Tunjuk Anak dalam Pengadaan Sembako, Bupati Bandung Barat Jadi Tersangka
KPK menetapkan Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan barang tanggap darurat bencana pandemi Covid-19 karena menunjuk anaknya dalam pengadaan sembako.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan barang tanggap darurat bencana pandemi Covid-19 karena menunjuk anaknya dalam pengadaan sembako. Kasus ini memperpanjang kasus korupsi bantuan sosial yang terjadi selama pandemi.
Dalam perkara dugaan korupsi pengadaan bansos pada Dinas Sosial Pemerintah Kabupaten Bandung Barat tahun 2020, KPK telah menetapkan tiga tersangka. Mereka ialah Bupati Bandung Barat Aa Umbara; pemilik PT Jagat Dirgantara dan CV Sentral Sayuran Garden City Lembang, M Totoh Gunawan; serta seorang wiraswasta bernama Andri Wibawa. Adapun Andri merupakan anak dari Aa Umbara.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (1/4/2021), mengatakan, penetapan tersangka terhadap ketiga orang itu dilakukan setelah KPK melakukan proses penyelidikan dan menemukan bukti permulaan yang cukup.
Baca juga : Bupati Bandung Barat Aa Umbara Jadi Tersangka Korupsi Bansos Pandemi Covid-19.
”Dalam proses penyidikan perkara ini, tim penyidik KPK telah melakukan pemeriksaan terhadap 30 saksi, terdiri dari aparatur sipil negara pada Pemkab Bandung Barat dan beberapa pihak swasta lainnya,” ujar Alex.
Aa Umbara disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf i dan atau Pasal 15 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Atas perbuatan tersebut, Aa Umbara disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf i dan atau Pasal 15 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Sementara Andri Wibawa dan Totoh Gunawan disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf i dan atau Pasal 15 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 56 KUHP.
Alex menuturkan, untuk kepentingan penyidikan, tim penyidik menahan tersangka Totoh untuk 20 hari ke depan, yakni 1-20 April 2021, di Rumah Tahanan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur, Jakarta.
Sementara untuk dua tersangka, yakni Aa Umbara dan Andri, KPK telah melakukan pemanggilan terhadap mereka pada Kamis (1/4/2021). Namun, kedua tersangka mengonfirmasi tidak bisa hadir karena sakit.
”Tim penyidik akan melakukan penjadwalan dan pemanggilan ulang yang akan kami informasikan lebih lanjut dan mengingatkan agar para tersangka kooperatif hadir memenuhi panggilan dimaksud,” ucap Alex.
Penerimaan uang
Perkara korupsi pengadaan bansos ini bermula pada Maret 2020. Di tengah situasi pandemi Covid-19, Pemerintah Kabupaten Bandung Barat menganggarkan sejumlah dana untuk penanggulangan pandemi Covid-19 dengan melakukan refocusing anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2020 pada pos belanja tidak terduga.
Pada April 2020, diduga ada pertemuan khusus antara Aa Umbara dan Totoh yang membahas keinginan dan kesanggupan Totoh untuk menjadi salah satu penyedia pengadaan paket bahan pangan (sembako) pada Dinas Sosial Bandung Barat. Saat itu disepakati di antara kedua belah pihak dengan adanya pemberian komitmen fee sebesar 6 persen dari nilai proyek.
Untuk merealisasikan keinginan Totoh, Aa Umbara memerintahkan Kepala Dinas Sosial Bandung Barat dan Kepala Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa Bandung Barat untuk memilih dan menetapkan Totoh sebagai salah satu penyedia pengadaan paket sembako pada Dinas Sosial Bandung Barat.
Kemudian, pada Mei 2020, Andri menemui Aa Umbara untuk turut dilibatkan menjadi salah satu penyedia pengadaan sembako dampak Covid-19 di Bandung Barat. Permintaan itu langsung disetujui Aa Umbara dengan kembali memerintahkan Kepala Dinas Sosial Bandung Barat dan pejabat pembuat komitmen Dinas Sosial Bandung Barat agar ditetapkan.
Dalam kurun waktu April sampai Agustus 2020, di wilayah Bandung Barat dilakukan pembagian bansos bahan pangan dengan dua jenis paket, yaitu bansos jaring pengaman sosial (JPS) dan bansos terkait pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pembagian dilakukan sebanyak 10 kali dengan total realisasi anggaran senilai Rp 52,1 miliar.
Dengan menggunakan bendera CV Jayakusuma Cipta Mandiri dan CV Satria Jakatamilung, Andri mendapatkan paket pekerjaan dengan total senilai Rp 36 miliar untuk pengadaan paket bahan pangan bansos JPS dan pengadaan bansos PSBB.
Sementara Totoh dengan menggunakan PT Jagat Dirgantara dan CV Sentral Sayuran Garden City Lembang mendapatkan paket pekerjaan dengan total senilai Rp 15,8 miliar untuk pengadaan bahan pangan bansos JPS dan bansos PSBB.
Dari kegiatan pengadaan tersebut, Aa Umbara diduga telah menerima uang sekitar Rp 1 miliar. Adapun Totoh diduga telah menerima keuntungan sekitar Rp 2 miliar dan Andri diduga menerima keuntungan sekitar Rp 2,7 miliar.
Pasal suap
Alex menjelaskan alasan KPK tidak menerapkan pasal suap, seperti Pasal 2 dan Pasal 3 dalam UU Tipikor, pada kasus tersebut. Menurut dia, berdasarkan analisis dari penyidik dan jaksa penuntut umum pada saat ekspose perkara itu, tidak ditemukan adanya suap.
