Soliditas Parpol Terus Diuji
Tiap partai politik memiliki cara tersendiri untuk menjaga soliditas internalnya. Soliditas merupakan hal penting yang tak dapat ditawar-tawar lagi.
JAKARTA, KOMPAS — Partai-partai politik di era reformasi hampir pasti pernah mengalami ancaman potensi perpecahan, baik datang dari eksternal maupun internal. Di tengah ancaman tersebut, setiap partai rupanya memiliki cara masing-masing agar potensi perpecahan tidak terjadi atau malah berkepanjangan. Sebab, jika perpecahan itu terjadi, dapat merugikan partainya sendiri.
Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Nurul Arifin dalam diskusi virtual bertajuk ”Merawat Soliditas Partai”, Kamis (25/3/2021), mengatakan, gejolak di tubuh Partai Golkar bermula pada tahun 2014. Saat itu, Partai Golkar diguncang dualisme kepemimpinan, yakni kubu Ketua Umum Agung Laksono dan kubu Ketua Umum Aburizal Bakrie.
Namun, upaya rekonsiliasi akhirnya muncul dari internal partai. Tokoh-tokoh senior yang duduk di Mahkamah Partai Golkar mulai membangun upaya rekonsiliasi tersebut. Mereka adalah BJ Habibie dan Jusuf Kalla.
”Tokoh-tokoh senior kami turun gunung. Kami harapannya sama semua, jangan sampai ada salah satu ketua umum versi masing-masing keluar dan mendirikan partai baru. Itu yang sangat tidak kami harapkan karena sangat bisa mereduksi Golkar,” ujar Nurul.
Setiap partai rupanya memiliki cara masing-masing agar potensi perpecahan tidak terjadi atau malah berkepanjangan.
Diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu juga dihadiri sejumlah narasumber, di antaranya Wakil Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani, Sekretaris Dewan Syuro DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Syaifullah Maksum, Kepala P2P LIPI Firman Noor, serta Guru Besar Riset Politik LIPI Lili Romli.
Baca juga : Presiden Jokowi: Jaga Soliditas Partai Politik
Nurul melanjutkan, pelibatan Mahkamah Partai Golkar ternyata mampu meredam potensi konflik. Upaya rekonsiliasi disetujui seluruh pihak, lalu disepakati untuk membuat Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar. Dualisme pun berakhir setelah Setya Novanto terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar melalui munaslub pada pertengahan 2016.
”Akhirnya, dari dua kubu tersebut (Agung Laksono dan Aburizal Bakrie) diakomodasi untuk semua bisa ditampung menjadi pengurus. Walaupun sangat gemuk, ya, kami tidak mempermasalahkan. Yang penting adalah rekonsiliasi dan suasana damai dalam Partai Golkar,” ucap Nurul.
Upaya itu kemudian langsung diikuti dengan konsolidasi untuk menyambut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017 dan Pemilu 2019.
Soliditas internal parpol penting dijaga. Sebab, jika di internal solid, pihak eksternal juga sulit menggoyang partai.
Dari pengalaman itu, Nurul memetik pelajaran berharga bahwa soliditas internal parpol penting dijaga. Sebab, jika di internal solid, pihak eksternal juga sulit menggoyang partai.
”Kalau dari dalamnya rapuh, itu akan menjadi sangat mudah diganggu. Alhamdulillah, hingga saat ini, kondisi internal Golkar solid. Kalau ada kegenitan di sana-sini dari internal, kami menganggapnya itu sebagai suatu dinamika partai. Selama koridornya masih bisa ditoleransi, kami membiarkan itu. Kecuali jika ada yang sudah fatal, ketua umum pasti akan memberikan suatu sanksi tertentu,” tutur Nurul.
Baca juga : Mengelola Konflik di Partai Politik
Sulit diwujudkan
Arsul Sani mengakui, bukan hal yang mudah merawat soliditas partai. Menurut dia, ada dua hal yang menyebabkan terjadinya gangguan terhadap soliditas partai. Pertama, peristiwa politik atau momentum politik di mana mau tidak mau PPP sebagai parpol harus terlibat. Kedua, terjadi kontestasi yang berlebihan di internal partai menjelang forum permusyawaratan partai, baik di tingkat daerah maupun setingkat muktamar.
Namun, dari pengalaman PPP, gangguan soliditas itu muncul ketika peristiwa Pemilihan Presiden 2014. Dalam momentum politik itu, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali yang didukung oleh sejumlah elite partai, seperti Djan Faridz, memutuskan untuk mendukung Prabowo Subianto. Sementara sebagian elite partai yang lain, seperti Romahurmuziy dan Suharso Monoarfa, sudah condong ke Joko Widodo.
”Peristiwa di luar partai ini yang menjadi akar dari perpecahan yang bukan saja sangat mengganggu, tetapi hampir meruntuhkan soliditas partai secara keseluruhan,” ujarnya.
Arsul menjelaskan, peristiwa di eksternal atau kepentingan eksternal yang menarik PPP ke dalamnya ini secara langsung menciptakan gangguan luar biasa terhadap internal partai dari tahun 2014 sampai 2017.
