Gelombang ”Serius” di Youtube
Kian maraknya konten ”serius” di media sosial dapat mendorong demokratisasi. Namun, tanpa aturan main yang jelas, justru bisa berefek negatif.
Tema-tema hiburan, hobi, dan soal human interest lainnya, adalah arus utama Youtube. Namun tahun 2020 menandai mulai berkembangnya kanal-kanal bertema ”serius” dengan format yang umumnya talk show. Sejumlah pesohor memproduksi konten Youtube bertema ”serius” dengan jumlah audiens yang terus tumbuh.
Tema ”serius” yang dimaksud merujuk tema-tema yang sifatnya berkaitan dengan kepentingan publik dalam konteks demokrasi Indonesia. Sebut saja misalnya tema politik, hukum, ekonomi, kebijakan publik, pendidikan keluarga, kesehatan, dan psikologi populer. Tentu diksi ”serius” ini sebatas istilah yang bersifat memudahkan saja dan bukan dimaksudkan secara harafiah.
Pesohor yang terjun menjadi Youtuber dengan tema-tema ”serius” biasanya adalah mereka yang berlatar-belakang pejabat negara, politisi, dan pakar yang selama ini menjadi narasumber langganan program talk show televisi untuk tema-tema ”serius”. Sebut saja misalnya Helmy Yahya, Refly Harun, Gita Wirjawan, Dahlan Iskan, Rocky Gerung, dan Akbar Faisal.
Sejumlah pembawa acara program televisi tema-tema ”serius” juga tidak ketinggalan membuat kanal dan memproduksi konten secara mandiri di Youtube. Misalnya adalah Karni Ilyas dan Najwa Shihab. Beberapa Youtuber dari kalangan dunia hiburan pun ada kalanya mengangkat tema-tema ”serius”. Contoh, Deddy Corbuzier.
Baca juga: Tanggung Jawab Media Sosial
Akbar Faizal, anggota DPR periode 2014-2019 dari Fraksi Partai Nasdem, membuat kanal atas nama Akbar Faisal Uncensored per 22 Januari 2020. Dengan format talk show, kontennya khusus mengangkat tema-tema politik dan hukum.
Awalnya ia tak menyangka kontennya akan banyak ditonton. Namun seiring waktu, makin banyak pemirsa mengunjungi kanalnya. Per 29 Maret, 36 video sudah diunggah dengan lebih dari 90.000 subscriber dan sedikitnya 6 juta pemirsa. Setiap video umumnya telah ditonton puluhan ribu hingga ratusan ribu pemirsa.
Akbar mengaku bahwa ide membuat konten di Youtube bukan berasal dari dirinya tetapi beberapa stafnya. Selanjutnya bersama dengan tim yang terdiri atas tiga orang, ia mulai memproduksi konten. Awalnya program hanya menghadirkan satu narasumber di setiap acara. Pada perkembangannya, program menghadirkan beberapa narasumber sekaligus.
Melalui kanalnya itu, Akbar berkeinginan menyampaikan informasi-informasi yang bisa dipertanggung-jawabkan dengan cara yang bermartabat. Untuk itu, ia berkomitmen menghadirkan berbagai cara pandang, alternatif, dan varian pemikiran dalam acaranya.
”Saya bukan orang yang mengejar subscriber. Setelah saya pelajari, banyak akun yang punya banyak subscriber tapi tidak cukup banyak informasi yang ditawarkan ke publik. Salah satu pertanggungjawaban seorang Youtuber, menurut saya, adalah menawarkan informasi yang bisa dipertanggung-jawabkan,” kata Akbar di Jakarta, Senin (22/03/2021).
Helmy Yahya, Direktur Utama TVRI periode 2017-2020, membuat kanal Youtube atas nama ”Helmy Yahya Bicara” per 19 Maret 2020. Formatnya adalah juga talk show mengadirkan tokoh-tokoh untuk berbagi pengalaman hidup dan pandangan mereka.
”Raja kuis” itu memahami, acara-acara berkualitas cenderung tidak banyak ditonton pemirsa. Namun di Youtube, segmentasi pemirsa akan terbentuk dengan sendirinya. Maka ia memutuskan membuat konten dengan fokus memberikan inspirasi kepada pemirsa sesuai personal branding-nya.
Di luar dugaan, konten produksi Helmy menjaring 100.000 pemirsa hanya dalam tempo tiga minggu pertama. Seiring dengan produksi konten-konten berikutnya, pemirsa pun terus bertambah. Sampai dengan 29 Maret 2021, 255 konten telah diunggah dengan 699.000 subscriber dan 49,92 juta pemirsa. Setiap konten rata-rata telah ditonton puluhan ribu hingga ratusan ribu pemirsa. Hal yang menarik adalah bahwa 60 persen pemirsanya adalah generasi milenial.