”Artinya tidak ada penyalahgunaan kewenangan yang digunakan oleh bupati sehubungan dengan jabatan atau kewenangannya. Semata konflik kepentingan, yakni seorang kepala daerah yang mempunyai kewajiban melakukan pengawasan terhadap suatu kegiatan justru ikut terlibat dalam proses kegiatan itu sendiri, melibatkan yang bersangkutan dan anak yang bersangkutan. Ia menunjuk langsung kerabat dekatnya, yaitu anaknya. Dari situ, kita melihat terjadi konflik kepentingan dalam proses pengadaan sembako tersebut,” tutur Alex.
Alex menyayangkan perbuatan Aa Umbara selaku kepala daerah yang sebenarnya ditugaskan untuk mengawasi pengadaan barang/jasa dalam keadaan pandemi Covid-19, tetapi malah terlibat dalam pengadaan tersebut. Menurut dia, ini merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan etika pengadaan dan peraturan pengadaan barang/jasa.
Perbuatan tersebut juga melanggar sumpah jabatan seorang kepala daerah, di mana kepala daerah dilarang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang bisa memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya.
”KPK mengingatkan kepada seluruh kepala daerah agar tetap memegang teguh janji dan sumpah selaku kepala daerah dengan tidak melakukan praktik dan perilaku yang koruptif dengan kewenangan yang dimilikinya,” kata Alex.
Sangat rawan dikorupsi
Dihubungi secara terpisah, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, berpandangan, kasus dugaan korupsi pengadaan bansos di Bandung Barat sebenarnya sudah diprediksi. Alasannya, penanggulangan pandemi Covid-19 tidak terlepas dari korupsi. Pengadaan bansos merupakan salah satu area paling rawan, begitu pula pengadaan barang yang berkaitan dengan kesehatan maupun pemulihan ekonomi.
Selain itu, lanjut Zaenur, kasus di Bandung Barat ini menjadi bukti bahwa bansos Covid-19 sarat dikorupsi. Hal ini juga terlihat dari kasus dugaan korupsi bansos yang melibatkan bekas Menteri Sosial Juliari Batubara serta sejumlah kepala desa.
”Sudah ada kasus (korupsi bansos) di pusat, sudah ada pula kasus di tingkat paling bawah, di level kepala desa yang melakukan korupsi bansos, lalu ini di level kabupaten. Ini menjadi bukti yang semakin lengkap bahwa di seluruh tingkatan, pengadaan bansos Covid-19 sangat rawan dikorupsi,” tutur Zaenur.
Ia menilai, bansos rawan dikorupsi karena proses pengadaannya dilakukan dalam kondisi darurat sehingga tidak menggunakan peraturan-peraturan reguler. Para pelaku korupsi justru memanfaatkan peraturan-peraturan khusus di mana dimungkinkan untuk adanya pengadaan langsung atau penunjukan langsung.
”Karena itu, dalam kondisi tidak ada persaingan, dalam kondisi darurat, dalam kondisi peraturan sangat longgar, risiko terjadinya penyelewengan sangat besar,” tuturnya.
Menurut Zaenur, dari kasus ini muncul pembelajaran bahwa proses pengawasan internal masih lemah. Karena itu, ia berharap, dengan tingkat kerawanan tinggi pengadaan bansos untuk dikorupsi, pengawasan internal maupun eksternal harus terus diperkuat.
”Menurut saya, ini sesuatu yang sangat jahat karena korupsi dilakukan ketika Indonesia, bahkan dunia, masih dalam kondisi bencana,” ujarnya.
Soal tidak dikenakannya pasal suap dalam perkara ini, Zaenur berpandangan, hal tersebut kembali lagi kepada hasil ekspose perkara oleh tim penyidik. Jika dilihat dari konstruksi kasusnya, perkara ini memang didasari kerja sama antara bupati dan anaknya serta satu rekanan yang lain. Artinya, orang dalam ikut dalam pengadaan barang dan jasa. Lalu, pengadaannya menguntungkan para pihak, termasuk diduga juga menguntungkan bupati.
Karena itulah, menurut dia, langkah KPK menjerat para tersangka dengan Pasal 12 Huruf i UU Tipikor sudah tepat. Lagi pula, pasal tersebut memang merupakan pasal yang paling mudah untuk disangkakan kepada para tersangka itu.
”Sebab, memang ada benturan kepentingan di mana seorang anak meminta kepada bapaknya yang seorang bupati untuk ikut bagian dalam pengadaan bansos. Memang pasal ini yang paling mudah untuk dibuktikan,” ujarnya.
Jika KPK ingin menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, lanjut Zaenur, penyidik harus mampu membuktikan unsur-unsur yang ada di dalam pasal-pasal tersebut. Misalnya, dalam Pasal 3, berarti harus ada pembuktian unsur penyalahgunaan kewenangannya. Lalu, dalam Pasal 2, penyidik harus membuktikan ada unsur melawan hukum.
”Kalau pertanyaannya bisa atau tidak, semua bisa. Namun, dalam unsur-unsur yang dibuktikan itu mungkin menjadi tantangan tersendiri, misalnya unsur melawan hukum, unsur merugikan keuangan negara. Jadi, hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi penyidik. Namun, kalau Pasal 12 Huruf i, KPK bisa dengan mudah menerapkannya dan paling tepat untuk menjerat para pelaku,” katanya.