Jaksa Agung R Soeprapto, Menangkap Menteri hingga Banting Pintu
Bapak Kejaksaan R Soeprapto, Jaksa Agung ke-4 RI, diusulkan menjadi pahlawan nasional. Soeprapto dinilai sebagai sosok jaksa yang patut diteladani baik integritas, keberanian, maupun ketegasannya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
Nama Jaksa Agung R Soeprapto telah disematkan sebagai nama jalan di banyak kota. Namun, mungkin belum banyak yang mengenal sosoknya. Sebagai Jaksa Agung keempat, dari tahun 1950-1959, Soeprapto diangkat sebagai Bapak Kejaksaan sejak 1967. Patungnya pun diletakkan di depan gedung utama Kejaksaan Agung, Jakarta.
Guru Besar Hukum Pidana Andi Hamzah yang pernah berkarier sebagai jaksa mengenang Jaksa Agung R Soeprapto sebagai sosok yang berani dan independen. Hal itu tampak dari aksinya menangkap dan menahan tiga menteri. Salah satunya adalah Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani yang ditangkap karena membawa pecahan mata uang dollar AS ke luar negeri. Saat itu, mata uang dollar AS hanya dapat dibawa keluar negeri atas seizin Bank Indonesia.
”Ada yang melapor ke Jaksa Agung. Maka, Jaksa Agung Soeprapto memerintahkan Kolonel Kawilarang, Panglima Siliwangi saat itu, untuk menangkapnya di Bandara Kemayoran. Jakarta Raya dulu masuk Siliwangi,” kata Andi dalam seminar Pengusulan Jaksa Agung R Soeprapto sebagai Pahlawan Nasional yang diselenggarakan Kejaksaan Agung, Rabu (17/3/2021).
Jaksa Agung R Soeprapto merupakan sosok yang berani dan independen. Hal itu tampak dari aksinya menangkap dan menahan tiga menteri.
Menteri lain yang juga pernah berurusan hukum dengan Soeprapto adalah Kasman Singodimedjo dan Sumitro Djojohadikusumo. Atas tindakannya itu, Soeprapto pernah dipanggil Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang memintanya untuk melepaskan semua menteri itu.
”Lalu dijawab Pak Soeprapto, tidak bisa. Dalam hal penuntutan, saya independen. Saya bukan eksekutif, Anda tidak bisa perintah saya, kata Soeprapto. Lalu dia (Soeprapto) berdiri keluar ruangan sambil membanting pintu. Itu cerita Profesor Oemar Seno Adji kepada saya,” tutur Andi.
Keteladanan Soeprapto lainnya, kata Andi, adalah sikapnya yang sederhana dan kebapakan. Dia mudah ditemui oleh para jaksa. Soeprapto pun tidak pernah memanfaatkan fasilitas kedinasan untuk kepentingan pribadi. Menurut Andi, sikapnya yang lurus itulah yang kemudian membuatnya dicopot sebagai Jaksa Agung meski diberhentikan dengan hormat.
Keteladanan Soeprapto lainnya adalah sikapnya yang sederhana dan kebapakan. Dia mudah ditemui oleh para jaksa. Soeprapto pun tidak pernah memanfaatkan fasilitas kedinasan untuk kepentingan pribadi.
Profesor Riset Bidang Sejarah Sosial Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam mengatakan, Soeprapto tidak hanya menjadi teladan bagi para jaksa, tetapi juga bagi keluarganya. Mengutip buku Mengadili Menteri Memeriksa Perwira, Jaksa Agung Soperapto dan Penegakan Hukum di Indonesia Periode 1950-1959 (2004) karya Iip D Yahya, suatu ketika seorang anaknya diberi gelang emas oleh seorang pengusaha.
Mengetahui hal itu, Soeprapto langsung meminta anaknya untuk mengembalikan gelang emas itu. Demikian pula ketika anaknya yang lain diberi batu giok, maka segera Soeprapto mengembalikannya. Contoh lainnya, ketika ada anaknya yang menendang bola dan mengenai seseorang hingga cedera, maka Soeprapto menyuruh sang anak membuka buku yang ternyata adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk menunjukkan kesalahannya.
Menurut Asvi, ayah Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso yang adalah seorang jaksa berteman baik dengan Soeprapto yang kala itu bertugas di Pekalongan, Jawa Tengah. Kedekatan kedua keluarga itu kemudian tampak ketika Hoegeng yang akan ditugaskan sebagai Kepala Reserse Kriminal di Medan pada 1956 meminta nasihat kepada Soeprapto.
