Praktik impunitas yang melindungi pelaku kejahatan sehingga tak bisa diadili bisa dihentikan dengan perbaikan sistem hukum. Hal ini sangat penting dalam memperkuat dasar Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Praktik impunitas yang melindungi pelaku kejahatan sehingga tidak bisa diadili bisa dihentikan dengan perbaikan sistem hukum. Hal ini sangat penting dalam memperkuat dasar Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Dian Rositawati, dalam diskusi bertajuk ”Peradilan dan Impunitas”, Selasa (16/3/2021), mengatakan, impunitas berasal dari hukum, kebijakan, dan pengaturan yang memberikan perlindungan kepada pelaku yang seharusnya diadili. Diskusi itu diadakan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LEIP), Constitutional and Administrative Law Society, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
”Impunitas terjadi di berbagai aspek, dilakukan oleh berbagai aktor, di berbagai isu dan di berbagai tahapan proses pengadilan,” kata Dian.
Impunitas berasal dari permasalahan sistemik proses peradilan yang menemukan konteksnya pada rezim yang berbeda. Sistem peradilan kerap menjadi alat kekuasaan.
Dian menyoroti berbagai praktik yang terjadi, seperti jaksa hanya mengikuti hasil konstruksi penyidikan polisi, saksi kunci tidak diperiksa, saksi dan terdakwa mendapat tekanan dari penyidik dan penuntut umum, kriminalisasi, tidak ada pendampingan hukum, lemahnya dakwaan dan tuntutan jaksa, serta saksi ahli tidak punya kualifikasi keilmuan yang tepat.
Muhamad Isnur dari YLBHI juga menyoroti adanya putusan pengadilan yang minim argumentasi, kurang perspektif hak asasi manusia, termasuk hak atas lingkungan, masyarakat adat, hak atas dan dalam pekerjaan, kebebasan berpendapat, dan hak atas beragama/berkeyakinan.
Ia juga menyoroti bahwa integritas dan nilai antikorupsi belum terinternalisasi. Ini terlihat dari masih banyaknya kasus suap terhadap oknum di sistem peradilan. Selain itu, YLBHI menilai, eksekusi tidak jelas, hakim permisif terhadap pelanggaran hukum acara, hakim menghalangi atau mendukung jaksa menghambat terdakwa didampingi penasihat hukum, disparitas putusan dengan banyak terdakwa untuk satu peristiwa yang sama di pengadilan yang sama.
Dengan sederet masalah dalam sistem hukum dan peradilan khususnya, kerap terjadi impunitas di mana hanya pelaku lapangan yang dihukum, pelaku hanya dijatuhi hukuman administrasi, bahkan pelaku tidak pernah diperiksa.
Suciwati, istri almarhum pejuang HAM, Munir, menceritakan pengalamannya ketika proses pengadilan mulai menyentuh otak atau lembaga, maka serta-merta kasus terhambat.
Herlambang P Wiratraman dari Universitas Airlangga menggarisbawahi bahwa impunitas adalah kejahatan negara karena ada penyimpangan kelembagaan. Penyimpangan tersebut dilakukan secara terbuka, terinstitusionalisasi, dan untuk memenuhi tujuan lembaga itu.
Ia pun menekankan, impunitas merusak fondasi negara hukum dan demokrasi karena mencerminkan merosotnya negara hukum dan demokrasi.
Untuk menghentikan impunitas, Herlambang mengatakan, perlu ada penguatan kekuasaan hakim yang membatasi kekuatan politik eksekutif, legislatif, dan kuasa ekonomi politik lainnya. Sistem hukum harus diperkuat integritasnya, misalnya dengan memperkuat Komisi Yudisial. Di sisi lain, perlu ada agenda memperkuat kapasitas hakim mulai dari rekrutmen hingga adanya dorongan untuk konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan tugasnya.