”Membaca” Rasa Cemas dari Dua Surat Wasiat Pelaku Teror
Pakar grafologi dan linguistik menganalisis surat wasiat dari dua pelaku teror, yakni L di Makassar, dan ZA di Mabes Polri Jakarta. Hasilnya, ada sejumlah kemiripan konten teks maupun karakter kedua pelaku.
Oleh
BOW
·4 menit baca
Di tengah rasa cemas dan kurang percaya diri, L (26), seorang pria, dan ZA (25), seorang perempuan, diduga mulai tergiur janji-janji semu dari perekrut teroris. Mereka memberanikan diri melakukan teror beberapa hari lalu: L terlibat bom bunuh diri di depan Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (28/3/2021), dan ZA berbekal air gun menyerang Mabes Polri di Jakarta, Rabu (31/3).
Pergulatan batin L dan ZA ”terbaca” dari surat wasiat yang mereka tulis tangan dan ditinggalkan di rumah masing-masing. Deborah Dewi, pakar grafologi, menganalisis kedua surat tersebut. Menggunakan teknik dalam membaca tulisan tangan, ia melihat faktor-faktor pemicu L dan ZA menjadi pelaku teror. Ketika semua indikator utama dikumpulkan dan dianalisis, benang merah dari karakter keduanya ialah rasa cemas dan kurang percaya diri yang membuat mereka tidak aman (insecure).
Namun, ada perbedaan signifikan di balik alasan mereka meneror. L, misalnya, takut luar biasa dalam menghadapi masa depan yang akan sangat berdampak pada ibunya. Sementara itu, dorongan utama ZA ialah kemarahan yang kuat atas status sosialnya.
Menurut Deborah, perasaan tidak aman sebenarnya wajar dimiliki individu. Namun, ini menjadi tidak wajar ketika rasa aman diisi hal-hal destruktif oleh perekrut teroris, seperti janji-janji masuk ke surga dengan cara bunuh diri sendiri dan orang lain. ”Kematangan emosional dan intelektual yang lemah di antara kedua pelaku menjadikan celah keberhasilan perekrutan eksekutor teroris makin besar,” ujarnya.
Kesamaan narasi
Kesamaan narasi pada surat wasiat L dan ZA, kendati mereka tinggal di kota berbeda dan tak saling kenal, menimbulkan pertanyaan. Pakar linguistik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Makyun Subuki, menjelaskan, pesan dan bahkan kalimat yang digunakan setelah salam persis sama, yaitu ”Wasiat kepada orang yang saya cintai karena Allah”.
Setelah itu, pesan dalam dua surat wasiat itu ialah meminta maaf kepada orangtua, mengingatkan mereka agar terus beribadah, dan mendoakan mereka agar masuk surga. Bagian berikutnya tampaknya dibuat sendiri oleh L dan ZA karena lebih bersifat pribadi dengan karakteristik berbeda satu dengan yang lain. Uniknya, meskipun diselingi perbedaan itu, dua surat itu ditutup dengan pesan yang sama, yaitu agar Allah mengumpulkan mereka bersama di surga.
”Dalam keadaan normal, kesamaan tekstual sepanjang itu hampir mustahil, apalagi beberapa kalimat di antaranya sama persis hingga urutan kata,” kata Makyun.
Menurut Makyun, ada beberapa kemungkinan penyebab kesamaan itu. Pertama, kemungkinan terbesar adalah surat dibuat berdasarkan template. Mereka hanya melengkapi pesan tambahan yang bersifat pribadi.
Kedua, seandainya template surat itu tidak ada, urutan pesan dalam surat itu mungkin menunjukkan urutan hal yang paling sering mereka dengar dalam proses indoktrinasi. Akan tetapi, kemungkinan semacam ini jauh lebih kecil dari kemungkinan pertama. Ketiga, boleh jadi mereka dalam jaringan gerakan yang sama.
”Sulit membayangkan dua orang yang berbeda akan menulis dua surat yang berbeda pula dengan sepuluh hal yang sama persis dalam hal urutan dan beberapa di antaranya menggunakan kalimat yang persis sama,” kata Makyun.
Surat wasiat itu, kata Makyun, juga bisa jadi kode bagi pelaku teror lain dalam jaringan yang sama. Surat itu bisa jadi mengandung kode-kode tertentu yang langsung dapat dipahami sesama anggota dan menjadi pengingat sesama anggota jaringan untuk segera bertindak.
Menyasar generasi muda
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar juga tak memungkiri bahwa antara L dan ZA memiliki kesamaan ideologi dengan ciri khas melakukan penyerangan dan berharap bisa mati syahid. Kesamaan ideologi ini juga dibuktikan dengan isi surat wasiat yang ditinggalkan kedua pelaku teror.
Boy mengingatkan, propaganda jaringan terorisme telah menyasar generasi muda, terutama milenial. Berdasarkan survei BNPT yang dipublikasi Desember 2020, sebanyak 85 persen generasi milenial Indonesia rentan terpapar radikalisme.
”Ironisnya, anak-anak muda ini banyak yang cepat menjadi simpati, jadi terbawa seolah-olah apa yang dia ketahui itu kebenaran,” ujar Boy.
Oleh karena itu, ia meminta bantuan tokoh agama agar jangan sampai narasi-narasi agama disalahgunakan jaringan terorisme global.
Peneliti terorisme Noor Huda Ismail menuturkan, generasi muda bukan hanya korban dari ideologi. Namun, mereka juga korban dari sebuah proses relasi jender dan persoalan lain-lain, yang sering kali tidak mendapatkan jawaban di dunia nyata. Kemudian, mereka mendapat amplifikasi dan jawaban di media sosial.
Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid juga mengingatkan, sesuai hasil riset Wahid Foundation, salah satu faktor kuat pendorong seseorang jadi radikal ialah saat orang itu dirundung perasaan gelisah, frustrasi, serta ketidakadilan yang terjadi di sekelilingnya. Ini Yenny sebut sebagai sense of grief (rasa duka).
”Perasaan gelisah ini ketika ditangkap oleh orang yang mengindoktrinasi itu jadi mudah ketemu,” ucap Yenny.
Indoktrinasi itu, menurut dia, bukan hanya dengan dalil agama, melainkan juga politik. Dengan dalil politik, pembawa pesan menggunakan teori konspirasi yang membuat penerima pesan merasa diperlakukan tak adil sehingga dia ingin mengoreksi ketidakadilannya dengan tindakan ekstrem.
Bagaimana solusinya? ”Ini bukan soal pendidikan di sekolah, melainkan ini soal pendidikan masyarakat agar bisa berpikir lebih kritis, bisa memfilter informasi yang masuk, dan ada institusi-institusi yang bisa mendampingi masyarakat yang sedang gelisah,” tutur Yenny.