Perhatikan Batasan dalam Menafsirkan Undang-Undang Pilkada
Bawaslu sebagai pihak penyelesai sengketa boleh menafsirkan sebuah ketentuan, tetapi ada batas-batas yang harus dipatuhi. Perintah pemungutan suara ulang di seluruh TPS Boven Digoel, Papua, dapat menjadi pelajaran.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pegiat pemilu menilai kasus sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Boven Digoel berhulu dari kesalahan Badan Pengawas Pemilu yang menafsirkan Undang-Undang Pilkada. Atas kasus tersebut, Bawaslu diingatkan untuk memperhatikan batasan jika melakukan penafsiran agar perbedaan tafsir tidak kembali berulang.
Pengamat hukum tata negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi, menilai, kasus sengketa Pilkada Boven Digoel harus dijadikan pelajaran bagi penyelenggara pemilu, khususnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), bahwa setiap penyelesaian sengketa tetap harus mengacu pada perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kaitan menafsirkan undang-undang, ia berpendapat, Bawaslu sebagai pihak penyelesai sengketa boleh melakukannya. Namun, ada batas-batas yang harus dipatuhi jika ingin melakukan penafsiran.
Kasus sengketa Pilkada Boven Digoel harus dijadikan pelajaran bagi penyelenggara pemilu, khususnya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), bahwa setiap penyelesaian sengketa tetap harus mengacu pada perundang-undangan yang berlaku.
”Kapan sebuah lembaga penyelesai sengketa boleh melakukan penafsiran? Apabila teks itu mengandung ketidakpastian. Jika sebuah norma tidak jelas atau mengandung ketidakpastian dan tidak ada norma lain yang bisa dirujuk, terbuka peluang untuk memberikan penafsiran secara lebih baik,” kata Fahmi dalam webinar bertajuk ”Evaluasi Penerapan Syarat Mantan Terpidana dan Pemungutan Suara Ulang di Pilkada 2020”, Kamis (25/3/2021).
Selain Fahmi, ikut sebagai pembicara Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati; peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil; dan advokat Visi Integritas, Donal Fariz.
Dalam kasus sengketa Perselisihan Hasil Pilkada Boven Digoel, menurut Fahmi, aturan mengenai jeda mantan terpidana yang diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) Huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sudah jelas dan tidak butuh penafsiran. Dalam undang-undang, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 tertanggal 11 Desember 2019, dan Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencalonan Kepala Daerah, semua menggunakan frasa mantan terpidana sehingga jika digeser menjadi mantan narapidana, implikasinya bisa berbeda.
Adapun Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada berbunyi: ”Bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana”. Pasal tersebut pernah diputus MK.
Menurut dia, Bawaslu harus tunduk pada seluruh peraturan perundang-undangan pemilu, yakni UU Pilkada dan peraturan KPU. Sebab, KPU diberi mandat untuk menyusun aturan pelaksana dari undang-undang sehingga produk hukumnya juga bersifat mengikat dan tidak bisa ditafsirkan lain selain di teks.
Sebelumnya, MK mendiskualifikasikan pasangan calon bupati dan wakil bupati Boven Digoel, Papua, Yusak Yaluwo-Yakob Waremba. MK juga memerintahkan digelarnya pemungutan suara ulang Pilkada Boven Digoel tanpa mengikutsertakan Yusak-Yakob.
Awalnya, KPU sempat membatalkan pencalonan Yusak-Yakob karena Yusak dinilai tak memenuhi syarat masa jeda lima tahun sebagai mantan terpidana dalam UU Pilkada. Namun, Bawaslu membatalkan keputusan KPU itu karena menganggap Yusak telah melalui masa jeda lima tahun.
Persoalan di Boven Digoel tidak akan terjadi apabila Bawaslu tidak terlalu jauh menafsirkan PKPU yang sejatinya sudah disesuaikan dengan putusan MK.
Fadli mengatakan, persoalan di Boven Digoel tidak akan terjadi apabila Bawaslu tidak terlalu jauh menafsirkan PKPU yang sejatinya sudah disesuaikan dengan putusan MK. Tindakan Bawaslu yang memberikan pemaknaan dan tafsir sendiri justru menimbulkan perdebatan.
”Bawaslu perlu menjelaskan kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap situasi yang terjadi saat ini,” katanya.
Anggota Bawaslu, Rahmat Bagja, mengatakan, Bawaslu menghormati putusan MK. Putusan itu akan dijadikan bahan evaluasi dalam pelaksanaan pilkada dan pemilu selanjutnya.
Ia menuturkan, saat mengabulkan gugatan Yusak-Yakob, Bawaslu telah meminta pandangan dari ahli hukum ketika menafsirkan aturan tentang jeda mantan terpidana. Berdasarkan keterangan ahli, mantan terpidana adalah yang telah menjalani pidana penjara. ”Kami tanyakan kepada ahli, pembebasan bersyarat itu tidak dipenjara,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya tidak menggunakan penjelasan pasal karena menganggap pasal tersebut sudah diubah oleh MK sehingga penjelasan dalam UU awal tidak berlaku. Sebab, penjelasan itu mengacu pada pasal sebelum diubah oleh MK.
Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada berbunyi: ”Yang dimaksud dengan ’mantan terpidana’ adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik teknis (pidana) maupun administratif dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak”.
Anggota KPU, Arief Budiman, mengatakan, KPU tidak akan mengubah PKPU tentang pencalonan karena sudah sesuai dengan putusan uji materi Mahkamah Agung dan tetap sesuai dengan putusan MK dalam Perselisihan Hasil Pilkada Boven Digoel.
”Sampai saat ini belum diperlukan perubahan PKPU karena putusan MK menunjukkan bahwa PKPU pencalonan sudah benar,” katanya.
Ia menambahkan, saat ini tiga anggota KPU, yakni Arief, Hasyim Asy’ari, dan Evi Novida Ginting Manik, yang sempat dijadikan tersangka oleh Kepolisian Resor Boven Digoel karena dianggap menghalangi pencalonan kepala daerah, kasusnya sudah tuntas. Kasus tersebut sudah dihentikan setelah penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada 30 Desember 2020.