Kelanjutan Pengujian UU di MK Masih Harus Menunggu
Kelanjutan pemeriksaan pengujian UU oleh MK masih harus menunggu karena belum seluruh perkara terkait pilkada tuntas diputus. Setelah tuntas, MK diminta memprioritaskan perkara pengujian UU yang sudah lama masuk ke MK.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diharapkan segera melanjutkan pemeriksaan perkara pengujian undang-undang setelah seluruh perkara perselisihan hasil pilkada tuntas diputus. Banyak perkara pengujian undang-undang yang jadi pekerjaan rumah mahkamah.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih saat dihubungi pada Jumat (26/3/2021) mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menyelesaikan terlebih dahulu sisa perkara perselisihan hasil pilkada yang belum diputus. Setelah itu baru akan dilanjutkan kembali pemeriksaan pengujian UU yang sempat tertunda.
Lebih lanjut mengenai hal itu akan dirapatkan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), pekan depan. ”Sudah menjadi target MK untuk perkara yang lama-lama harus segera diputus,” ujar Enny.
Berdasarkan informasi dari laman resmi MK, mkri.id, masih ada sisa empat perkara sengketa hasil pilkada. Empat perkara itu, tiga di antaranya permohonan perselisihan hasil Pilkada Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, dan satu lagi Pilkada Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Untuk diketahui, karena harus menuntaskan permohonan sengketa hasil pilkada, MK menunda sidang perkara-perkara pengujian UU sejak akhir tahun lalu.
Untuk perkara Kabupaten Sabu Raijua, dua pemohon berasal dari pasangan calon bupati dan wakil bupati nomor urut 1, Nikodemus N Rihi Heke-Yohanis Uly Kale, serta pasangan nomor urut 3, Takem Irianto Radja Pono-Herman Hegi Radja Haba. Satu permohonan lainnya berasal dari pemantau pemilu Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi Sabu Raijua (Amepedo). Mereka meminta MK mengatasi masalah kebuntuan hukum status kewarganegaraan bupati Sabu Raijua terpilih, Orient P Riwu Kore.
Adapun untuk Pilkada Kabupaten Pesisir Selatan, pemohon juga meminta MK untuk mengatasi kebuntuan hukum terkait status terpidana bupati terpilih, Rusma Yus Anwar.
Juru Bicara MK Fajar Laksono menjelaskan, masa gugus tugas penanganan perkara sengketa hasil pilkada, menurut rencana, selesai pada 10 April. Setelah itu kemungkinan MK baru akan melanjutkan pemeriksaan perkara pengujian UU. Namun, tak menutup kemungkinan pula bisa lebih cepat.
Saat ini, tahapan penanganan perselisihan hasil pilkada adalah e-minutasi atau penataan berkas perkara secara digital, selain ada empat perkara yang belum diputus.
Uji materi UU KPK
Salah satu pemohon dalam perkara uji materi UU KPK dan UU MK, Violla Reininda, mengatakan, setelah perkara sengketa hasil pilkada selesai, diharapkan MK bisa kembali fokus pada penanganan perkara pengujian UU.
Pengujian UU KPK, misalnya, harus segera diagendakan sidang pengucapan keputusan. Sebab, perkara itu sudah diajukan sejak akhir 2019.
Dalam pengujian revisi UU KPK, sejumlah pihak memohon MK menguji formil pembentukan UU karena dinilai cacat formil. Putusan MK akan menjadi penanda untuk jenis perkara uji formil.
”Jika ternyata putusannya progresif, pembacaan putusan yang lebih cepat akan sangat dibutuhkan dan bisa menjadi pagar untuk pembentuk UU supaya di tahun ini dan selanjutnya tidak melakukan pelanggaran yang sama,” kata Violla.
Menurut dia, putusan MK yang progresif soal pengujian formil UU dibutuhkan karena selama ini MK dinilai tidak cukup serius dalam memeriksa uji formil UU.
Sebagai pengawal konstitusi, MK diharapkan dapat mengoreksi proses pembentukan UU sepanjang 2019 dan 2020 yang banyak melanggar asas fundamental konstitusi dan memengaruhi substansi UU. Pembentukan UU dinilai minim partisipasi publik dan tidak berorientasi pada kepentingan publik.
”Oleh karena itu, perkara pilkada yang tersisa jangan dijadikan alasan untuk menunda sidang pengujian UU,” kata Violla.
Berdasarkan laporan akhir tahun MK 2020, MK menguji sebanyak 61 UU. Frekuensi UU yang paling banyak diuji adalah UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanganan Pandemi Covid-19 sebanyak 9 kali, UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja sebanyak 8 kali, UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sebanyak 6 kali, UU No 7/2020 tentang Perubahan Ketiga UU Mahkamah Konstitusi sebanyak 5 kali, UU No 7/2017 tentang Pemilu sebanyak 5 kali, dan UU No 3/2020 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batubara sebanyak 5 kali.
Violla menambahkan, setidaknya ada empat UU yang baru disahkan DPR dan langsung diuji konstitusionalitasnya ke MK. Keempatnya adalah UU Penanganan Pandemi Covid-19, UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan UU MK. Banyak pemohon yang mendalilkan tentang cacat formil pembentukan UU.