KPK Finalisasi Pedoman Teknis Penuntutan Tipikor dan TPPU
Keberadaan pedoman penuntutan dan pemidanaan kasus korupsi dinilai mendesak untuk meminimalisasi disparitas tuntutan dan vonis kasus korupsi. Karena itu, KPK tengah meminalisasi penyusun pedoman penuntutan bagi jaksa.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan pedoman penuntutan dan pemidanaan kasus korupsi dinilai mendesak untuk meminimalisasi disparitas tuntutan dan vonis. Meskipun ada pedoman, jaksa dan hakim diharapkan tidak terbelenggu oleh pedoman tersebut. Hakim dan jaksa tetap memiliki independensi dalam menilai perkara tertentu.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, saat ini tengah meminalisasi penyusunan pedoman teknis penuntutan. Juru Bicara KPK Ali Fikri, saat dikonfirmasi pada Selasa (16/3/2021) di Jakarta, mengatakan, sebenarnya pedoman penuntutan itu ditargetkan selesai pada awal 2021. Namun, dalam perkembangannya, pedoman belum bisa diselesaikan. Sebab, pedoman tidak hanya mengatur tentang penuntutan pada pasal tindak pidana korupsi (tipikor), tetapi juga pasal untuk tindak pidana pencucian uang (TPPU).
”Pedoman penuntutan dibuat KPK untuk membangun sinergi dalam upaya pemberantasan tipikor. Saat ini, masih dalam tahap finalisasi penyusunan pedoman teknis,” ujar Ali.
Pedoman penuntutan dibuat KPK untuk membangun sinergi dalam upaya pemberantasan tipikor. Saat ini, masih dalam tahap finalisasi penyusunan pedoman teknis.
Ali mengatakan, salah satu alasan KPK menyusun pedoman penuntutan adalah sebagai solusi masalah disparitas tuntutan pidana antarperkara yang serupa. Disparitas tuntutan menunjukkan adanya problem dalam penanganan perkara.
Disparitas juga bisa dipandang sebagai bentuk ketidaksetaraan hukuman antara kejahatan yang serupa dalam kondisi dan situasi sama. Dalam penanganan perkara pidana, putusan majelis hakim pun banyak dipengaruhi oleh tuntutan jaksa. Tuntutan jaksa bukan hanya berkenaan pembuktian perkara, tetapi juga pertimbangan berat-ringannya pidana yang akan dijatuhkan oleh hakim.
”Adanya hubungan erat antara tuntutan pidana dan putusan hakim tersebut, maka sangat penting bagi KPK untuk memiliki standardisasi tuntutan dalam bentuk Pedoman Tuntutan Perkara Tindak Pidana Korupsi,” kata Ali.
Ali menambahkan, pedoman tuntutan itu bukan hanya untuk mengalkulasi keadilan secara matematis. Namun, pedoman justru sebagai upaya mencari dasar rasionalitas penuntutan. Ini dinilai justru akan meringankan beban penuntut umum dalam mencari dasar pijakan untuk menentukan tuntutan pidana yang adil antara rentang minimum khusus dan maksimum khusus.
Hal-hal yang diatur dalam pedoman itu, antara lain, sudut pandang untuk mengidentifikasi hal-hal yang memberatkan dan meringankan tuntutan pidana dari sisi obyektif maupun subyektif. Sudut pandang obyektif adalah melihat hal-hal yang memberatkan dan meringankan tuntutan pidana melalui ukuran-ukuran yang sifatnya obyektif dan dapat dilakukan oleh masyarakat umum.
Adapun sudut pandang subyektif adalah melihat hal-hal yang memberatkan dan meringankan tuntutan pidana melalui penilaian yang sifatnya subyektif dari pandangan jaksa penuntut umum dengan mencermati fakta penyidikan, penuntutan, dan persidangan.
Parameter kategori pertimbangan hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman tersebut di antaranya motif melakukan korupsi, pelaku utama atau pelaku peserta, jumlah kerugian negara, jumlah nilai korupsi yang dinikmati, nilai suap yang diterima, kedudukan dan jabatan pelaku, dampak dari perbuatan korupsi, belum pernah dihukum, sopan di persidangan, tidak berbelit-belit, berterus terang dan mengakui perbuatannya, dan sebagainya.
