Dari dua putusan terkait sengketa hasil Pilkada 2020, MK memerintahkan pendirian TPS khusus bagi pemilih yang bekerja di area pertambangan. Kedua putusan jadi pelajaran berharga bagi KPU ke depan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menyatakan pendirian tempat pemungutan suara khusus perlu dilakukan untuk memfasilitasi pemilih di kawasan pertambangan. Pendirian TPS khusus untuk memberikan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara dalam memberikan hak pilih.
Dalam sidang pembacaan putusan Nomor 57/PHP.BUP-XIX/2021, MK memerintahkan KPU Halmahera Utara melakukan pemungutan suara ulang dengan mendirikan tempat pemungutan suara (TPS) khusus di lingkungan PT Nusa Halmahera Mineral (NHM).
Selain di perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan itu, pemungutan suara ulang harus dilakukan di empat TPS lain dalam waktu paling lama 45 hari sejak pembacaan putusan.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, saat sidang pembacaan putusan, Senin (22/3/2021), menyatakan, Mahkamah menemukan fakta bahwa PT NHM tidak meliburkan beberapa karyawan pada hari pemungutan suara Pilkada Halmahera Utara. Akibatnya, mereka tidak dapat memberikan hak suaranya di pilkada.
Sementara berkenaan dengan TPS khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 82 Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pilkada, memang hanya dapat dibentuk di rumah sakit dan rumah tahanan. Namun, dikarenakan adanya kondisi Pandemi Covid-19, Mahkamah mengesampingkan ketentuan tersebut dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara dalam memberikan hak pilihnya.
Perintah MK untuk mendirikan TPS khusus sebelumnya juga diputuskan dalam perkara Nomor 104/PHP.BUP-XIX/2021, Jumat (19/3/2021). MK memerintahkan KPU Morowali Utara untuk melakukan pemunguran suara dengan mendirikan TPS khusus di Kawasan PT Agro Nusa Abadi (ANA).
Sebagian karyawan yang bekerja di sektor pertambangan itu tidak bisa menggunakan hak pilih karena terdapat kebijakan perusahaan tidak tertulis yang menyatakan bahwa karyawan tidak dilarang melaksanakan hak pilihnya, tetapi saat kembali dari memilih, akan dilakukan tes usap yang biayanya diambil dari dana pengobatan tahunan karyawan sebesar Rp 300.000. Jika positif terpapar Covid-19, biaya untuk isolasi ditanggung oleh yang bersangkutan.
Atas fakta tersebut, Mahkamah berpendapat, kebijakan tidak tertulis tersebut secara tidak langsung telah memengaruhi psikologis para pemilih dan berpengaruh pada banyaknya karyawan PT ANA yang memiliki hak pilih tidak menyalurkan hak pilihnya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, kedua putusan MK itu bisa jadi pelajaran bagi penyelenggara pemilu. Ke depan, penyelenggara pemilu harus membangun koordinasi dengan para pihak dalam memastikan hak pilih warga negara.
Meskipun ada ketentuan hari pemilihan adalah hari libur atau hari yang diliburkan, realitasnya banyak hambatan yang dihadapi pemilih, khususnya di perusahaan pertambangan akibat model operasi yang berlangsung nonstop dan membatasi keluar karyawan di masa pandemi.
”Secara tidak langsung, putusan MK soal TPS khusus ini bernuansa pengujian undang-undang yang menegaskan soal pembentukan TPS khusus, tidak terbatas di rumah sakit dan rumah tahanan,” katanya.