RKUHP dan RUU Pemasyarakatan Didorong ke Prolegnas Prioritas 2021
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Komisi III DPR sepakat memprioritaskan kembali penyelesaian RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Adapun, kedua RUU itu merupakan luncuran dari DPR periode 2014-2019.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan ditargetkan masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Kedua rancangan undang-undang tersebut diharapkan dapat menuntaskan persoalan lembaga pemasyarakatan yang saat ini telah melebihi kapasitas.
Dalam kesimpulan rapat bersama antara Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dan Komisi III DPR, Rabu (17/3/2021), salah satunya disepakati perlunya reformasi terhadap sistem peradilan pidana terpadu melalui fungsi legislasi.
Hal itu dilakukan dengan memprioritaskan kembali penyelesaian Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan RUU Pemasyarakatan. Adapun, kedua RUU itu merupakan luncuran dari DPR periode 2014-2019.
Yasonna mengatakan, sebelum rapat bersama ini, pihaknya dan Komisi III DPR telah menggelar rapat khusus membahas penyelesaian RKUHP dan RUU Pemasyarakatan. Semua pihak telah bersepakat agar kedua RUU itu bisa masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021.
"Kalau RKUHP dan RUU Pemasyarakatan, barangkali kita sudah sepakat. Secara bertahap, kita akan evaluasi nanti penyelesaian prolegnas di pertengahan tahun. Kita evaluasi bersama untuk kita bahas," ujar Yasonna.
Dalam rapat bersama Komisi III DPR, Yasonna mengeluhkan kondisi lembaga pemasyarakatan (lapas) yang kini telah melebihi kapasitas. Ironisnya, mayoritas merupakan tahanan berkaitan dengan narkotika, mulai dari pengedar, kurir, hingga pemakai.
"Ada satu jenis crime, this is something wrong, sudah pasti something wrong. Apakah ada ketentuan perundang-undangan yang perlu dikoreksi ataukah apa? Saya sudah selalu katakan, kalau ada di dalam satu lapas, ada pengedar, ada pemakai, ada kurir, itu (menjadi) pasar," kata Yasonna.
Karena itu, menurut Yasonna, persoalan klasik ini harus segera dituntaskan. Kemenkumham tak bisa asal membangun lapas karena anggaran terbatas. Lagi pula, di tengah pandemi Covid-19, anggaran kementerian harus direalokasi untuk penanganan pandemi.
Ia mengaku telah mencoba cara lain, yakni dengan memindahkan 643 bandar narkoba ke lapas maximum security di Nusakambangan. Ini guna meminimalisir peredaran gelap narkoba yang dikendalikan dari lapas di Indonesia. Namun, itu pun tidak cukup karena masih ada 5 juta pemakai narkotika yang berkeliaran di luar lapas.
Karena itu, Yasonna mengungkapkan, perlu solusi yang bersifat holistik dalam menangani persoalan kelebihan kapasitas narapidana di lapas, salah satunya melalui revisi KUHP. Revisi KUHP ini nanti diharapkan dapat lebih mengedepankan prinsip keadilan restoratif (restorative justice).
Ia juga meminta Komisi III DPR agar segera menuntaskan revisi UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang saat ini telah masuk Prolegnas Prioritas 2021. Hal ini penting karena UU Narkotika yang berlaku sekarang masih fokus pada pemidanaan pengguna narkotika sehingga menyebabkan lapas kelebihan penghuni. Seharusnya, RUU Narkotika nanti fokus pada rehabilitas pengguna.
Selain melalui revisi undang-undang, Menkumham juga mendorong efektivitas forum Mahkamah Agung, Kemenkumham, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian (Mahkumjakpol) dalam menyelesaikan berbagai permasalahan hukum, seperti tindak pidana narkotika dan penerapan keadilan restoratif. Dengan begitu, diharapkan ada kesepakatan dalam pembatasan antara kurir dengan pemakai, serta penggunaan pasal di UU. Alhasil, persoalan kelebihan kapasitas penghuni di lapas dapat terselesaikan.
"Sehingga, dengan kesepakatan itu, kita perlu duduk bersama-sama. Kita bicara road map (peta jalan) atau apa saja yang bisa kita selesaikan bersama," kata Yasonna.
Rencana tersebut pun disepakati oleh Komisi III DPR.
Lebih leluasa
Dalam rapat bersama antara Menkumham dan Komisi III DPR, hampir seluruh anggota dewan mengeluhkan persoalan hunian lapas yang melebihi kapasitas, serta peredaran narkoba di lapas. Persoalan-persoalan itu didapati anggota dewan ketika melakukan kunjungan kerja ke lapas-lapas di wilayahnya saat masa reses.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Santoso, misalnya, mengungkapkan, pengguna dan bandar malah semakin nyaman melakukan transaksi narkoba ketika berada di lapas. "Nyamannya luar biasa dibanding saat mereka di luar. Mereka bisa lebih leluasa mengendalikan peredaran narkoba dari dalam lapas. Ini mesti ada tindakan extraordinary (luar biasa)," ucapnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengaku sependapat dengan Menkumham agar RKUHP dan RUU Pemasyarakatan bisa masuk ke Prolegnas Prioritas 2021 saat evaluasi prolegnas di pertengahan tahun ini. Ini bertujuan untuk memperbaiki sistem peradilan terpadu yang seharusnya selesai pada 2021.
Dengan begitu, lanjut Arsul, di 2022 nanti, DPR dan pemerintah bisa mulai fokus merevisi KUHP. Ini tentu dengan memasukan terlebih dahulu RKUHP ke Prolegnas Prioritas 2021. Ia berharap, RKUHP dan Pemasyarakatan dapat diinisiasi oleh DPR.
"Karena, kan, kalau di pemerintah, maka pembicaraan inter-kementerian dan lembaganya saja pasti akan panjang dan belum tentu sepakat, sampai dengan pemerintahan atau DPR periode ini berakhir," kata Arsul
Secara terpisah, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin setuju dengan rencana mempercepat penyelesaian RKUHP. Ia berharap, Menteri Sekertariat Negara dapat mengingatkan Presiden agar segera mengirimkan surat presiden (surpres) tentang penjadwalan waktu pembahasan RKUHP. Ini bisa dianggap sebagai bukti keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan pembahasan lanjutan RKUHP yang telah masuk daftar RUU luncuran 2014-2019.
"DPR sifatnya menunggu surpres dan didahului surat Komisi III untuk disampaikan kepada pimpinan DPR untuk dilanjutkan pembahasan. Tentunya, DPR setuju dengan gagasan pemerintah untuk memfinalkan RKUHP untuk dibawa ke tingkat dua. Dengan mengesahkan pada tahap rapat paripurna, RUU KUHP tidak dimulai lagi dari awal," tutur Azis.