Penanganan Terorisme Perlu Lebih Sensitif Jender
Anggapan bahwa selama ini lelaki lebih suka kekerasan ketimbang perempuan dinilai tidak sepenuhnya benar. Pakar terorisme menyebutkan, di sejumlah kasus, perempuan justru lebih keras pendiriannya ketimbang laki-laki.
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan pesat jumlah perempuan teroris, baik yang terlibat aksi teror maupun ditahan Densus 88, disoroti banyak pihak. Dibutuhkan riset atau kajian ilmiah mengenai apa yang mendorong perempuan terlibat dalam aksi kekerasan. Negara juga diharapkan lebih sensitif jender dalam menyelesaikan masalah radikalisme dan terorisme.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik ”Perempuan, Terorisme, dan Maskulinitas” yang digelar Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) dan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Jumat (2/4/2021). Keterlibatan perempuan dalam kekerasan terlihat dalam dua serangan teror yang terjadi baru-baru ini.
Dalam serangan di Gereja Katedral, Makassar, seorang perempuan yang diduga sedang hamil empat bulan, YSF, dibonceng suaminya, L, meledakkan diri dengan bom panci. Hanya berselang tiga hari, perempuan muda ZA (25) menggunakan pistol airgun menyerang kompleks Mabes Polri. ZA kemudian dilumpuhkan dengan beberapa kali tembakan setelah menodong polisi di pos penjagaan.
”Serangan teror baru-baru ini mencemaskan masyarakat. Sikap kewaspadaan dan pendekatan apa yang dapat dilakukan untuk mencegah perempuan terlibat dalam aksi teror harus dipikirkan,” kata Direktur SKSG UI Athor Subroto.
Mengutip hasil riset Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) dalam laporan bertajuk ”Extremist Women Behind Bars in Indonesia” yang diterbitkan September 2020, jumlah teroris perempuan yang ditahanan Densus 88 Antiteror memang meningkat pesat. Pada 2000-2005 hanya ada seorang tahanan perempuan yang terlibat aksi terorisme. Kemudian, pada 2006-2010 ada tiga orang, dan empat orang pada 2011-2015. Jumlah itu meningkat pada 2016-2020 menjadi 32 perempuan teroris yang ditahan, (Kompas.id, 2 April 2021).
Pengamat terorisme Noor Huda Ismail mengatakan, perempuan teroris adalah fenomena baru dalam aksi terorisme di Indonesia. Dulu, dalam jaringan Jamaah Islamiyah (JI), perempuan hanya dijadikan sistem pendukung yang haram maju sebagai pengantin (pelaku teror). Namun, kini, jumlah perempuan yang terlibat teror semakin meningkat. Fenomena ini menunjukkan bahwa sangat penting untuk melihat perspektif jender dalam menangani radikalisme dan terorisme di Indonesia.
”Ada banyak faktor dan alasan mengapa seseorang bisa terpapar radikalisme dan bergabung dalam gerakan terorisme. Terkadang, alasannya itu sangat personal dan emosional. Jika itu terjadi pada perempuan, cukup sulit untuk melakukan deradikalisasi karena keyakinan dan sisi emosional yang mereka miliki,” kata Noor Huda.
Baca juga: Teror Makassar dan Mabes Polri yang Membunyikan Alarm Eksistensi JAD
Noor Huda juga menjelaskan bahwa anggapan bahwa selama ini lelaki lebih suka kekerasan dibandingkan dengan perempuan tidak sepenuhnya benar. Menurut dia, dalam sejumlah kasus, perempuan justru lebih keras pendiriannya dibandingkan dengan laki-laki.
Dalam kasus penggerebekan rumah Husain alias Abu Hamzah, pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Sibolga, Sumatera Utara, istrinya, Solimah, justru menolak berdamai dengan aparat. Dia memilih meledakkan diri, dengan mengajak anaknya, menggunakan bom pipa yang dirakit suaminya. Sementara itu, Abu Hamzah justru menyerahkan diri kepada aparat.
”Dalam kasus yang lain, ketika para suami menolak menjadi pengantin, justru istri mereka meminta cerai. Ini menunjukkan bahwa ada unsur penting dalam hubungan rasional-emosional perempuan teroris,” kata Noor Huda.
Sementara itu, pengajar Kajian Terorisme UI, Amanah Nurish, mengatakan, terorisme adalah ideologi kekerasan transnasional yang sangat anti pada cara pandang demokrasi dan sekulerisme. Oleh karena itu, ideologi ini bisa memengaruhi siapa saja, termasuk perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam radikalisme dan terorisme pun diduga tidak sesederhana hanya karena ikut-ikutan. Perempuan justru dianggap memiliki posisi strategis dalam aksi teror. Bahkan, perempuan juga dianggap sebagai agen kematian karena akses mereka yang terbatas di ruang publik.
