Tak Ada Rencana Amendemen untuk Masa Jabatan Presiden
Isu perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode kembali muncul setelah disampaikan mantan Ketua MPR Amien Rais lewat media sosial, Sabtu lalu.Selain menepis tudingan, Presiden Jokowi meminta jaga penerapan UUD 1945.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo kembali menegaskan tidak berminat menjadi presiden selama tiga periode. Masa jabatan presiden yang dibatasi selama dua periode di Undang-Undang Dasar 1945 akan dipatuhinya. Presiden juga mengajak segenap pihak untuk menjaga penerapan aturan tersebut. Secara terpisah, pimpinan MPR menegaskan, tak ada pembahasan ataupun rencana mengamendemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden.
”Jangan membuat kegaduhan baru. Saat ini kita tengah fokus pada penanganan pandemi,” kata Presiden Joko Widodo dalam keterangan pers secara daring dari beranda belakang Istana Merdeka, Jakarta Senin (15/3/2021) sore.
Baca juga: Usulan Presiden Tiga Periode Dianggap Ahistoris dan Menjerumuskan
Saat muncul kembali isu perpanjangan masa jabatan presiden melalui amendemen UUD 1945, Presiden menegaskan bahwa sikapnya tidak berubah. ”Bolak-balik sikap saya enggak berubah. Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak juga berminat menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama-sama,” ujarnya.
Jangan membuat kegaduhan baru. Saat ini kita tengah fokus pada penanganan pandemi.
Pada 2 Desember 2019, Presiden Jokowi pernah menyampaikan sikapnya terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang pernah mengemuka saat itu. ”Yang ngomong presiden itu tiga periode, artinya tiga. Satu, ingin menampar muka saya. Kedua, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Ketiga, ingin menjerumuskan. Itu saja,” katanya kala itu.
Isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode itu kembali muncul setelah disampaikan oleh mantan Ketua MPR Amien Rais melalui media sosial, Sabtu (13/3). Ia mengatakan, ada arah dari rezim yang berkuasa saat ini untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Caranya, dengan meminta Sidang Istimewa MPR untuk mengamendemen sejumlah pasal di UUD 1945 yang dinilai perlu diperbaiki. Namun, kemudian akan ditawarkan perubahan pasal menyangkut masa jabatan presiden sehingga presiden bisa dipilih tiga kali.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menekankan, pemerintah tidak pernah sekali pun membahas soal perpanjangan masa jabatan presiden. Pemerintah ditegaskannya akan tetap mengikuti aturan yang berlaku dan tertuang di konstitusi. ”Di kabinet tidak pernah bicara-bicara yang kayak gitu (perpanjangan masa jabatan presiden), bukan bidangnya,” ujarnya.
Menurut dia, urusan terkait aturan masa jabatan presiden di konstitusi sepenuhnya urusan MPR dan partai politik (parpol). ”Itu urusan parpol dan MPR mau mengubahnya atau tidak. Jadi, jangan diseret-seret ke kabinet urusan itu,” ujar Mahfud.
Penanggulangan Covid-19
Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, pemerintah saat ini sedang konsentrasi menangani pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi.
Di sisi lain, saat ini Indonesia disebutnya berada pada tahap konsolidasi demokrasi. ”Karena itu, sudah tidak pada tempatnya tembakan-tembakan politik tanpa arah yang justru mengacaukan stabilitas politik,” ujar politisi senior PDI-P ini.
Ia pun mengimbau tokoh-tokoh politik agar lebih fokus pada konsolidasi parpol masing-masing guna menghadapi Pemilu 2024. ”Jangan jumpalitan politik sendiri yang menuduh ke mana-mana. Presiden taat konstitusi,” ujarnya.
Tjahjo melihat tudingan bahwa rezim sedang menyiapkan rencana untuk memperpanjang masa jabatan presiden merupakan bagian dari gerakan menjebak. ”Gerakan atau pola menjebak ini sebaiknya ditinggalkan dalam manuver politik. Saya juga yakin, Presiden tidak akan terjebak dengan manuver-manuver tersebut,” katanya.
Secara terpisah, Ketua MPR Bambang Soesatyo menegaskan tidak pernah ada pembahasan perpanjangan masa jabatan presiden di MPR.
”Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945, MPR tidak pernah melakukan pembahasan apa pun untuk mengubah Pasal 7 UUD 1945,” ujar Bambang. Pasal 7 UUD 1945 merupakan pasal yang mengatur presiden dan wakil presiden hanya dapat menjabat dua periode.
Pembatasan maksimal dua periode dilakukan agar Indonesia terhindar dari masa jabatan kepresidenan tanpa batas sebagaimana pernah terjadi pada masa lalu. Sekaligus memastikan regenerasi kepemimpinan nasional terlaksana dengan baik.
Bambang melanjutkan, merujuk pada pengalaman dan praktik di banyak negara demokrasi, termasuk Amerika Serikat, yang merupakan kampiun demokrasi, masa jabatan presiden pun maksimal dua kali. ”Pembatasan maksimal dua periode dilakukan agar Indonesia terhindar dari masa jabatan kepresidenan tanpa batas sebagaimana pernah terjadi pada masa lalu. Sekaligus memastikan regenerasi kepemimpinan nasional terlaksana dengan baik,” ucapnya.
Politisi senior Partai Golkar ini juga meminta masyarakat mewaspadai isu perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode tersebut. Jangan sampai isu itu ”digoreng” sehingga menjadi bahan pertikaian dan perpecahan bangsa. Stabilitas politik yang sudah terjaga dan merupakan kunci keberhasilan pembangunan jangan sampai terganggu karena propaganda dan agitasi perpanjangan masa jabatan presiden.
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid juga menegaskan, tidak ada agenda MPR untuk mengamendemen UUD 1945 guna memperpanjang masa jabatan presiden.
Terlebih Presiden Jokowi pernah menolak wacana perpanjangan masa jabatan itu. Selain itu, Presiden disebutnya tidak memiliki hak konstitusional meminta MPR menggelar sidang istimewa untuk mengamendemen konstitusi guna memperpanjang masa jabatan presiden.
Bantahan juga disampaikan Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ahmad Basarah. Unsur pimpinan MPR dari fraksi terbesar di MPR itu mengatakan, sejauh ini belum ada pemikiran atau langkah-langkah politik untuk mengubah konstitusi demi memperpanjang masa jabatan presiden.
PDI-P, lanjut Basarah, juga menilai dua periode masa jabatan presiden seperti yang saat ini berlaku sudah cukup ideal dan tidak perlu diubah lagi. ”Hanya saja, perlu kepastian akan kesinambungan pembangunan nasional dalam setiap pergantian kepemimpinan nasional sehingga tidak ganti presiden ganti visi-misi dan program pembangunannya. Pola pembangunan nasional seperti itu ibarat tari poco-poco alias jalan di tempat,” ucapnya.
Atas dasar itu, Basarah mengatakan, perubahan terbatas terhadap UUD 1945 dapat dilakukan sebatas untuk memberikan kembali wewenang MPR dalam menetapkan garis-garis besar haluan negara. Bukan untuk menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode karena hal tersebut bukan kebutuhan bangsa saat ini.
Ahistoris
Sekalipun ketentuan dua kali masa jabatan itu dapat diubah dengan amendemen konstitusi, tindakan itu ahistoris. Presiden Soekarno melakukan itu, Presiden Soeharto juga. Karena itu, jangan diulangi. Presiden tiga periode akan menghilangkan kontrol.
Pengajar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, berpendapat, pernyataan Amien sebatas upaya untuk mengingatkan semua pihak agar tidak terjebak pada tindakan inkonstitusional. ”Ini dalam ranah politik baru sebatas cek ombak atau test the water. Sebab, jika benar ada usulan untuk mengusung presiden tiga periode, ini melanggar konstitusi dan jelas-jelas ahistoris,” katanya.
Baca juga: Wacana Pemilihan Presiden oleh MPR Mulai Mendapat Penolakan
Ia mengingatkan, Presiden pertama RI Soekarno dan Presiden kedua RI Soeharto pernah melakukan itu. Kondisi itu berusaha diubah melalui reformasi 1998 demi ketatanegaraan yang lebih demokratis. Oleh karena itu, pembatasan masa jabatan presiden dua kali itu penting untuk mencegah munculnya otoritarianisme.
”Sekalipun ketentuan dua kali masa jabatan itu dapat diubah dengan amendemen konstitusi, tindakan itu ahistoris. Presiden Soekarno melakukan itu, Presiden Soeharto juga. Karena itu, jangan diulangi. Presiden tiga periode akan menghilangkan kontrol,” ujarnya.