Pengacara Edhy Prabowo Sebut Aturan Garansi Bank Eksportir Benur Masih Diproses
Pernyataan Edhy Prabowo melalui pengacaranya menguatkan dugaan KPK bahwa keharusan bank garansi dari para eksportir benih lobster tak dilandasi aturan hukum. Ketiadaan aturan dinilai KPK berisiko memunculkan kecurangan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Puluhan miliar rupiah disetor oleh para eksportir benih lobster atau benur dalam bentuk bank garansi pada 2020 ketika dasar hukum yang mengatur hal tersebut belum disahkan. Meski demikian, setoran uang diyakinkan bukan bagian dari kejahatan korupsi seperti dituduhkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Aliran uang itu disebut akan masuk ke kas negara.
Sebelumnya, pada Senin (15/3/2021), penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang tunai Rp 52,3 miliar dari Bank Negara Indonesia (BNI) 46 Cabang Gambir, Jakarta, terkait kasus dugaan korupsi penetapan izin ekspor benur. Uang itu diduga berasal dari para eksportir yang telah mendapat izin Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk mengekspor benur pada 2020.
Bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo diduga memerintahkan Sekretaris Jenderal KKP agar membuat surat perintah kepada eksportir untuk menyerahkan bank garansi atau jaminan bank.
Berdasarkan informasi awal, ada lebih dari 40 perusahaan yang telah menyetorkan bank garansi tersebut ke BNI 46. Padahal, penyidik KPK menengarai tak ada aturan yang menyebutkan perlunya penyerahan jaminan bank dari eksportir.
Kuasa hukum Edhy, Soesilo Aribowo, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (16/3/2021), mengatakan, dari pengakuan Edhy, sebenarnya aturan mengenai penyetoran bank garansi bagi para eksportir benur sudah hampir selesai. Bahkan, aturan tersebut sudah dikoordinasikan antara Inspektur Jenderal KKP dan Kementerian Keuangan.
”Jadi, Rp 52,3 miliar itu adalah bank garansi untuk proses pembayaran pemasukan negara bukan pajak, PNBP. Yang katanya (Edhy), itu belum diresmikan karena peraturannya masih diproses. Sudah disusun drafnya, tetapi belum ditandatangani,” ujar Soesilo.
Edhy, menurut Soesilo, tidak mengetahui detail perusahaan-perusahaan yang telah menyetor bank garansi. Jumlah uang yang disetorkan pun, Edhy mengaku, tidak paham.
Melalui Soesilo, Edhy menegaskan bahwa setoran uang dari para eksportir akan menjadi pemasukan negara. Itu pun jika peraturannya sudah ada. ”Jadi, itu bukan uang suap,” katanya.
Diperiksa sebagai saksi
Sekjen KKP Antam Novambar membenarkan bank garansi yang digunakan KKP untuk ekspor benur tujuannya untuk mengamankan PNBP. Sebab, belum ada peraturan pemerintah yang mengatur PNBP untuk ekspor benur.
Berdasarkan surat panggilan yang diperoleh Kompas dari internal KPK, Antam dijadwalkan untuk diperiksa penyidik KPK sebagai saksi pada Rabu (17/3/2021).
Antam akan dimintai keterangan terkait penerimaan hadiah atau janji yang dilakukan tersangka Edhy Prabowo, Siswadhi Pranoto Loe, Ainul Faqih, Amiril Mukminin, Safri, dan Andreau Misanta Pribadi.
Meski demikian, Antam tak menjawab saat ditanya terkait kebenaran dari rencana pemanggilan itu. Begitu pula Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mendesak KPK agar segera memanggil seluruh pihak yang terkait penyitaan uang dari BNI 46 Cabang Gambir. Mereka yang disebutkan KPK, yakni Antam, Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BIKPM), dan Kepala Kantor Balai Karantina Besar Jakarta I Soekarno Hatta.
Menurut Kurnia, hal tersebut penting agar mereka dapat menjelaskan maksud di balik perintah Edhy agar setiap eksportir menyerahkan bank garansi. Ia berharap, orang-orang yang dipanggil kooperatif dan memenuhi undangan pemeriksaan tersebut.
”Bukan tidak mungkin uang yang disita oleh KPK adalah bagian dari commitment fee pihak swasta yang sebenarnya ditujukan ke pejabat-pejabat kementerian,” kata Kurnia.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan berharap pemerintah dalam membuat kebijakan selaras dengan regulasi. Sebab, untuk segala urusan uang harus ada dasar hukumnya. Peraturan pemerintah menjadi dasar hukum atau regulasi yang wajib tersedia untuk tata kelola keuangan negara yang baik.
”Kalau tidak ada dasar hukumnya, tata kelola keuangan jadi lemah dan risiko fraud muncul. Ujung-ujungnya kerugian buat negara. Yang harusnya dipungut jadi tidak bisa dipungut karena regulasi belum ada,” kata Pahala.
Peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, pun berpendapat, jika tidak ada dasar hukum untuk bank garansi, seorang menteri tidak bisa memerintahkan perusahaan-perusahaan untuk memberikan bank garansi.
”Nah, sejauh ini, kan, tidak ada dasarnya. Karena tidak ada dasarnya, ya, itu dugaan kuat merupakan suatu modus untuk suap-menyuap,” ujar Zaenur.