”Di Youtube, kita bisa ngomong apa saja. Tapi saya tidak mau menggunakan kebebasan itu untuk bicara yang tidak bermanfaat. Saya konsisten bahwa konten-konten saya harus ada inspirasinya, ada nilainya, ada informasinya, dan ada edukasinya,” kata Helmy.
Kalah jauh
Dari sisi jumlah pemirsa, konten ”serius” masih kalah jauh dari konten-konten yang mengedepankan cerita-cerita seputar pesohor di dunia hiburan. Berdasarkan Socialblade, situs tentang statistika media sosial, dari 100 kanal Youtube dengan permisa terbanyak di Tanah Air di 2020, hanya empat kanal khusus mengangkat tema ”serius” yang tembus.
Satu kanal adalah Najwa Shihab di peringkat 55. Sementara tiga kanal lainnya adalah ekstensifikasi tiga stasiun televisi khusus berita di peringkat 35, 43, dan 93. Konten yang menampilkan kehidupan pesohor dunia hiburan mendominasi 100 kanal Youtube Indonesia dengan pemirsa terbanyak.
Direktur Digital Media and Communication Research Center (Decode) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Muhammad Sulhan, di Yogyakarta, Rabu (31/03/2021), menyatakan, konten-konten bertema ”serius” akan semakin marak ke depan. Alasannya, kebutuhan informasi ”serius” terus meningkat. Ini terutama didorong oleh bertambahnya kelas menengah yang haus informasi dan aktif di media sosial.
Aspek permintaan tersebut bertemu dengan apsek penawaran dari tumbuhnya kanal-kanal Youtube bertema ”serius” yang diproduksi para pesohor. Konteks dinamika politik yang akan semakin intensif menjelang Pemilu 2024 menjadi faktor yang mempercepat pertumbuhannya.
”Media sosial akan menjadi leading sektor demokratisasi di Indonesia karena arus opini dan pembentukan opini sudah dipegang influencer,” kata Sulhan.
Tantangannya, menurut Sulhan, kanal Youtube bersifat sangat personal. Tidak ada institusi yang menjaga kualitas konten dan menegakkan kode etik sebagaimana terjadi pada media massa konvensional. Apalagi, kecenderungan menjaring pemirsa sebanyak-banyaknya akan mengarahkan konten agar memuaskan keinginan audiens.
Sementara, perspektif yang memiliki dasar kuat, pada banyak kejadian, tak memiliki banyak pendukung. Sebaliknya, perspektif tanpa dasar kuat acapkali justru mendapatkan banyak pendukung hanya karena sensasional. Dan khusus untuk tema politik dan hukum, kanal-kanal ”serius” yang partisan bukannya akan memberikan pendidikan politik melainkan justru membelah masyarakat.
”Selama belum ada aturan main yang jelas di media sosial, polarisasi akan kembali terjadi di masyarakat untuk berbagai isu, terutama menjelang 2024. Netizen selau berpikir dua, pro dan kontra. Akan banyak kanal yang mengikuti arus netizen. Pertanyaannya, seberapa banyak kanal yang mau konsisten mengambil posisi di tengah dengan menawarkan kualitas dan tidak partisan,” kata Sulhan.
Berdasarkan DataReportal, situs statistika perilaku digital masyarakat, pengguna internet di Indonesia per Januari 2021 sudah mencapai 202,6 juta orang atau hampir 74 persen dari total penduduk Indonesia. Laju pertumbuhannya sebanyak 27 juta orang atau 16 persen selama setahun terakhir dengan tingkat penetrasi mencapai 73,7 persen.
Dari jumlah tersebut, 170 juta orang di antaranya atau hampir 62 persen dari total penduduk Indonesia merupakan pengguna media sosial. Selama setahun terakhir, jumlahnya bertambah 10 juta orang atau 6,3 persen dengan tingkat penetrasi mencapai 61,8 persen.
Baca juga: Peretasan, "Buzzer", dan Demokrasi di Era Digital
Kelompok umur 25-34 tahun adalah pengguna media sosial terbanyak, yakni 33,1 persen. Berikutnya adalah kelompok umur 18-24 tahun sebanyak 30,7 persen disusul kelompok umur 35-44 tahun sebanyak 13,1 persen dan kelompok umur 13-17 tahun sebanyak 12,5 persen. Selanjutnya adalah kelompok umur 45-54 tahun dengan porsi sebesar 5,6 persen. Sisanya terdistribusi di kelompok umur 55 tahun ke atas.
