DPR dan pemerintah diminta memprioritaskan pembahasan RUU yang penting untuk publik dengan terbatasnya waktu pembahasan di 2021. Salah satunya RUU yang dapat mempercepat penanganan pandemi Covid-19.
Oleh
IQBAL BASYARI/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Capaian legislasi 2021 dikhawatirkan lebih buruk dibandingkan tahun sebelumnya. Di sisa waktu kurang dari sembilan bulan ini, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah diharapkan memprioritaskan pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19.
Dalam enam tahun terakhir, tidak semua rancangan undang-undang (RUU) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahunan bisa disahkan. Bahkan, capaiannya tidak pernah lebih dari enam RUU yang bisa disahkan. Kinerja legislasi terburuk terjadi pada 2019 di mana tidak ada satu pun RUU yang berhasil dibawa ke rapat paripurna.
Berdasarkan laman dpr.go.id, RUU Prolegnas Prioritas yang bisa disahkan pada 2020 sebanyak tiga UU dari 37 RUU prioritas), 2019 tidak ada yang disahkan (55 prioritas), 2018 sebanyak satu UU (50 prioritas), 2017 sebanyak lima UU (52 prioritas), 2016 sebanyak enam UU (51 prioritas), dan 2015 sebanyak tiga UU (40 prioritas).
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (24/3/2021), memprediksi, capaian RUU dalam Prolegnas Prioritas yang bisa disahkan tahun ini bisa lebih buruk dibandingkan tahun 2020. Sebab, ini sudah dua kali masa sidang terbuang sia-sia tanpa ada proses pembahasan akibat molornya penetapan prolegnas.
”Artinya, praktis tahun ini tinggal tiga masa sidang yang efektif bisa digunakan oleh DPR untuk melakukan pembahasan. Dalam pengalaman selama ini, pembahasan satu undang-undang tidak pernah selesai dalam tiga kali masa sidang,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah dan Badan Legislasi (Baleg) DPR sebenarnya telah menyepakati 33 RUU Prolegnas Prioritas 2021, pada 14 Januari 2021. Namun, rapat paripurna untuk pengesahan prolegnas tak kunjung digelar.
Bahkan pada 9 Maret lalu, pemerintah dan Baleg DPR menggelar rapat kerja ulang. Kemudian, dalam rapat itu, disepakati bahwa RUU Pemilihan Umum (Pemilu) ditarik dari daftar Prolegnas 2021 dan digantikan dengan RUU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang diusulkan pemerintah. Total tetap ada 33 RUU di Prolegnas 2021. Prolegnas pun akhirnya baru disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (23/3/2021).
Kebutuhan publik
Dengan terbatasnya ruang waktu di 2021 ini, Lucius berpandangan, semestinya DPR memprioritaskan RUU yang sangat dibutuhkan publik. Dalam masa pandemi Covid-19, RUU tentang Wabah, serta RUU tentang Penanggulangan Bencana, perlu diprioritaskan untuk dibahas. ”Kehadiran UU bisa membantu dalam banyak hal,” kata Lucius.
Selain itu, DPR harus memprioritaskan RUU yang sudah dibahas sejak tahun lalu. RUU yang pembahasanannya sudah maju dan tinggal menyelesaikan beberapa isu krusial perlu diutamakan.
Untuk RUU lain yang belum dibahas sama sekali, prosesnya diperkirakan tidak cukup di waktu yang tersisa. Proses pembahasan akan membutuhkan waktu yang cukup panjang karena biasanya melalui perdebatan dalam pembahasan isu-isu krusial dan kontroversi.
Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Ledia Hanifa Amaliah sependapat dengan Lucius bahwa DPR perlu memprioritaskan pembahasan RUU yang menyelesaikan problematika terkait pandemi Covid-19. Itu kemudian disusul dengan RUU yang pembahasannya sudah berada di tingkat satu dan RUU yang sudah dalam tahap harmonisasi.
”Mudah-mudahan RUU yang sudah sampai tingkat satu, seperti RUU tentang Jalan dan RUU tentang Praktik Psikologi, bisa lebih cepat,” katanya.
Wakil Ketua DPD Sultan B Najamudin pun memprediksi tidak semua RUU bisa diselesaikan hingga akhir tahun nanti. Dengan keterbatasan waktu, DPR bisa memilah dan memilih RUU yang prioritas dan langsung bersentuhan dengan masyarakat. Misalnya, RUU tentang Daerah Kepulauan dan RUU tentang Badan Usaha Milik Desa.
Kedua RUU itu penting didorong, menurut Sultan, karena ada dua isu fundamen yang harus menjadi perhatian bersama, yakni perlakuan khusus pembangunan pulau-pulau terluar Indonesia, serta dorongan kemajuan di tingkatan desa.
Ia juga menyampaikan bahwa selama ini kebijakan di Indonesia masih bias kota, sehingga pemerintah melakukan pembangunan hanya terpusat di daerah-daerah maju. Kedua RUU ini, lanjutnya, mendorong basis desa hingga wilayah terluar di Indonesia dapat menjadi katup pengaman ekonomi.
”Desa dan kepulauan terluar adalah benteng bangsa Indonesia. Karena itu, seharusnya daerah-daerah terlebih dahulu yang dipercepat pembangunannya,” kata Sultan.
Konteks politik
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas menegaskan, capaian tahun-tahun sebelumnya tidak bisa menjadi patokan capaian kinerja tahun depan. Sebab, ada dua hal yang perlu dipahami publik.
Pertama, pembahasan RUU ini tak terlepas dari konteks politik. Artinya, pembahasan RUU tidak hanya tergantung kepada DPR semata tetapi juga kepada pemerintah.
Kedua, dari 33 RUU di Prolegnas Prioritas 2021, tidak semua RUU merupakan usulan baru, melainkan luncuran dari tahun yang sebelumnya. ”Jadi, kan, banyak tuh. Jadi, jangan liat 33 RUU itu baru masuk di tahun ini. Padahal, kan, enggak. Itu sudah ada yang luncuran, yang tahun lalu belum selesai dibahas, seperti RUU Perlindungan Data Pribadi, umpamanya, kan,” kata Supratman.
Menurut Supratman, ketika suatu RUU masuk ke dalam Prolegnas Prioritas, itu artinya RUU-RUU tersebut tergolong mendesak untuk dibahas. Dengan demikian, tidak ada indikator yang mengharuskan mana RUU yang harus didahulukan.
”Itu artinya, tinggal proses pembahasannya, itulah yang harus diselesaikan. Semua urgent, 33 RUU itu urgent. Kalau sudah masuk prolegnas tahunan, semua urgent,” ujarnya.