Jadikan Mediasi sebagai Jalan Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Nilai-nilai musyawarah di masyarakat mestinya mendorong mediasi sebagai sarana penyelesaian konflik dan sengketa. Namun, jalan mediasi menjumpai banyak kendala sehingga putusan pengadilan tetap jadi tumpuan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mediasi dinilai menjadi cara yang tepat untuk menyelesaikan sengketa atau konflik khususnya terkait pertanahan. Terlebih proses penyelesaian melalui mediasi sesuai dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila, khususnya terkait musyawarah untuk mencapai mufakat.
Ketua Muda Pembinaan Mahkamah Agung (MA) Takdir Rahmadi mengatakan, sistem hukum di Indonesia telah mengenal arbitrase sejam zaman kolonial Belanda meski biasanya dipraktikkan dalam bidang bisnis. Adapun mediasi berkembang di Indonesia sejak 1990-an. MA lantas berupaya membangun proses mediasi yang terintegrasi dengan pengadilan melalui Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2003 yang diperbarui Perma No 1/2008 dan terakhir diperbarui melalui Perma No 1/2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
”Bagi bangsa Indonesia, selain membangun sistem pengadilan dan arbitrase, juga berusaha membangun mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang bersifat musyawarah untuk mufakat guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang pancasilais,” kata Takdir.
Hal itu diungkapkan Takdir dalam diskusi kelompok terarah bertajuk ”Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan melalui Mediasi dan Arbitrase” yang diselenggaraan secara daring oleh Mediator and Arbiter Independen Indonesia (Medarbid), Kamis (18/3/2021). Hadir juga sebagai pembicara Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) RB Agus Widjayanto dan Mediator, Advokat, serta ADR and Legal Consultant Ahmad Zazali.
Menurut Takdir, masyarakat Indonesia telah memiliki nilai-nilai musyawarah untuk mencapai mufakat yang mestinya turut mendorong pemilihan mediasi sebagai sarana penyelesaian konflik dan sengketa. Namun, mediasi di pengadilan hanya berhasil mendamaikan sekitar 5 persen dari jumlah perkara perdata yang diwajibkan pengadilan menempuh mediasi setiap tahunnya.
Demikian pula sengketa atau konflik pertanahan dinilai lebih tepat menggunakan mediasi. MA melalui Perma No 1/2016 telah mewajibkan sengketa pertanahan untuk menempuh mediasi kecuali sengketa ganti rugi pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Agar mediasi atau arbitrase dipilih oleh para pihak yang bersengketa, Takdir melanjutkan, peran advokat menjadi sangat menentukan. Jika advokat tidak memiliki visi atau pandangan tentang manfaat mediasi dan arbitrase, hal itu tidak akan menjadi pilihan. Di samping itu, masyarakat juga dituntut untuk memiliki kesadaran dan budaya menepati janji.
”Sebab, mediasi itu dasarnya adalah kesepakatan menepati janji. Kalau masyarakatnya sering ingkar janji, menjadi berat. Jepang berhasil mengembangkan berbagai bentuk mediasi, kenapa Indonesia tidak. Padahal, saya yakin kita punya tradisi nilai-nilai musyawarah untuk mufakat,” ujar Takdir.
Menurut Agus, sengketa pertanahan selama ini terus meningkat. Sebab, luas tanah tetap sementara jumlah penduduk semakin bertambah, termasuk semakin banyaknya kepentingan terhadap suatu lahan.
Sengketa pertanahan, kata Agus, bisa terjadi ketika pemilik tanah tidak memanfaatkan tanahnya sehingga terdapat pihak lain yang memanfaatkan. Sengketa juga bisa terjadi terkait persepsi status pertanahan, kelemahan sistem, hingga kelalaian petugas. Selain itu, sengketa terjadi ketika kebijakan pemerintah pusat dengan daerah tidak sinkron.
”Keuntungan mediasi salah satunya mengurangi beban di pengadilan. Lalu tidak ada pihak yang merasa dikalahkan atau dimenangkan. Mediasi berakhir dengan perdamaian. Hasil mediasi berupa perdamaian dapat dimintakan vonis yang sama dengan putusan pengadilan,” kata Agus.
Agus mencontohkan, pada 2006 terjadi sengketa antara sebuah perusahaan energi dan sebuah pengembang properti. Upaya litigasi telah dilakukan tetapi tak kunjung membuahkan hasil. Baru setelah melalui mediasi yang memakan waktu beberapa bulan, kesepakatan dicapai kedua belah pihak yang bersengketa.
Menurut Agus, beberapa kendala mediasi antara lain pihak yang bersengketa tidak bersikap tulus dan tidak siap untuk berunding. Selain itu, posisi hukum pihak yang berunding tidak seimbang atau adanya pihak perunding yang beranggapan perundingan bertujuan untuk menang-kalah.
”Mediator profesional akan sangat membantu Kementerian ATR/BPN dalam penyelesaian konflik atau sengketa pertanahan. Saat ini sedang kita kaji sejauh mana peran mediator dalam penyelesaian mediasi konflik pertanahan,” ujar Agus.
Dari pengalaman Ahmad, mediasi biasanya dipilih dalam kasus terkait komunitas atau korporasi.
”Jadi, kebijakan internasional biasanya sengketa dengan komunitas biasanya diselesaikan dengan mediasi. Akhir-akhir ini banyak juga saran atau desakan dari pemerintah terhadap entitas bisnis untuk menyelesaikan dengan mediasi,” kata Ahmad.
Tantangan dalam melakukan mediasi, menurut Ahmad, antara lain adanya intervensi dari pihak di luar yang bersengketa, semisal tim pemenangan sebuah calon kepala daerah di wilayah tertentu. Tantangan lainnya adalah bocor atau tidak terjaganya rahasia dalam proses mediasi.