Arbi Sanit, Guru Politik yang Konsisten Sepanjang Hayat
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI Arbi Sanit (81) berpulang, Kamis (25/3/2021), di Jakarta akibat jantung. Kepergian salah satu pemikir dan pengamat politik yang kritis ini meninggalkan pesan mendalam.
JAKARTA, KOMPAS — Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Arbi Sanit (81) berpulang, Kamis (25/3/2021), di Jakarta. Kepergian salah satu pemikir dan pengamat politik yang kritis ini meninggalkan pesan mendalam tentang demokratisasi Indonesia yang terus berproses. Arbi yang pemikirannya dikenal tajam ini tutup usia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia meninggal akibat penyakit jantung yang dideritanya beberapa tahun terakhir.
Berita berpulangnya Arbi itu diterima Nur Iman Subono, salah satu kolega serta murid Arbi di Departemen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), Kamis, pukul 08.30 WIB. Nur Iman Subono, yang kerap dipanggil Boni oleh sejawat dan mahasiswanya, mengatakan, kabar duka itu diperolehnya dari menantu Arbi. Kepergian Arbi itu meninggalkan duka karena selama ini sosok Arbi Sanit tidak semata-mata kolega, tetapi juga guru bagi sivitas akademika UI, terutama di Departemen Politik FISIP UI.
”Saya sejak sebagai mahasiswanya dan kemudian menjadi koleganya sesama dosen, kepedulian beliau dengan demokrasi di Indonesia sudah embedded dalam perjalanan akademis dan intelektualnya sampai beliau dipanggil Allah SWT,” kata Boni, saat dihubungi, Kamis dari Jakarta.
Baca juga: Jalan Terjal Demokrasi Indonesia
Ia mengenang saat bersama-sama dengan sejawat di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjenguk Arbi Sanit ke rumahnya ketika dia sakit. Arbi masih terlihat antusias dan bersemangat ketika berbicara soal politik dan Demokrasi Indonesia. ”Beliau kayak lupa penyakitnya dan bicara dengan antusias, baik berisi pujian maupun kritik. Beliau dalam sikap akademisnya sangat independen dalam memberikan komentar atau kritiknya. Sikap dan perilaku tersebut, saya melihatnya, sangat konsisten sepanjang hidupnya,” ucap Boni, yang kini menjadi salah satu pengajar senior di Departemen Politik FISIP UI.
”Saya sejak sebagai mahasiswanya dan kemudian menjadi koleganya sesama dosen, kepedulian beliau dengan demokrasi di Indonesia sudah embedded dalam perjalanan akademis dan intelektualnya sampai beliau dipanggil Allah SWT.”
Dalam beberapa tahun terakhir, Arbi memang diketahui sakit. Menurut Boni, Arbi pernah terkena serangan jantung beberapa tahun lalu saat mengambil gelar Doktor di Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui riset. Dalam perkembangan selanjutnya, ia juga mendapatkan kabar kalau Arbi Sanit juga mengidap kanker hati.
Kendati demikian, pada usianya yang sudah tidak muda lagi, kekritisan Arbi tidak berkurang. Dalam beberapa kali kesempatan, ia juga tidak pernah segan mengkritik pemerintahan, dan sistem politik saat ini yang dipandangnya belum demokratis. Pendapatnya itu tidak kalah tajam saat ia bersama kelompok aktivis lainnya bergulat dengan pemerintahan Orde Baru.
”Saya pernah tanya kepada beliau soal konsisten dan keberaniannya berkomentar kritis khususnya pada saat era Orba. Beliau mengatakan, ’mereka ndak akan nangkap saya kok, karena mereka tahu saya ndak punya massa dan saya cuma sendirian.’ Beliau tetap teguh berdiri tegak tanpa peduli lingkungannya ketika beliau merasa harus bicara apa yang diyakininya. Beliau sadar sekali atas pilihan profesi dan integritasnya,” kata Boni yang juga pernah menjadi mahasiswa Arbi.
