Indonesia dinilai mengalami kemunduran demokrasi pada beberapa tahun terakhir. Kombinasi kepentingan politik dan kepentingan ekonomi para elite melalui instrumen negara menggerus sistem yang dibangun pascareformasi 1998.
Oleh
FX LAKSANA AS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dinilai mengalami kemunduran demokrasi pada beberapa tahun terakhir. Kombinasi kepentingan politik dan kepentingan ekonomi para elite melalui instrumen negara menggerus sistem yang dibangun pascareformasi politik 1998.
”Menurut saya, kualitas demokrasi tidak bisa hanya diukur dengan terselenggaranya pemilu secara periodik, tapi juga bagaimana demokrasi bisa memberi jaminan kemajuan dan perlindungan penegakan hak asasi manusia,” kata Maria Catarina Sumarsih dari Forum Kamisan dalam dialog virtual, Selasa (23/3/2021).
Dialog yang mengangkat tema, ”Darurat Demokrasi Indonesia” itu juga menghadirkan empat narasumber lainnya. Mereka adalah Asfinawati dari Aliansi Perempuan Bangkit, Koordinator Bidang Politik Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Khalisah Khalid, Muhammad Haikal dari Publik Virtue Research Institute, dan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid.
Pengalaman Sumarsih dalam memperjuangkan keadilan atas peristiwa penembakan terhadap puteranya pada peristiwa Semanggi di 1998 terus mengalami kebuntuan. Padahal, peristiwa itu sudah terjadi 23 tahun silam.
Hal tersebut bisa terjadi karena perjuangan menegakkan HAM berhadapan dengan imunitas. Alasannya, para terduga pelanggar hak adalah para elite politik yang memiliki akses pada kekuasaan. Bahkan beberapa di antaranya jelas-jelas duduk di kursi-kursi kekuasaan.
Dari aspek hak politik, Asfinawati menyatakan, terdapat pola-pola yang menyebabkan demokrasi mundur. Pertama, menghambat kebebasan sipil, seperti berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi, dan berkeyakinan. Kedua, mengabaikan hukum. Ketiga, berwatak respresif dan melihat kritik sebagai ancaman.
Persoalannya adalah partai politik sebagai tulang punggung demokrasi tak bisa banyak diharapkan. ”Bagaimana kita menyandarkan demokrasi pada partai politik ketika partai politik tidak demokratis. Ketua umumnya saja bertahun-tahun tidak pernah ganti,” kata Asfinawati.
Sementara dari tinjauan lingkungan hidup, Khalisah menyatakan, ruang demokrasi mengalami defisit. Indikatornya, intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi terus terjadi pada para aktivis dan komunitas lingkungan hidup di sejumlah daerah. Ada aktivis Walhi Sumatera Utara yang dibunuh pada 2019. Ada pula aktivis Walhi Nusa Tenggara Barat yang dibakar rumahnya.
Persoalan tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi berjalan seiring dengan makin masifnya investasi yang masuk ke Indonesia dalam watak pembangunan yang tidak berubah dari Orde Baru, bahkan makin vulgar. Watak yang dimaksud adalah eksploitatif dan militeristik. Situasi di Indonesia ini merupakan bagian dari tren global.
”Investasi menganggap instrumen perlindungan lingkungan hidup menjadi hambatan. Yang paling berbahaya dari omnibus law Cipta Kerja adalah mengurangi secara fundamental hak masyarakat untuk terlibat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Jadi aturan itu mereduksi partisipasi masyarakat. Padahal prasyarat keadilan ekologi adalah partisipasi masyarakat. Tanpa ruang demokrasi yang terbuka atau dibuka, kita akan menghadapi situasi lingkungan hidup yang makin buruk,” kata Khalisah.
Sementara terkait wacana amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang baru-baru ini mencuat, Haikal berpandangan, masyarakat patut curiga terhadap motif politik di belakangnya. Ada misalnya, peluang subordinasi kekuasaan presiden dalam wacana itu. Ada pula potensi isu-isu sempalan yang semuanya berujung pada kemunduran demokrasi.
”Kartel-kartel politik sudah mengonstruksikan kekuatannya. Terbukti 20 tahun sejak reformasi, demokrasi justru compang-camping. Sudah saatnya kita mengonsolidasikan kekuatan masyarakat sipil, tidak sekadar forum rembug, tapi lebih dari itu. Jangan sampai masyarakat sipil kalah dari kekuatan elite politik yang sedemikian masif dan terstruktur,” kata Haikal.
Usman berpendapat, Indonesia selama 22 tahun terakhir termasuk negara yang baik perkembangan demokrasinya, baik dibandingkan dengan masa lalunya maupun dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Namun, ini bukan berarti Indonesia tanpa catatan.
Secara teori, terdapat tiga fase kemunduran demokrasi. Fase yang dimaksud meliputi merosotnya ruang publik, memudarnya kultur oposisi politik, dan melemahnya sistem elektoral yang demokratis. Dari ketiga fase tersebut, ia berpendapat, Indonesia sedang mengalami semuanya.
”Saya belum berani mengambil kesimpulan bahwa Indonesia sedang mengalami darurat demokrasi. Tapi yang jelas, kualitas demokrasi kita rendah. Tanda-tanda kemunduran harus jadi panggilan bagi para aktor masyarakat sipil untuk berbenah dan berkonsolidasi untuk menahan kemunduran itu. Tindakan kolektif masyarakat sipil ini penting sekali, tapi sering kali hilang karena terjadi polarisasi di masyarakat,” kata Usman.