”Sumatera Utara adalah daerah yang sangat berat bagi polisi. Semua kejahatan ada di sana. Jadi ketika akan berangkat ke Medan pun, Hoegeng yang mungkin sedikit ragu meminta saran ke Soeprapto dan akhirnya dia berani berangkat ke Medan,” kata Asvi.
Soeprapto banyak menangani kasus yang melibatkan tokoh-tokoh nasional dan perkara terkait makar, korupsi, dan pencemaran nama baik.
Iip D Yahya mengatakan, Soeprapto banyak menangani kasus yang melibatkan tokoh-tokoh nasional dan perkara terkait makar, korupsi, dan pencemaran nama baik. Menurut Yahya, waktu itu pandangan masyarakat terhadap pengadilan tidak menakutkan. Sebab, kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum sangat tinggi. Mereka percaya perkara yang ditangani akan mendapatkan perlakuan yang seadil-adilnya.
”Bahkan, pada kasus Sultan Hamid, setelah divonis, beliau melakukan konferensi pers dan menyatakan bahwa saya sangat puas dengan pengadilan ini,” kata Yahya.
Sebagai Jaksa Agung, Soeprapto menangani perkara antara lain Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Sultan Hamid, Andi Aziz-RMS, Junschlaeger, dan Schmidt. Bahkan, Soeprapto juga menangani perkara terkait pemberontakan atau pergolakan bersenjata di daerah.
Tegas dan profesional
Menurut pengajar hukum Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji, integritas, kejujuran, moral, obyektivitas, dan kapabilitas dimiliki oleh Soeprapto. Meskipun waktu itu secara administratif kejaksaan ada di bawah Kementerian Kehakiman, Soeprapto tetap mampu bersikap tegas dan profesional.
Indriyanto mengatakan, sang ayah yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung Muda pernah bercerita tentang penangkapan rekan dari seorang panglima militer. Kemudian, panglima itu mengirimkan utusan untuk menemui Soeprapto. Utusan itu meminta Soeprapto untuk membebaskan rekan si panglima yang ditangkap kejaksaan.
”Tapi ditolak secara tegas oleh Jaksa Agung. Dia bilang, kalau mau melepaskan, lebih baik langkahi mayat saya dulu sebagai Jaksa Agung. Itu cerita ayah almarhum. Jadi memang Pak Soeprapto ini tegas,” kata Indriyanto.
Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi, mengatakan, ketika Perdana Menteri Mohammad Natsir mengusulkan Soeprapto menjadi Jaksa Agung, situasinya sangat tidak mudah. Saat itu, organisasi kejaksaan masih belum rapi, penegak hukum masih kurang, dan fasilitas minim. Sementara kondisi politik tidak stabil dengan diwarnai pemberontakan militer di beberapa daerah serta adanya intervensi dari partai politik.
Nama-nama seperti Adnan Buyung Nasution, Oemar Seno Adji, Andi Hamzah, dan Priyatna Abdurrasyid adalah beberapa pakar hukum terkemuka di negeri ini yang berasal dari kejaksaan di masa Soeprapto.
Untuk mengatasi kurangnya jaksa yang terlatih, Soeprapto aktif merekrut sarjana hukum terbaik. Nama-nama seperti Adnan Buyung Nasution, Oemar Seno Adji, Andi Hamzah, dan Priyatna Abdurrasyid adalah beberapa pakar hukum terkemuka di negeri ini yang berasal dari kejaksaan di masa Soeprapto.
Sebagai Jaksa Agung, Soeprapto tidak hanya berani menangkap menteri, tetapi juga pejabat partai dan perwira militer yang terkait dengan kegiatan penyelundupan. Oleh karena itu, pemberhentiannya dari Jaksa Agung tidak lepas dari situasi politik kala itu.
”Sarjana-sarjana menyebut masa keemasan peradilan pidana di Indonesia itu ada di masa Pak Soeprapto,” kata Fachrizal.
Menurut Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, sosok R Soeprapto telah memberikan prestasi yang luar biasa dengan menerapkan prinsip keadilan, kebenaran, dan kejujuran. Soeprapto juga dikenal sebagai sosok yang menempatkan hukum di atas kepentingan yang lain. Maka, tidak berlebihan jika R Soeprapto diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan nasional.
Menurut Ketua Persatuan Jaksa Indonesia yang juga Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi, pengusulan R Soeprapto menjadi pahlawan nasional perlu dipertimbangkan karena karakter, ketokohan, dan rekam jejaknya yang kuat. Selain itu, sosok R Soperapto diperlukan untuk memberikan citra kepada institusi kejaksaan agar kembali disegani, berwibawa, dan dicintai masyarakat.