Guru dan panutan
Ketua Departemen Politik FISIP UI Julian Aldrin Pasha, yang juga pernah menjadi mahasiswa Arbi, menceritakan sosok gurunya itu dosen idola. Ketika Arbi Sanit menjadi dosen yang sangat aktif pada akhir 80-an dan awal 90-an, ia menjadi panutan banyak mahasiswa dengan pandangannya mengenai sistem perwakilan dan sistem politik Indonesia. Selain itu, ia juga dikenal tidak takut dalam berpendapat, sekalipun sebenarnya ia sosok yang pendiam dan lebih suka berada di perpustakaan untuk membaca.
”Wawasan Pak Arbi sangat luas dan beliau sangat paham soal proses pemilu dan demokratisasi yang berjalan. Beliau menyadari iklim untuk menuju negara demokratis itu belum terbentuk atau terwujud sehingga ia merasa hal itu yang perlu terus diperjuangkan. Itu sebabnya ketika berbicara soal sistem perwakilan dan sistem politik, ia menekankan perlunya iklim demokrasi itu ditumbuhkan,” kata mantan Juru Bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini.
Sampai sekarang, buku-buku karya Arbi Sanit menjadi rujukan dan bahan bacaan bagi mahasiswa Departemen Politik UI. Pandangannya yang tajam di media massa selaku pengamat politik, sekalipun belakangan kian terdengar, tetapi beberapa di antaranya masih menjadi bahan pemikiran bagi intelektual ilmu politik lainnya, tidak hanya di UI, tetapi di Indonesia. Ia, antara lain, mengkritik sistem pemerintahan presidensial Indonesia yang tidak jelas, dan menimbulkan kekaburan sehingga sistem perwakilan di parlemen itu cukup kuat mendominasi.
Namun, terlepas dari pandangannya yang beberapa memantik kontroversi, Arbi Sanit adalah manusia yang kompleks. Adik kelasnya di UI, Zulfikar Ghazali, menangkap sisi Arbi sebagai seorang kakak dan guru yang luar biasa. Usia mereka terpaut kurang dari satu dekade dan kedekatan mereka selama bertahun-tahun membuat Zulfikar merasa kehilangan.
Dalam perjalanan menuju rumah duka, Zulfikar tidak bisa menahan isak tangisnya saat dihubungi melalui telepon. ”Dia itu kalau mengambil sikap, tidak pernah goyang. Dia selalu pesankan soal sistem presidensial kita yang kacau. Terus saja dia ingatkan, sistem presidensial kita harus diwujudkan menjadi sistem presidensial yang betul-betul. Jangan ketika sistem presidensial, tetapi DPR yang berkuasa. Sayangnya apa yang dia idealkan itu kan belum terwujud. Entah kenapa, mungkin karena semua sedang sibuk bagi-bagi kekuasaan, atau apa saya tidak mengerti,” ujarnya.
Arbi dalam beberapa kali diskusi dengan Zulfikar juga menekankan perlunya kepemimpinan sipil yang kuat. Jangan sampai militer terlibat dalam urusan sipil seperti era Orba, dan membuat Indonesia kembali seperti pada masa lalu. Kondisi itu belakangan menjadi perhatian Arbi, sekaligus kekhawatirannya.
Selain juga kepeduliannya sebagai pemikir politik terhadap demokratisasi, Arbi juga suportif bagi kalangan yang lebih junior. Sejak sama-sama kuliah, dan kemudian Arbi lebih dulu menjadi dosen di UI, Zulfikar mengenang Arbi sebagai orang yang murah ilmu, dan seorang pendidik.
”Dia tidak pelit meminjamkan bukunya. Karena khawatir bukunya tidak kembali, dia bahkan rela memfotokopikan buku-buku itu untuk dibaca kami ini, yuniornya. Kadang kalau kami membandel, kepada yang muda-muda, biasa saja dia itu marah, tetapi dia tidak menutup diskusi, dan senang sekali kalau buku-buku fotokopian itu kita diskusikan,” katanya sembari terisak.
Tokoh prodemokrasi
Peninggalan Arbi bagi demokratisasi juga dikenang oleh para koleganya yang aktif dalam kegiatan demokratisasi. Ketua Tanfidzyiah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bidang hukum, Robikin Emhas, mengingat perjuangan Arbi Sanit ketika membidani lahirnya Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), 1996. Ketika itu, Arbi sanit bersama dengan kelompok pro-demokrasi lainnya, seperti Nurcholish Madjid, Goenawan Mohammad, dan Mulyana W Kusumah, memang berinteraksi dan mendorong hadirnya KIPP. Robikin muda ketika itu adalah Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Malang, Jawa Timur.