”Penyusunan pedoman tuntutan tindak pidana korupsi ini didahului oleh riset atau penelitian terhadap tuntutan pidana perkara-perkara yang ditangani KPK. Penelitian dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban keilmuan dan juga penghargaan atas karya-karya tuntutan pidana penuntut umum KPK sebelumnya,” kata Ali.
Masukan bagi MA
Sementara itu, terkait dengan pedoman pemidanaan hakim, Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro mengatakan, saat ini MA sudah memiliki Perma 1/2020 yang mengatur pedoman pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Namun, idealnya, memang tidak hanya pasal-pasal UU Tipikor yang dibuatkan pedoman pemidanaan. Pasal-pasal tipikor lain seperti suap dan gratifikasi perlu dibuat untuk meminimalisasi fenomena disparitas putusan.
Meski demikian, menurut Andi, pembuatan pedoman pemidanaan dalam perkara tipikor tidak mudah. Perlu ada hasil penelitian dari sejumlah perkara yang sama dan sejenis tetapi terdapat perbedaan pidana yang mencolok. Saat membuat pedoman pemidanaan Perma 1/2020, MA membentuk kelompok kerja bekerja sama dengan peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penyusunan pedoman tersebut membutuhkan waktu sekitar dua tahun.
”Mappi sebelumnya telah meneliti 600 perkara tipikor Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, dan melakukan studi banding. Saat pembuatan pedoman itu pun ada kalangan yang tidak setuju karena menurutnya pedoman tersebut bisa mengganggu independensi hakim,” kata Andi.
Andi mengapresiasi masukan dari masyarakat sipil dan pakar hukum tentang penyusunan pedoman pemidanaan perkara Tipikor di luar Pasal 2 dan Pasal 3, seperti perkara suap dan gratifikasi. MA akan menyerap aspirasi itu dan menjadikan masukan bagi kinerja MA ke depan.
Pengawasan
Komisi Yudisial berdasarkan kewenangannya memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus yang menjadi sorotan publik sebagai bagian bentuk laporan masyarakat yang akan ditindaklanjuti untuk dianalisis. Apakah ada potensi pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) atau tidak.
Sementara itu, terkait fenomena disparitas putusan hakim, Ketua Komisi Yudisial Mukti Fajar Nur Dewata mengatakan, putusan hakim dilindungi oleh doktrin kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas, dan independen. Namun, kekuasaan kehakiman bukanlah kekuasaan yang absolut dan mutlak tanpa batas. Putusan hakim seharusnya didasarkan pada norma hukum, fakta-fakta hukum, teori dan asas hukum, serta keyakinan hakim yang dapat dipahami berdasarkan logika hukum. Putusan hakim akan dinilai memenuhi rasa keadilan apabila seorang hakim memiliki kapasitas, profesionalitas, dan integritas.
”Komisi Yudisial berdasarkan kewenangannya memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus yang menjadi sorotan publik sebagai bagian bentuk laporan masyarakat yang akan ditindaklanjuti untuk dianalisis. Apakah ada potensi pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) atau tidak,” kata Mukti.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso mengatakan, fokus perhatian pada kebijakan penuntutan dan pemidanaan tindak pidana korupsi sangat penting. Sebab, dalam berbagai kajian akademis, putusan pengadilan sangat berkorelasi dengan besarnya tuntutan yang diajukan jaksa. Sebagian besar putusan majelis hakim di pengadilan tidak terlalu jauh dari tuntutan pidana yang dilakukan oleh jaksa. Supaya tidak ada disparitas penuntutan dalam kasus yang hampir sama, pedoman penuntutan dibutuhkan oleh aparat penegak hukum.
Meski demikian, sebaiknya pedoman pemidanaan itu jangan sampai membelenggu jaksa dalam melakukan penuntutan. Jaksa memiliki diskresi untuk menuntut dengan hukuman minimal khusus atau hukuman maksimal khusus.