Posisi Kawasan Asia-Pasifik menjadi semakin penting. Situasinya kini bahkan memanas. Salah satu wilayah yang diperebutkan adalah bawah laut yang strategis secara militer.
Oleh
Edna C Pattisina
·6 menit baca
Sejak jaman kolonial, laut adalah media untuk memperluas kekuasaan dan pengaruh. Tidak heran, China memfokuskan diri membangun kekuatan armada lautnya. Menurut laporan tahunan Kementerian Pertahanan Amerika Serikat kepada Kongres tahun 2020, Angkatan Laut China (People\'s Liberation Army Navy) kini adalah yang terbesar di dunia. AL China memiliki 350 kapal perang, sementara AS hanya 293 kapal. Dari sisi kualitas, teknologi dan kemampuan kapal-kapal China berkembang pesat dalam waktu singkat.
Walau ada saling ketergantungan ekonomi, AS tidak ingin membiarkan China bangkit. Kedua raksasa ini saling berebut pengaruh. Sementara AS berupaya memupuk relasi dengan mitra-mitra tradisionalnya, China punya cara yang lebih efektif yaitu membeli. Sebagai contoh, tahun 2015, China membeli fasilitas di Pelabuhan Darwin, Australia. China juga membangun pelabuhan di Vanuatu, sebuah negara di Pasifik yang sering berseberangan dengan Indonesia soal Papua. Demikian juga di Malaka dan Kaledonia Baru dan pelabuhan laut dalam di Timor Leste.
Kapal selam selalu menjadi elemen penting dalam perang apalagi di teater yang didominasi laut seperti Asia Pasifik. Kehadirannya tidak diketahui musuh sehingga kapal selam bisa menempatkan dirinya pada posisi yang paling tepat, baik untuk menyerang atau untuk memata-matai. Berbagai literatur memperkirakan, saat ini China memiliki sekitar 60-70 kapal selam yang akan berkembang menjadi 99 pada tahun 2030.
Kapal selam selalu menjadi elemen penting dalam perang apalagi di teater yang didominasi laut seperti Asia Pasifik. Kehadirannya tidak diketahui musuh sehingga kapal selam bisa menempatkan dirinya pada posisi yang paling tepat, baik untuk menyerang atau untuk memata-matai
Dari sekitar 60-70 kapal selam itu, lima diantaranya bisa meluncurkan rudal balistik, lima kapal selam nuklir, 50-an bertenaga diesel yang memiliki kemampuan air-independent propulsion. Salah satu rudal balistik nuklir yang dibangun China adalah JL-2 yang menurut data Missile Threat dari Center of Strategic and International Studies (CSIS) yang ada di AS, punya jangkauan 8000-9000 km dan dapat diluncurkan dari kapal selam.
Bawah Laut
Berturut-turut ditemukanya pesawat nirawak bahwa laut atau drone atau lebih spesifik lagi sea glider, sesuai mekanisme kerjanya menjadi indikasi adanya survei untuk persiapan operasi kapal selam di laut teritorial Indonesia. Misalnya, di Pulau Tengge, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, pada 3 Maret 2019, ditemukan drone bawah laut yang ada aksara China bertuliskan nama China Shenyang Institute of Automation, Chinese Academy of Sciences. Setelah itu, 20 Januari 2020, nelayan di Masalembu, Madura, juga menemukan benda serupa yang dilengkapi kamera dan beraksara China. Terakhir, drone yang mirip ditemukan di Selayar, akhir Desember 2020.
Banyak pihak yang menyebutnya sebagai Sea Wing (Haiyi). Pihak TNI AL, yaitu Pusat Hidrografi dan Oseanografi TNI AL kemudian melakukan investigasi. Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Julius Widjojono Sabtu (27/3/2021) mengatakan, investigasi sudah usai. Hasilnya, sebagaimana disebutkan KSAL Laksamana Yudo Margono, sea glider di Selayar itu adalah alat penelitian. Pushidrosal menemukan, alat tersebut mirip dengan alat serupa yang pernah diluncurkan Universitas Sam Ratulangi.
“Pihak asing harus lapor atau minta ijin kalau mau penelitian. (Akan tetapi) Memang belum ada kontrol yang kuat,” kata Julius.
Pihak TNI AL bisa saja membuat bantahan. Namun, peristiwa 13 Januari 2021 memberi bukti lain. Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengusir kapal survei China Xiang Yang Hong 03 dari Selat Sunda. Kepala Bakamla Laksdya Aan Kurnia dalam rapat di DPR 2 Februari mengatakan, pihaknya curiga kapal itu menyalakan sensor bawah air karena berjalan dengan kecepatan 6-8 knot dari kecepatan awal kapal 11 knot. Kapal itu juga tiga kali mematikan Automatic Identification System (AIS) sehingga tidak bisa dipantau keberadaannya.