”Mas Arbi Sanit mendahului kita, dipanggil pulang menghadap Allah SWT. Ingatan pun melayang saat bersama Mas Arbi dan berbagai komponen berjibaku pada masa pendirian dan awal keberadaan KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) tahun 1996 dan 1997. Saat demokrasi dipasung, pers dikungkung, dan suara rakyat tak dihitung. Tokoh berintegritas ini tak beringsut oleh godaan, tekanan dan ancaman. Saya percaya Mas Arbi memilih masa depannya sendiri,” ucapnya melalui pesan singkat.
Robikin juga mengutip kembali pandangan Arbi yang sempat ditulisnya di laman media sosialnya. ”Sekarang musim membangkit kerajaan, bukan saja simbolik tetapi disertai istana, raja, dan ratu, punggawa, dengan pakaian dan upacara resminya. Ada yang menanggapi sebagai gejala kultural, ada yang menerima sebagai hak berkumpul dan berorganisasi. Tapi perlu dilihat secara politik,” demikian kata Robikin menirukan pendapat Arbi, saat ia merespons beberapa pihak yang menyuarakan khilafah untuk menggantikan demokrasi dan Pancasila.
Lebih lanjut Arbi berargumen, ”Gejala itu membahayakan visi bernegara masyarakat yang gagal dimatangkan oleh penguasa dan pemerintah. Malah kelakuan korup dan gila hormat penguasa membentuk ketidak percayaan politik. Sekalipun begitu, konsepsi dan institusi negara Indonesia mesti dihormati oleh warga negara. Tidak etis, tidak pantas dan lazim orang dan kelompok membentuk organisasi dengan label kerajaan yang berarti negara. Pembiarannya, memberi peluang membentuk kilafah, imperium, kemaharajaan, yang semuanya itu mengacaukan konsepsi bernegara. Karena itu, kelompok dan organisasi pembentuk kerajaan atau negara, perlu ditertibkan istilah, atribut sampai upacara dan tempatnya.”
”Gejala itu membahayakan visi bernegara masyarakat yang gagal dimatangkan oleh penguasa dan pemerintah. Malah kelakuan korup dan gila hormat penguasa membentuk ketidakpercayaan politik. Sekalipun begitu, konsepsi dan institusi negara Indonesia mesti dihormati oleh warga negara. Tidak etis, tidak pantas dan lazim orang dan kelompok membentuk organisasi dengan label kerajaan yang berarti negara. Pembiarannya, membari peluang membentuk kilafah, imperium, kemaharajaan, yang semuanya itu mengacaukan konsepsi bernegara. Maka kelompok dan organisasi pembentuk kerajaan atau negara, perlu ditertibkan istilah, atribut sampai upacara dan tempatnya.”
Dalam beberapa kali pandangannya yang dikutip Kompas, sikap Arbi Sanit yang kuat mendukung demokrasi juga kentara. Menurut Arbi Sanit dalam berita berjudul, ”Kembangkan Budaya Politik Kompetitif,” yang terbit pada 17 Januari 1997, ia menilai tantangan budaya politik di Indonesia semakin rumit. Menurut Arbi, sejak 30 tahun terakhir, terutama sejak Demokrasi Terpimpin, budaya politik yang berkembang adalah besarnya dominasi kekuasaan yang mengambil alih peranan partai. Untuk memperoleh legitimasi dan kekuatannya dipakailah nilai-nilai tradisi yang bersifat mendukung.
Baca juga: Merawat Marwah Demokrasi
Untuk keluar dari budaya politik semacam ini, katanya, perlu dikembangkan budaya politik kompetitif, yang memberi kesempatan berkembangnya partisipasi politik seluruh warga negara. Itulah praktik kehidupan demokratis dalam artian tujuan maupun cara, yakni budaya politik yang didukung struktur kekuasaan sekaligus dikembangkan dalam praksis politik (Kompas, 17/1/1997).
Tokoh prodemokrasi, pemikir dan guru politik itu telah berpulang. Konsolidasi demokrasi yang dicita-citakannya masih terus berproses, dan semoga akan tercapai cita-cita masyarakat Indonesia yang demokratis... Selamat jalan, Pak Arbi.