Dari pengguna internet umur 16-64 tahun, 93,8 persen mengunjungi Youtube di Januari 2021. Ini menempatkan Youtube sebagai media sosial paling banyak dikonsumsi dengan proporsi 45,9 persen perempuan dan 54,1 persen laki-laki. Rata-rata waktu akumulatif yang dihabiskan untuk nonton video di Youtube mencapai 25,9 jam per orang per bulan.
Kelas menengah dengan karakter haus informasi dan aktif di media sosial menjadi kelompok penting dalam audiens digital tersebut. Bank Dunia dalam laporan tentang kelas menengah di Indonesia per September 2019, menyebutkan, jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 52 juta jiwa.
Artinya, satu dari lima penduduk Indonesia termasuk kelas menengah. Sementara 115 juta jiwa lainnya atau 45 persen dari total penduduk Indonesia termasuk kelompok masyarakat yang potensial naik kelas dari kelas bawah yang di atas garis kemiskinan menjadi kelas menengah.
Kelas menengah, masih merujuk laporan Bank Dunia, adalah komponen kunci bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia mutakhir. Di samping itu, mereka juga memainkan peran sosial-politik yang vital sehingga sangat memengaruhi pemerintahan dan kebijakan publik.
Instrumen Demokratisasi
Pengajar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah, Gun Gun Heryanto, Jakarta, Rabu (24/03/2021), menyatakan, media sosial memberi ruang bagi siapa pun untuk mendiseminasikan gagasannya ke publik. Ini disebut demokrasi siber.
”Ke depan, media sosial akan semakin mendapatkan tempat (untuk diseminasi isu-isu ”serius”) karena user-generated content. Dengan keluwesannya, media sosial akan menjadi favorit digunakan. Youtube menjadi menarik untuk mendiseminasikan gagasan karena formatnya yang audio-visual. Kelas menengah terdidik yang selama ini menumpuk di Twitter kini mulai bergeser ke Youtube dan podcast,” kata Gun.
Dengan demikian, peran media sosial yang makin dominan akan menandai perjalanan demokrasi Indonesia ke depan. Media massa konvensional sebagai pengawal perjalanan demokrasi Indonesia periode 1950-2000 sudah dan akan kian tergeser.
”Media sosial akan menjadi driving force demokratisasi di kalangan generasi baru. Itulah sebabnya mengapa kita harus terus meningkatkan kualitas informasi yang beredar di media sosial kita. Maka pemerintah perlu membuat regulasi yang demokratis. Semua pemangku kepentingan juga harus sama-sama meningkatkan literasi digital. Jika tidak, media sosial hanya akan menjadi ajang perang para cyber troop. Kuncinya di kekuatan masyarakat sipil dan pemerintah,” kata Gun.
Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, berpendapat, media sosial hadir untuk menembus keterbatasan media massa konvensional. Melalui media sosial, setiap orang bisa menjadi produser sekaligus narasumber serta mudah dan cepat menyebarkannya dengan biaya murah.
Namun Agus mengingatkan, Youtube dan media sosial lainnya memiliki sisi gelap karena membuka peluang bagi konten-konten buruk. Misalnya adalah kebohongan, ujaran kebencian, intolerasi menyangkut tema-tema suku agama ras dan antargolongan (SARA), dan tindakan asusila.
Untuk itu, kesadaran masyarakat akan tanggung-jawab bermedia sosial merupakan faktor terpenting. Tantangannya, ini masih rendah di Indonesia sehingga literasi digital mendesak digencarkan.
Pada saat yang sama, Agus menambahkan, platform media sosial semestinya memikul tanggung-jawab yang lebih besar. Di Eropa contohnya, adalah platform yang harus bertanggung-jawab di depan hukum atau legislatif manakala ada konten yang dianggap merusak atau merugikan kepentingan umum.
Baca juga: Pandemi Beri Tekanan Indeks Demokrasi Indonesia
”Kalau kita sepakat media sosial adalah ruang publik, maka semua orang yang melanggar etika publik harus mendapatkan sanksinya. Persoalannya, regulasinya belum ada, standar etikanya belum jelas betul. Ini harus dicari formula regulasinya, tidak untuk memberangus kebebasan berpendapat melainkan menekankan tanggung-jawab pembuat konten dan platform,” kata Agus.
Tahun 2020 menandai tumbuhnya kanal-kanal bertema ”serius” di Youtube. Melihat tren dan konteks, menjamurnya kanal-kanal semacam itu tinggal urusan waktu saja sebab kebutuhan masyarakat akan informasi yang tidak melulu hiburan sudah pasti meningkat. Ini terjadi seiring menggelembungnya jumlah audiens digital di Indonesia, terutama dari kelas menengah.
Inilah era media sosial sebagai faktor pendorong utama demokratisasi di Indonesia, tentu dalam dua sisinya sekaligus, terang dan gelap.