Teror Makassar dan Mabes Polri yang Membunyikan Alarm Eksistensi JAD
Dua aksi teror di wilayah dan waktu berbeda dalam satu pekan terakhir seolah menunjukkan eksistensi Jamaah Ansharut Daulah. Serangan kelompok teroris itu memperhitungkan sisi target, pelaku, hingga waktu.
Kelompok teroris Jamaah Ansharut Daulah belum berhenti menghadirkan teror di Tanah Air. Sempat ”tertidur” selama tahun 2020, dua aksi teror sepekan terakhir kembali menyadarkan bahwa JAD masih eksis dan terus menjalankan upaya radikalisasi, terutama melalui media sosial.
Serangan teror oleh simpatisan JAD akhir Maret ini tercipta melalui taktik amaliyah (serangan) yang kerap mereka gunakan. Setidaknya ada tiga variabel, yakni target, pelaku, dan waktu, yang menjadikan aksi teror itu terlihat penting bagi simpatisan JAD serta Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Pertama, sasaran dari dua aksi teror adalah dua tempat yang selalu menjadi prioritas anggota dan simpatisan JAD melakukan serangan. Gereja serta markas kepolisian. Serangan kepada Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, seakan déjà vu atas serangan teror di Surabaya, Jawa Timur, pada 13-14 Mei 2018.
Serangan ke Gereja Katedral Makassar, 28 Maret, yang dilakukan sepasang suami-istri, L dan YSF, serupa yang dilakukan keluarga Dita Oepriarto bersama sang istri, Puji Kuswati, bersama ketiga anak mereka di tiga gereja di Surabaya, tiga tahun lalu. Aksi teror yang menyasar gereja atau rumah ibadah non-Muslim merupakan pola klasik yang dilakukan kelompok teroris di Tanah Air sejak era Jamaah Islamiyah (JI) pada awal dekade 2000-an.
Kemudian, serangan ke Markas Besar Polri yang dilancarkan pelaku teror tunggal, Zakiah Aini, Rabu (31/3/2021). Ia diduga lone wolf, tetapi sejumlah analis menduga ia simpatisan JAD. Serangan Zakiah seolah wujud dari ”perang” melawan thagut, yaitu individu atau kelompok masyarakat yang tidak sepaham ajaran keagamaan dengan JAD. Di era NIIS, yang mulai mengemuka pada awal 2015 di Indonesia, serangan yang mengarah kepada aparat dan markas kepolisian hampir terjadi setiap tahun.
Terhitung sejak serangan ke pos polisi di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Januari 2016, ada delapan serangan teror yang dilancarkan di ”rumah” korps Bhayangkara. Selain Pos Polisi Thamrin, ada serangan teror lain di Markas Kepolisian Resor Kota (Polresta) Surakarta, Jawa Tengah (Juli 2016); Markas Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara (Juni 2017); Markas Kepolisian Sektor (Polsek) Kebayoran Lama, Jakarta (Juli 2017); Markas Polresta Surabaya (Mei 2018); Markas Korps Brimob Polri (Desember 2018); Pos Polisi Kartasura, Jawa Tengah (Juni 2019), serta Markas Polresta Medan, Sumut (November 2019).
”JAD adalah pengusung ideologi takfiri yang menentang demokrasi Pancasila sehingga pembela negara ini, termasuk Polri, dianggap thagut. Polri bahkan masuk kategori kafir harbi atau golongan yang wajib dimusuhi dan diserang oleh mereka,” ucap Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang menjabat Kepala Polri periode Juli 2016-Oktober 2019, beberapa waktu lalu.
Baca juga : Saat Teror di ”Jantung” Aparat Keamanan Terjadi...
Kedua, pelaku aksi teror melibatkan keluarga dan perempuan. Hal ini merupakan konsep baru amaliyah ala NIIS yang menjadi pedoman JAD sejak 2016. Pada era JI, melibatkan anak dan perempuan saat merencanakan dan melakukan teror adalah hal yang diharamkan.
Keterlibatan tiga keluarga dalam aksi teror di Surabaya tiga tahun silam adalah wujud efektifnya pola radikalisasi dalam lingkungan keluarga terdekat. Berawal dari kajian agama secara virtual di grup media sosial atau aplikasi pesan instan, orangtua bisa menghadirkan doktrin radikal kepada anak-anaknya.
Cara itu diawali dengan menjauhkan sang anak dari lingkungan sosialnya dan fokus menjalani kehidupan sesuai dengan keyakinan mereka sendiri, salah satu caranya keluar dari sekolah umum. Hal itu dilakukan keluarga Dita yang ternyata secara sunyi menyiapkan sang anak untuk melakukan aksi teror melalui pendidikan home-schooling.
Anjuran pimpinan pusat NIIS di Irak untuk melibatkan perempuan dan anak muncul pada awal 2016. Anjuran itu disebarkan pendiri JAD, Aman Abdurrahman, melalui tulisannya di sejumlah blog yang diunggah para pengikutnya. Gejala itu sempat diidentifikasi tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri dengan menangkap Dian Yulia Novi dan Ika Puspita Sari. Mereka telah disiapkan untuk menjadi ”pengantin” atau pelaku teror yang menyerang simbol-simbol negara jelang perayaan Hari Kemerdekaan, Agustus 2016.
Dian dan Eka mengalami proses radikalisasi setelah bertemu secara virtual dengan sosok pria yang ternyata anggota sel JAD. Keterlibatan perempuan dalam aksi teror tidak lepas pula dari keterlibatan laki-laki di awal doktrinisasi paham radikalisme.