Situasi tersebut, menurut Arsul, membuat PPP berkontemplasi. Apalagi, capaian perolehan kursi di parlemen ikut tergerus akibat konflik tersebut. Di Pemilu 2019, PPP hanya bisa memperoleh 19 kursi. Sementara di Pemilu 2009, PPP mampu meraih 38 kursi.
”Kami akhirnya menyepakati bahwa sebisa mungkin untuk menjaga soliditas partai, ya, kami agak kurangi demokratisasi di muktamar, dengan mengupayakan pemilihan ketua umum itu bisa musyawarah dan mufakat. Karena pengalamannya, ketika terjadi kontestasi, menimbulkan luka atau bekas luka yang lama untuk menyembuhkannya,” tutur Arsul.
PPP juga bersepakat bahwa siapa pun yang menjadi ketua umum tidak boleh menjadi personifikasi PPP.
Ke depan, kata Arsul, PPP juga bersepakat bahwa siapa pun yang menjadi ketua umum tidak boleh menjadi personifikasi PPP. Personifikasi PPP adalah Kabah sebagai lambang partai. ”Jadi, tidak boleh ketua umum kemudian merasa besar, merasa penting sendirian, dan kemudian lambang Kabah ditaruh, atau dikebelakangkan atau dikesampingkan,” ucapnya.
Berkunjung ke kiai
Syaifullah Maksum menjelaskan, PKB memiliki tradisi sendiri ketika gejala konflik mulai muncul di internal partai. Partai tersebut akan meminta solusi kepada para kiai, pengasuh pesantren, dan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama sebagai pihak yang melahirkan PKB. ”Kami minta wejangan, bagaimana solusi terhadap itu,” katanya.
Selain itu, Syaifullah menuturkan, untuk memitigasi konflik internal, partai telah mengubah mekanisme proses pemilihan pada permusyawaratan di tingkat daerah yang sering kali berakibat fatal. Biasanya, ia menyebut, pihak yang tidak terpilih akan mengamuk dan membuat kekuatan baru.
”Kami ubah, jaring aspirasi dari bawah yang layak dijadikan pimpinan, baru kami di pusat yang menentukan yang terbaik. Ternyata, cara itu positif mengurangi hiruk-pikuk ketidakpercayaan dan konflik di bawah,” ujarnya.
Situasi konflik
Sementara itu, Lili Romli memaparkan, ada empat situasi konflik internal partai di era reformasi. Pertama, ada kecenderungan melibatkan atau mendapatkan dukungan eksternal atau kekuasaan. Kedua, konflik di internal partai terjadi karena tidak memungkinkan tercapai kompromi di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Ketiga, manajemen konflik yang dilakukan oleh partai-partai itu cenderung tidak dilakukan secara persuasif, tetapi koersif. Artinya, ketika ada pihak yang berbeda pendapat dan melakukan pelanggaran, pimpinan partai langsung melakukan pemecatan dan pemberhentian pihak tersebut menjadi anggota partai.
”Padahal, manajemen konflik itu bagaimana mengatasi konflik menjadi konsensus, bukan dengan membuang, menghabisi musuh, atau melalui pendekatan koersi tadi,” kata Lili. Keempat, di antara beberapa partai terjadi krisis kepemimpinan atau tiadanya pemimpin yang mempersatukan. Padahal, partai membutuhkan pemimpin yang bisa mengayomi semua kelompok, semua kepentingan, dan unsur-unsur yang ada.
”Tetapi di sana beda, kepemimpinan yang muncul patronase dan oligarkis,” ujar Lili.
Perlu internalisasi nilai-nilai soliditas partai atau menanamkan rasa loyalitas pada anggota sehingga muncul ikatan psikologis.
Terhadap situasi itu, menurut Lili, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, perlu internalisasi nilai-nilai soliditas partai atau menanamkan rasa loyalitas pada anggota sehingga muncul ikatan psikologis. Kedua, semestinya partai-partai tak hanya memberi sanksi berupa pemecatan, tetapi juga insentif dan promosi jabatan untuk anggota atau pengurus parpol. Ketiga, perlunya demokratisasi di internal partai. Keempat, perlunya desentralisasi organ-organ partai tak hanya tingkat pusat, tetapi juga daerah.
Selain itu, Lili juga mengusulkan perlu didiskusikan lebih lanjut agar sejumlah aturan atau norma yang ada dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) diangkat menjadi norma dalam Undang-Undang Partai Politik. Sebab, ia melihat, saat ini musyawarah atau kongres luar biasa mudah sekali mengubah AD/ART demi terjadi pergantian pemimpin.
Firman Noor sependapat dengan Lili bahwa soliditas partai, salah satunya, ditentukan oleh tokoh yang mampu merangkul, obyektif, dan menopang sistem merit, bukan suatu pola yang eksklusif.
”Itu bisa mencegah potensi konflik karena dia menjadi figur yang mendapat respek dan dipanuti sehingga bisa menjaga soliditas itu. Ini penting karena faksi itu pasti ada. Faksi itu seperti fenomena hukum besi oligarki, selalu ada di dalam organisasi, apalagi parpol. Jadi bukan meniadakan faksi, tetapi mengelola faksi itu menjadi lebih produktif,” ucap Firman.