”NIIS adalah jaringan teroris yang melibatkan perempuan dan anak dalam aksinya. Dan, di Indonesia, jaringan teroris yang berbaiat kepada ISIS ini adalah Jamaah Ansharut Daulah,” kata Amanah.
Era keterbukaan informasi dan sosial media saat ini, kata Amanah, juga membuat perekrutan anggota jaringan teroris semakin mudah. JAD yang terafiliasi dengan NIIS juga sangat paham cara memanfaatkan media sosial. Mereka merekrut kelompok milenial sebagai anggota. Ketika tidak puas dengan kebijakan pemerintah, anggota milenial ini bisa saja nekat.
”Fenomena lone wolf atau pelaku yang bergerak sendiri, dengan inisiatif sendiri adalah sesuatu yang sangat menggembirakan bagi orang-orang yang frustrasi baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Anak-anak milenial inilah yang mudah dipengaruhi dan mereka tidak gentar,” kata Amanah.
Amanah juga mengatakan bahwa di kelompok NIIS, ada ideologi dan tekanan kuat untuk mencintai kematian. Anggota NIIS dikenal adalah pengutuk kehidupan dan pemuja kematian. Oleh karena itu, tak heran jika mereka menyukai bom bunuh diri atau serangan individual, dengan senjata seadanya.
”Teori mencintai kematian yang diyakini NIIS ini menjadi relevan dengan kegalauan luar biasa yang dihadapi oleh milenial. Mereka sedang mengalami disorientasi di mana menghadapi dunia kerja yang tidak mudah dan tekanan lainnya yang membuat mereka frustrasi,” kata Amanah.
Terkait dengan rasa frustrasi ini, Amanah juga menemukan bahwa perempuan yang berada di daerah bencana lebih mudah terkena ideologi radikal. Rasa frustrasi yang dihadapi sekaligus disorientasi membuat mereka mudah dipengaruhi.
Selain itu, dalam konteks perjuangan NIIS, perempuan tidak hanya dilibatkan sebagai sistem pendukung, tetapi juga aktor utama. Gerakan radikal juga mendorong perempuan untuk memandang radikalisme dan kekerasan sebagai bentuk pemberdayaan.
Ini membuat sebagian perempuan secara psikologis terpanggil untuk memilih gerakan tersebut. Ada feminisasi dalam konteks jihad ala NIIS dan JAD sehingga dapat dikatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme tidaklah serta-merta sebagai garis belakang. Mereka bisa terlibat aktif bahkan dalam garda terdepan terorisme.
”NIIS menarget kaum perempuan, memperbudak, dan melibatkan mereka dalam operasi militernya sebagai fokus baru. Perempuan dinikahi dan dijadikan pengantin jihad. Selain itu, juga ada asumsi bahwa jihadis membutuhkan wanita saleha untuk mendukung mereka sebagai istri,” kata Amanah.
Sejumlah jaringan terorisme perempuan juga ditemukan di beberapa negara, di antaranya Syrian Social Nationalist Party (SSNP), Palestinian Liberation Organization (PLO), Kelompok Boko Haram, Irish Republican Army (IRA), serta Liberation Tiger of Tamil Eelam (LTTE) di Sri Lanka.
Rekomendasi
Kompleksitas perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme membuat masalah ini harus dicari duduk perkaranya melalui riset ilmiah. Noor Huda mengatakan, pemerintah bisa menggandeng masyarakat sipil untuk melakukan kajian ilmiah mengenai keterlibatan perempuan.
Sebab, jika tidak ditangani secara serius, masalah ini akan menjadi bom waktu. Apalagi, penyebaran ideologi radikal saat ini semakin mudah dengan media sosial. Strategi pencegahan dan penanganan harus dilakukan dengan mengadopsi pada teknologi informasi.
”Dulu, dalam era Jamaah Islamiyah, menjadi teroris itu jenjangnya panjang. Mulai harus ke luar negeri dulu, kemudian berjihad, dan menjadi teroris di negeri sendiri. Sekarang, menjadi teroris itu mudah, hanya beberapa jam atau hari bisa menjadi teroris melalui media sosial,” kata Noor Huda.
Amanah merekomendasikan negara dan pemerintah perlu memperhatikan aspek jender dalam menyelesaikan persoalan radikalisme dan terorisme. Selain itu, negara dan pemerintah juga perlu melibatkan tokoh perempuan dalam lembaga-lembaga pencegahan dan penanggulangan masalah radikalisme dan terorisme, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta Majelis Ulama Indonesia (MUI).
”Lebih penting, pemerintah juga perlu menciptakan kebijakan yang sensitif jender di dalam mencegah dan menanggulangi masalah radikalisme dan terorisme dengan berkelanjutan,” kata Amanah.