Perempuan lainnya, yaitu Umi Delima, menjadi pendukung setia suaminya, pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, Sulawesi Tengah, Santoso. Delima ikut serta dalam beberapa peristiwa baku tembak dengan aparat yang hendak menangkap Santoso.
Selain ketiganya, ada pula Solimah, istri Husain alias Abu Hamzah, pemimpin sel JAD di Sumatera Utara, yang menolak berdamai dengan aparat keamanan saat kediamannya di kawasan Sibolga, Sumut, diketahui tim Densus 88 Antiteror Polri pada Maret 2019. Solimah memilih meledakkan diri dengan mengajak anaknya menggunakan bom pipa yang dirakit bersama sang suami. Kejadian itu ironis karena Abu Hamzah justru menyerahkan diri.
Meningkat pesat
Keterlibatan Zakiah yang membawa pistol yang belakangan diketahui merupakan airgun di Mabes Polri masih perlu didalami. Polri perlu mendalami bagaimana Zakiah menjadi radikal, termasuk kemungkinan ada pihak yang meradikalisasinya. Fenomena teroris perempuan juga perlu mendapat perhatian serius dari pemangku kepentingan di Indonesia.
Riset Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang dituangkan dalam laporan bertajuk ”Extremist Women Behind Bars in Indonesia” yang diterbitkan September 2020 mengungkapkan adanya pertumbuhan pesat jumlah teroris perempuan yang ditahan Densus 88 Antiteror.
Pada periode 2000-2005 hanya ada seorang tahanan perempuan yang terlibat aksi terorisme, kemudian tiga orang pada periode 2006-2010, serta empat orang pada 2011-2015. Jumlah itu meningkat setelah simpatisan NIIS dan JAD menguasai ”panggung” aksi teror di Tanah Air. Pada masa waktu 2016-2020 terdapat 32 teroris perempuan yang ditahan.
Sityi Maesarotul Qori’ah dalam jurnal berjudul ”Keterlibatan Perempuan dalam Aksi Terorisme di Indonesia” yang dimuat dalam SAWWA: Jurnal Studi Gender Volume 14 Nomor 1 (2019) menilai, pelibatan perempuan merupakan wujud kelompok radikal memanfaatkan secara keliru isu ketidaksetaraan yang memosisikan perempuan sebagai makhluk yang lemah.
”Perempuan dijadikan sebagai alat perbandingan untuk laki-laki atas keberanian menjadi pelaku aktif aksi teror. Jika perempuan dan anak-anak berani menjadi martir, maka laki-laki harus lebih berani,” tulis Sityi.
Menurut Jessica Stern dan JM Berger dalam buku ISIS: The State of Terror (2015), berbagai strategi yang dilakukan kelompok dan simpatisan NIIS tidak pernah tanpa adanya rencana yang matang serta tujuan tertentu demi menjaga eksistensi kelompok tersebut.
”NIIS berusaha menghadirkan empati pengikutnya dengan memaksa mereka berpartisipasi atau mengamati tindakan brutal yang dilakukan anggota yang telah melakukan aksi. Tujuannya, agar keinginan untuk melakukan kekerasan itu menular,” tulis keduanya.
Momen terbaik
Ketiga, saat ini adalah salah satu momen terbaik bagi simpatisan NIIS untuk beraksi. Sejak era JI, perencanaan aksi teror dominan dilakukan pada empat momen, yaitu menjelang bulan Ramadhan, Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Hal itu ditandai dengan banyaknya penangkapan terduga teroris oleh Densus 88 Antiteror Polri pada momen-momen tersebut.
Disadari atau tidak, bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar dan serangan teror di Mabes Polri berlangsung pada bulan yang sama menurut kalender Hijriah dengan bom bunuh diri di tiga gereja Surabaya serta Markas Polresta Surabaya. Teror tersebut terjadi di bulan Syaban atau bulan terakhir sebelum menyambut Ramadhan. Syaban ialah salah satu bulan mulia bagi umat Islam.
Meskipun mampu menangkap puluhan, bahkan ratusan terduga teroris di masa-masa ”favorit” JAD melakukan amaliyah, aksi Zakiah di Mabes Polri mencoreng reputasi korps Bhayangkara. Apalagi setelah kericuhan yang diciptakan terpidana terorisme di Mako Brimob pada 2018, Polri telah memperketat pengamanan di Mabes Polri. Ini terutama dengan memberlakukan pintu masuk terpusat serta kehadiran puluhan personel yang dilengkapi senjata laras panjang dan rompi antipeluru di sejumlah sudut.
Hanya saja, pengamanan superketat itu biasanya hanya terjadi setelah adanya momen krusial, salah satunya teror. Setelah kondisi keamanan kembali tenang, protokol keamanan itu cenderung mengendur, misalnya tidak diterapkannya pemeriksaan barang bawaan pengunjung Mabes Polri.
Hal tersebut yang menjadi celah bagi simpatisan JAD untuk menebar teror. Jaringan teroris biasanya melakukan beberapa kali pemantauan yang intens di lokasi target untuk mengamati situasi di wilayah tersebut.
Kembali hadirnya ancaman nyata dari kelompok JAD menunjukkan perang terhadap terorisme jelas masih jauh dari usai. Sudah seharusnya seluruh pemangku kepentingan memikirkan upaya pencegahan teror dan program kontraradikalisasi yang holistik dan berkesinambungan.
Dengan begitu, upaya pemberantasan terorisme tidak lagi sekadar program reaktif untuk memadamkan ”api” saat serangan teroris sudah terjadi.