Sosialisasikan RKUHP, Pemerintah Janji Buka Ruang Diskusi Lebih Luas
Pemerintah gencar menyosialisasikan RKUHP ke berbagai kota di Indonesia. Sosialisasi penting dilakukan agar masyarakat memahami isi RKUHP dengan benar dan mencegah disinformasi terkait rancangan undang-undang tersebut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mulai intens menyosialisasikan kembali Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana setelah rancangan undang-undang tersebut batal disahkan pada September 2019. Dalam sosialisasi yang dilakukan, pemerintah berjanji terbuka terhadap masukan-masukan publik.
Belakangan ini, pemerintah telah melakukan sosialisasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) ke beberapa kota di Indonesia. Di antaranya Medan (23 Februari 2021), Semarang (4 Maret 2021), Bali (12 Maret 2021), Yogyakarta (18 Maret 2021), dan Ambon (26 Maret 2021).
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau yang akrab disapa Eddy, melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas, Sabtu (27/3/2021), mengatakan, forum diskusi soal RKUHP akan terus dilanjutkan ke kota-kota lain. Dalam proses diskusi, pemerintah akan terbuka terhadap masukan-masukan dari berbagai pihak.
”Kunci keberhasilan perumusan undang-undang terletak pada sosialisasi yang perlu dilakukan secara masif,” ujar Eddy.
Dalam sosialisasi kali ini, Kemenkumham akan menyasar pada lima tema utama, yakni perkembangan RKUHP, pembaruan RKUHP, struktur RKUHP, isu krusial RKUHP, dan tindak pidana khusus dalam RKUHP.
Eddy menjelaskan, forum diskusi bertujuan untuk menyamakan persepsi masyarakat terhadap pasal-pasal di dalam RKUHP. Selain itu, forum tersebut juga menjadi wadah pertanggungjawaban proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara transparan, serta melibatkan masyarakat.
Sebelumnya, dalam rapat bersama antara Menkumham Yasonna H Laolly dan Komisi III DPR, Rabu (17/3/2021), disepakati bahwa RKUHP ditargetkan masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Adapun RUU tersebut merupakan luncuran dari DPR periode 2014-2019.
Sosialisasi RKUHP tentu sangat diperlukan agar publik mendapat pemahaman yang benar mengenai isi RUU tersebut. Ini juga bertujuan agar tidak terjadi disinformasi di masyarakat akibat kurangnya sosialisasi.
Perlu dibahas kembali
Secara terpisah, Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Herman Herry berpandangan, sosialisasi RKUHP tentu sangat diperlukan agar publik mendapat pemahaman yang benar mengenai isi RUU tersebut. Ini juga bertujuan agar tidak terjadi disinformasi di masyarakat akibat kurangnya sosialisasi.
”Dampaknya bisa fatal karena membuat banyaknya isu negatif. Hal tersebut juga sempat menjadi catatan penting dari DPR saat pengesahan RKUHP dinyatakan ditunda beberapa waktu lalu,” ujar Herman.
Herman berharap RKUHP nanti dapat menjawab dinamika tindak pidana yang terus mengalami pembaruan seiring dengan perkembangan zaman. Menurut dia, aspirasi masyarakat belakangan ini soal revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga turut menambah krusialnya pengesahan RKUHP.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, menambahkan, masih ada sejumlah pasal kontroversial di RKUHP yang perlu dibahas dan dirumuskan kembali. Salah satunya, pasal yang mengatur terkait penodaan agama, yakni Pasal 304-309.
”Perumus (RKUHP) harus bisa memastikan pasal-pasal yang dibuat nanti tidak menjadi multitafsir atau berpotensi sebagai pasal karet,” ucap Taufik.
Pemerintah dan DPR telah bersepakat agar RKUHP nanti lebih mengarah pada rekodifikasi, bukan kodifikasi. Artinya, tindak kejahatan yang sebelumnya diatur melalui berbagai undang-undang sektoral, akan dimasukkan kembali ke dalam RKUHP.
Rekodifikasi
Eddy mengungkapkan, pemerintah dan DPR telah bersepakat agar RKUHP nanti lebih mengarah pada rekodifikasi, bukan kodifikasi. Artinya, tindak kejahatan yang sebelumnya diatur melalui berbagai undang-undang sektoral, akan dimasukkan kembali ke dalam RKUHP. Dalam kaitan itu, Kemenkumham telah menginventarisasi sekitar 200 undang-undang sektoral.
”Paling tidak untuk mencegah, pertama, tidak ada lagi disparitas pidana. Kedua, ada standar pemidanaan sehingga hakim tidak akan latah untuk menjatuhkan pidana penjara tetapi ada kriteria-kriteria sampai pada hakim menentukan dia bisa menjatuhkan pidana penjara," kata Eddy.
Menurut Eddy, revisi KUHP juga menjadi upaya memperbarui sistem hukum secara holistik. Dengan begitu, ia berharap ini dapat mengurangi kelebihan penghuni lembaga pemasyarakatan yang terjadi sekarang.
Meskipun pidana penjara masih diakui sebagai pidana pokok, lanjutnya, pidana penjara adalah pidana alternatif yang paling akhir dilakukan. Masih ada pidana-pidana lain yang bisa dikenakan kepada pelaku kejahatan, misal pidana denda, pidana pengawasan, pidana kerja sosial.
”Penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan inilah yang kemudian menghasilkan KUHP dengan paradigma baru. Jadi, nanti, tidak lagi berdasarkan keadilan retributif, tetapi sudah berorientasi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif,” katanya.