan Jaya kemudian memenuhi permintaan itu dan mengirimkan proposal rencana aksi kepada Joko. Setelah proposal itu diterima, Joko kemudian membayar 500.000 Dollar Amerika Serikat. Proposal itu adalah tindak lanjut dari pertemuan antara Joko, Andi Irfan Jaya, Pinangki, dan Anita Kolopaking di Malaysia. Majelis hakim menilai bahwa Joko mengetahui secara persis bahwa Andi Irfan Jaya adalah pihak yang berada di dalam kendali Pinangki.
”Semua pihak menyadari dan mengetahui bahwa pejabat di MA, dan Kejaksaan Agung memiliki kekuasaan dan wewenang terkait dengan rencana permohonan fatwa bebas MA melalui Kejaksaan Agung tersebut dengan kesepakatan uang 10 juta dollar AS atau sekitar Rp 140 miliar yang akan diberikan kepada pegawai negeri di MA dan Kejaksaan Agung,” kata Zuhri.
Majelis hakim menilai bahwa nota pembelaan atau eksepsi yang diajukan oleh terdakwa tidak beralasan hukum. Selain itu, majelis juga menilai bahwa Joko terbukti memberikan uang 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura atau sekitar kepada Bekas Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhub Inter) Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte melalui kolega bisnisnya Tommy Sumardi.
Suap diberikan agar Napoleon membantu menghapus namanya dari daftar pencarian orang di sistem keimigrasian. Selain itu, melalui Tommy, Joko juga terbukti memberikan uang senilai 100.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,4 miliar kepada Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo. Prasetijo adalah bekas Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) PPNS Bareskrim Polri yang mengenalkan Tommy kepada Napoleon.
Majelis hakim menilai bahwa nota pembelaan atau eksepsi yang diajukan oleh terdakwa tidak beralasan hukum. Selain itu, majelis juga menilai bahwa Joko terbukti memberikan uang 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura atau sekitar kepada bekas Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhub Inter) Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte melalui kolega bisnisnya Tommy Sumardi.
”Ini dilakukan agar terdakwa agar mendapatkan informasi apakah namanya sudah terhapus dari red notice Interpol dan sistem keimigrasian Indonesia,” kata Zuhri.
Justice collaborator-nya ditolak
Selain itu, permohonan Joko untuk ditetapkan sebagai justice collaborator juga ditolak oleh majelis hakim. Untuk menetapkan terdakwa sebagai JC, majelis berpegangan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana. Sesuai SEMA tersebut, terdakwa bisa ditetapkan sebagai JC apabila mengakui kejahatan yang dilakukan, bukan pelaku utama, dan memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. Majelis hakim berpandangan sama dengan jaksa penuntut umum bahwa Joko tidak bisa ditetapkan sebagai JC karena berstatus sebagai pelaku utama kejahatan yaitu sebagai pemberi suap.
”Sesuai SEMA 4/2011 terdakwa tidak memenuhi kriteria sebagai justice collaborator. Oleh karena itu, permohonan tidak bisa dikabulkan,” kata Zuhri.
Menurut majelis hakim, hal-hal yang memberatkan Joko dalam perkara ini adalah dia tidak mendukung upaya pemerintah dalam program pemberantasan korupsi, perbuatan terdakwa untuk menghindari putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, penyuapan dilakukan terhadap penegak hukum, serta peningkatan kuantitas maupun kualitas kasus tindak pidana korupsi yang ditangani Pengadilan Tipikor Jakarta. Adapun untuk hal-hal yang meringankan adalah terdakwa dinilai sopan dan telah berusia lanjut.
Penasihat hukum Joko Tjandra, Soesilo Aribowo, mengatakan, dengan kondisi usia Joko yang kini 70 tahun, vonis majelis hakim dirasa terlalu berat. Apalagi, ini merupakan putusan kedua, di luar status terpidana Joko dalam perkara cessie Bank Bali.
Atas putusan tersebut, baik terdakwa maupun jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir. Mereka diberi waktu selama tujuh hari sejak putusan dibacakan, untuk mempelajari pertimbangan hukum majelis hakim. Setelah itu, keduanya memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum banding.
Baca Juga: Joko Tjandra Jalani Vonis Sekaligus Diperiksa sebagai Saksi Surat Jalan Palsu
Penasihat hukum Joko Tjandra, Soesilo Aribowo, mengatakan, dengan kondisi usia Joko yang kini 70 tahun, vonis majelis hakim dirasa terlalu berat. Apalagi, ini merupakan putusan kedua, di luar status terpidana Joko dalam perkara cessie Bank Bali. Namun, sesuai pernyataan dari Joko di persidangan, tim kuasa hukum masih akan mempelajari putusan hakim sebelum mengajukan upaya hukum banding.
”Untuk putusan perkara surat jalan palsu di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, saat ini sedang upaya kasasi. Karena ini merupakan putusan dalam tiga perkara yang berbeda, nanti hukumannya akan diakumulasi. Dan, ini sangat berat bagi pak Joko karena usianya sudah 70 tahun,” kata Soesilo usai persidangan.