Perlu Kesadaran Lindungi Data Pribadi untuk Cegah Kekerasan Jender Daring
Lindungi data pribadi supaya tidak menjadi korban kekerasan berbasis gender ”online” atau KBGO.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesadaran melindungi data pribadi semakin dibutuhkan karena memiliki fungsi strategis untuk mencegah terjadinya kekerasan berbasis jender daring. Apalagi kekerasan ini kian marak di tengah situasi pandemi Covid-19.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring tentang perlindungan data pribadi untuk menghindari kekerasan berbasis jender daring atau dikenal pula kekerasan berbasis gender online (KBGO), Jumat (26/3/2021). Diskusi tersebut diadakan oleh Suara Mahasiswa Universitas Indonesia, Southeast Asia Freeedom of Expression Network (SAFEnet), serta Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jumat (26/3/2021).
Ellen Kusuma, Kepala Subdivisi Digital At-Risks SAFEnet, dalam paparannya, menyebutkan, kasus kekerasan berbasis jender daring pada umumnya melanggar privasi dan konsensus, menyalahgunakan data pribadi. Para pelaku menyerang tubuh perempuan dan laki-laki, baik secara seksual maupun non-seksual.
Bentuk-bentuk kekerasan yang dilaporkan, antara lain, pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan daring (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), pengelabuan (phising), dan perekrutan daring (online recruitment).
”Setiap orang harus punya wawasan tentang privasi dan penerapannya, persetujuan penggunaan data pribadi sebagai sumber informasi, ekosistem digital, dan karakteristik platform digital. Itu penting karena ketika jejak digital sudah beredar, orang cenderung tidak peduli konteks (baik dan buruk) seperti apa,” kata Ellen.
Ellen pun mengingatkan bahwa dunia digital memungkinkan dilakukannya penggandaan konten dengan mudah. Namun, penggandaan konten itu sulit diamati persebarannya dan jejaknya di digital sulit hilang. ”Dengan begitu, berhati-hatilah terhadap konten intim,” ucap Ellen.
Kemudian, Ellen juga mengingatkan pentingnya melindungi data pribadi, seperti nomor ponsel, karena di dalamnya terdapat banyak informasi yang penting. Melalui nomor ponsel dapat diperoleh informasi Nomor Induk Kependudukan (NIK), nomor kartu keluarga (KK), serta dapat mengakses kode sandi sekali pakai atau one time password (OTP) yang umumnya digunakan untuk masuk atau ambil alih akun aplikasi.
”Hati-hati dengan persetujuan akses data sebagai identifikasi informasi pribadi. Kasus penyalahgunaan ini sering terjadi pada korban pinjaman daring,” ucapnya.
SAFEnet dalam survei bersama Never Okay dan awas KBGO! menemukan banyak pelecehan seksual di dunia kerja selama masa bekerja dari rumah. Survei 6-19 April 2020 dengan 403 responden ini menunjukkan bahwa 86 responden menjadi korban pelecehan seksual, 68 responden mengaku menyaksikan pelecehan seksual, serta 30 responden pernah menjadi korban dan saksi pelecehan seksual.
Para pelaku beraksi melalui aplikasi percakapan, media sosial, konferensi video, aplikasi internal perusahaan, dan layanan pesan singkat. Mereka, antara lain, membuat lelucon seksual, mengirim foto dan video seksual tanpa persetujuan, menghina fisik atau tubuh, rayuan seksual, intimidasi berujung aktivitas seksual, dan penyebaran konten pribadi.
Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam catatan tahunan 2021 juga melaporkan peningkatan kasus KBGO. Selama 2020 ada 940 laporan secara langsung yang diterima Komnas Perempuan. Jumlah itu lebih tinggi dibandingkan dengan 2019 sebanyak 241 laporan.
Umumnya, KBGO dilakukan melalui aplikasi media sosial yang sangat dekat dengan masyarakat, seperti Facebook, Whatsapp, Instagram, Twitter, dan Tinder.
Blandina Lintang Setianti, peneliti Elsam, dalam diskusi itu mengingatkan pentingnya pemahaman perlindungan data pribadi di kalangan korban KBGO. Ada kalanya korban membagikan identitas pelaku di daring. Akibat tindakan itu, pelaku malah bisa saja memenjarakan korban dengan dalih telah membuka identitasnya ke ruang publik.
”Biasanya korban membuka identitas pelaku supaya terkena sanksi sosial. Ini harus diantisipasi dengan aturan yang berorientasi pada perlindungan korban,” ujarnya.
Tantangan
Di sisi lain, diperlukan regulasi yang jelas terkait subyek data dan pengelola data supaya dapat terwujud perlindungan pada data pribadi.
Hingga kini, regulasi terkait perlindungan data pribadi masih tersebar di sejumlah peraturan dan undang-undang. Sementara Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang diharapkan dapat melindungi data pribadi masyarakat secara holistik belum juga tuntas dibahas di DPR.
Blandina mengatakan, perlindungan data pribadi menjadi bagian dari hak individu atas privasinya. Oleh karena itu, pengelola data harus transparan dalam memproses data yang dikelolanya.
”Data bukan komoditas melainkan hak pribadi sehingga harus dikelola secara terbuka dan ada pertanggungjawaban sesuai prinsip perlindungan dan dasar hukum yang kuat,” kata Blandina.
Untuk itu, lanjut Blandina, diperlukan ekosistem internet yang memungkinkan pengguna punya kendali atas data pribadinya meski diproses oleh pengelola data. Kemudian, ada kewajiban dan sanksi kepada subyek data dan pengelola data serta desain teknologi yang ramah privasi.
”Semuanya (ini dibutuhkan) agar pengguna lebih aktif dan kritis untuk mengendalikan data pribadi dan paham hak atas datanya,” ujarnya.