Kelembagaan BNN Dianggap Perlu Diperkuat dalam Revisi UU Narkotika
Komisi III DPR meminta BNN menemui Presiden Jokowi guna menanyakan politik hukum pemberantasan narkotika. DPR menilai kewenangan BNN perlu diperkuat melalui revisi UU Narkotika.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Narkotika didorong untuk menjadi regulasi yang masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Sebab, dengan pengaturan yang baru, diharapkan Badan Narkotika Nasional memiliki peran yang krusial serta pola koordinasi yang jelas dengan lembaga lain, seperti kepolisian, dan lembaga pemasyarakatan di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Herman Hery mengatakan, revisi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika itu menjadi inisiatif pemerintah. Karena itu, BNN diminta segera bertemu dengan pihak yang berkepentingan terkait hal ini, terutama Presiden Joko Widodo.
Hal itu guna menanyakan politik hukum terkait pemberantasan narkotika. Termasuk di dalamnya perkuatan anggaran dan infrastruktur serta kewenangan dan pola koordinasi yang dijalankan oleh BNN.
”Minta RUU itu segara diajukan. Caranya lewat Kumhan berkirim surat ke DPR supaya ditarik dari daftar long list (daftar tunggu prolegnas prioritas) menjadi RUU prolegnas prioritas tahunan,” kata Herman saat rapat dengar pendapat dengan BNN, Kamis (18/3/2021), di Jakarta.
Rapat dihadiri oleh Kepala BNN Komisaris Jenderal Petrus Golose beserta jajaran. Dalam rapat itu, Herman mengatakan, selama 15 tahun terakhir ia melihat tidak ada cukup terobosan dan inovasi dalam program pemberantasan narkoba oleh BNN. Dipilihnya Petrus Golose sebagai Kepala BNN yang baru diharapkan dapat mengubah hal itu.
Kendati demikian, ia menyadari ada sejumlah kendala yang juga dihadapi pimpinan BNN yang baru, antara lain keterbatasan anggaran serta ketersediaan infrastruktur dan fasilitas pendukung kelembagaan, termasuk kantor dan peralatan kerja lain. Untuk mengatasi kondisi itu, lanjut Herman, dibutuhkan dukungan pemerintah.
Petrus Golose baru dilantik sebagai Kepala BNN yang baru menggantikan Komjen Heru Winarko yang pensiun Desember 2020.
Tanpa dukungan politik hukum yang jelas dari pemerintah, menurut Herman, siapa pun Kepala BNN yang dipilih akan menghadapi kesulitan.
”Di daerah, perwakilan BNN itu mendapatkan giliran bicara terakhir setelah kepolisian dan kepala daerah. Padahal, mereka ini mitra sejajar dan memainkan peran penting dalam penanganan dan pemberantasan narkoba. Tetapi, pada kenyataannya yang dikeluhkan mereka tidak memiliki kantor dan keterbatasan sumber daya. Saya kira ini sesuatu yang harus diperhatikan,” tuturnya.
Dengan menemui Presiden, menurut Herman, Petrus dan jajaran dapat menanyakan keseriusan pemerintah dalam memberantas narkoba. Dapat pula ditanyakan dukungan pemerintah dalam politik hukum dan anggaran bagi BNN.
Jangan sampai, kata Herman, dari tahun ke tahun keberadaan BNN seolah hanya menjadi pelengkap, sementara tantangan pemberantasan narkoba kian berat saat ini. Dalam koordinasi dengan lembaga lain, misalnya dengan Kemenkumham, lanjut Herman, BNN masih terlihat tertatih-tatih karena kerap kali tidak mendapatkan dukungan.
Ketika BNN melakukan penggeledahan ke dalam lapas, misalnya, belum tentu akan diizinkan oleh lapas bersangkutan, sementara saat ini diketahui banyak lapas yang menjadi pusat pengendalian peredaran narkoba. Hal ini terjadi, antara lain, karena ego kelembagaan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, beberapa hal yang juga harus diperhatikan dalam revisi UU Narkotika ialah tentang pengaturan penindakan terhadap pengedar dan pemakai. Sebab, kecenderungannya, pemakai juga dipenjara dan mengakibatkan saat ini sebagian besar penghuni lapas adalah pemakai dan pengedar narkotika.
”Hal lain yang juga diperdebatkan nanti dalam pembahasan revisi UU Narkotika ialah tentang penggunaan ganja untuk keperluan kesehatan. Dalam aturan yang ada saat ini, sekalipun tidak sepenuhnya tertutup kemungkinan untuk ganja kesehatan, aturan mengenai itu masih dirasakan sempit sekali,” kata Arsul yang mengatakan telah mendapatkan masukan dari sejumlah elemen masyarakat sipil terkait hal itu.
Sementara itu, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Santoso, berpendapat harus ada kerja sama dan koordinasi yang bagus antara BNN dan lembaga lainnya, seperti kepolisian dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
”Harus ada model kemitraan yang jelas dan disepakati antara kepolisian dan Kemenkumham soal penanganan dan pemberantasan narkotika ini,” ucapnya.
Petrus Golose mengatakan, ia akan mengikuti saran dari Komisi III DPR yang mendorong adanya pembicaraan intensif dengan Presiden menyangkut politik hukum mengenai pemberantasan narkotika. Namun, ia menegaskan sejumlah terobosan juga dilakukan oleh BNN, antara lain dengan menggalakkan program Desa Bersinar atau desa bersih dari narkoba.
”Komitmen dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika dilakukan dengan holistik dan terintegrasi, baik dengan hard power, atau tindakan keras dan penindakan, maupun soft power yang meliputi pencegahan dan pemberdayaan masyarakat. Selain itu, ada smart power, yakni melalui pengembangan teknologi dan riset. Tentu BNN tidak bisa bekerja sendiri, perlu dukungan dari lembaga-lembaga lain,” ucap Petrus.
Secara terpisah, peneliti Center for Detention Studies, Gatot Goei, mengatakan, harus ada kerja sama antara Ditjen Pemasyarakatan dan BNN dalam mengantisipasi penciptaan pasal narkoba yang dikelola di dalam lapas.
”Sebisa mungkin kurangi kemungkinan pemakai dipenjara, dan utamakan rehabilitasi, karena ini akan membantu mengurangi ketergantungan mereka. Tentu BNN dan penegak hukum harus berkoordinasi untuk mencegah pengguna narkotika dimasukkan ke dalam lapas,” katanya.