Menurut data Maritime Transparency Initiative (CSIS), antara April 2019 hingga Maret 2020, China melaksanakan 25 misi dengan kapal surveinya di kawasan Asia Pasifik. Sementara, AS hanya melakukan 6 misi, Jepang (6), India (4), Australia (3), Prancis (3), dan Filipina (1).
Secara konvensional, survei bawah laut digunakan untuk mendapatkan informasi tentang salinitas, arus, dan temperatur di suatu kedalaman yang akan berpengaruh terutama pada kesenyapan kapal selam. Akan tetapi, perkembangan teknologi mengubah segalanya. Chip komputer yang lebih kecil dengan kemampuan memproses data yang lebih cepat mendorong teknologi big data juga meningkatkan kemampuan anti kapal selam. Alat deteksi kapal selam bisa berukuran kecil, diletakan di dasar laut atau dimuat di drone-drone bawah laut. Deteksi sonar dengan medium frekuensi 1000-10.000 Hz yang ada saat ini bisa berkembang pada deteksi di bawah 1000 Hz yang punya daya jangkau lebih jauh.
Bryan Clark dalam tulisannya The Emerging Era in Undersea Warfare (2015) menyebutkan, ke depan deteksi kapal selam dengan cara non-akustik juga sudah bisa dilakukan, misalnya dengan menggunakan laser. Sensor gerak akan membandingkan gerakan di dalam air dengan big data tentang kondisi normalnya. Sehingga ketika ada kapal selam lewat, akan terjadi anomali yang bisa dideteksi sensor gerak tadi.
Bukan kebetulan kalau sea glider ditemukan di Selayar dan Kepri sementara kapal survei China ada di Selat Sunda. Selayar dekat dengan jalur Selat Makassar dan Selat Lombok yang sempit. Demikian juga dengan Selat Sunda dan Selat Malaka di dekat Kepri. Dua jalur Sea Lines of Communication (SLOC) ini sangat penting untuk operasi kapal selam China di masa perang.
Strategi China sebagaimana kerap disampaikan Presiden Xi Jinping bertujuan untuk menjaga kedaulatan menjadi impian yang ingin dicapai China 2045. Ini membawa pada konsekuensi bahwa China tidak akan membiarkan Taiwan lepas. Akan tetapi, perlu diingat juga klaim China tentang daerah pencarian ikan tradisional di Laut China Selatan yang tumpang tindih dengan wilayah teritorial berbagai negara ASEAN, serta Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Tinggal menunggu waktu saja China akan lebih menunjukkan ototnya yang lebih kuat dari strategi abu-abu yang banyak melibatkan milisi sipil saat ini.
Titik konflik yang bisa memicu perang dengan China adalah ketidakpastian status Taiwan. Kemampuan Anti Akses/Area Denial (A2/AD) yang berguna untuk mengisolasi Taiwan dari intervensi negara lain telah cukup efektif di laut di antara daratan China dan Rangkaian Kepulauan Pertama. Akan tetapi, China juga telah membangun kekuatan sehingga bisa menguasai wilayah antara daratan dan Kepulauan Kedua.
Banyaknya survei yang dilakukan China di Asia Pasifik menunjukkan kalau China telah menambah strategi A2/AD nya sehingga punya kemampuan pertahanan aju. Ini berarti lautan di antara China dan AS serta sekutu-sekutunya bisa menjadi wilayah pertempuran. Lautan di sini tentunya termasuk lautan kepulauan Indonesia, yang tidak saja ukurannya sangat besar, letaknya strategis, tetapi juga punya banyak pulau-pulau kecil yang tak berpenghuni. Di sisi lain, harus diakui formasi geografis itu membuat Indonesia sulit menjaga pulaunya dengan ketat.
Banyaknya survei yang dilakukan China di Asia Pasifik menunjukkan kalau China telah menambah strategi A2/AD nya sehingga punya kemampuan pertahanan aju
Di sisi lain, China membutuhkan pertahanan aju sehingga pertempuran terjadi sejauh mungkin dari daratan China. Dengan demikian, tidak saja China bisa mencegah kerusakan di wilayahnya, tetapi juga bisa mencegat musuh sebelum mendekat, tetapi juga bisa menyerang musuh dari jarak yang lebih dekat.
Di sinilah peran strategis kapal selam. Kapal selam karena operasinya yang tersembunyi di bawah laut bisa maju sampai titik terjauh dari daratan China, yang juga titik terdekat ke arah musuh. Walaupun telah memiliki rudal-rudal balistik, tetapi tetap ada kendala jarak yang harus diatasi dengan mendekat ke arah lawan, misalnya pangkalan AS di Guam atau di negara-negara sekutunya. Dengan demikian, China bisa membuat medan pertempuran yang tidak linier, sembari mempertahankan tembok besarnya berupa daerah antara Rangkaian Kepulauan Pertama dengan daratan China.