Menko Polhukam: Kesalahan Administrasi Tidak Bisa Ditindak Pidana Korupsi
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bertemu dengan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Dalam pertemuan itu, Mahfud memberi masukan bahwa kesalahan administrasi tidak ditindak pidana korupsi.
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD meminta kepada Kejaksaan Agung agar memperketat penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dengan begitu, harapannya, kesalahan administrasi tidak bisa ditindak pidana korupsi.
Hal tersebut disampaikan Mahfud seusai rapat kerja dengan para pejabat tinggi Kejaksaan Agung (Kejagung), di Kantor Kejagung, Senin (15/3/2021). Hadir dalam rapat itu, Jaksa Agung ST Burhanuddin didampingi semua jaksa agung muda.
Mahfud MD mengatakan, beberapa hari ini, sejumlah tokoh memberi masukan kepada pemerintah agar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) diberi petunjuk pelaksanaan yang jelas. Namun, setelah ia berdiskusi dengan Jaksa Agung, rupanya Kejagung sudah memiliki standar operasional dan prosedur (SOP) tentang pemidanaan sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
”Dari sekian kasus yang diajukan oleh Kejagung itu hampir semuanya memang terbukti di pengadilan. Di bawah 5 persen saja yang dianggap oleh pengadilan, ini bukan kasus korupsi. Artinya, sudah bagus cara menerapkan hukum,” ujar Mahfud.
Baca Juga: Urgensi Perluasan Pedoman Pemidanaan Kasus Korupsi Terpenuhi
Mahfud mengungkapkan, yang terjadi di lapangan saat ini adalah seseorang tidak mempunyai niat jahat (mens rea) dan melakukan kesalahan administrasi, tetapi malah dijerat tindak pidana korupsi. Menurut dia, hal itu menyebabkan orang takut melangkah.
Dari kasus itu, ia berharap penerapan pasal-pasal di UU Tipikor dan SOP pemidanaan tindak pidana korupsi bisa diperketat. ”Sehingga, kalau ada perbuatan melawan hukum, tetapi tidak ada niat, tidak ada mens rea untuk itu, maka bukan kasus korupsi,” katanya.
Disparitas putusan
Masih terkait dengan panduan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso mengatakan, fokus perhatian pada kebijakan penuntutan penting. Sebab, dalam berbagai kajian akademis, putusan pengadilan sangat berkorelasi dengan besarnya tuntutan yang diajukan jaksa.
Sebagian besar putusan majelis hakim di pengadilan tidak terlalu jauh dari tuntutan pidana yang dilakukan oleh jaksa. Supaya tidak ada disparitas penuntutan dalam kasus yang hampir sama, pedoman penuntutan dibutuhkan oleh kejaksaan.
”Sebenarnya, jaksa pun sudah diberi diskresi untuk menuntut sampai tuntutan maksimal dalam tindak pidana khusus tertentu. Di kejaksaan juga sudah ada pedoman penuntutan berapa persen dari maksimum pidana dengan pertimbangan kondisi tindak pidananya,” kata Topo.
Namun, jika ternyata masih banyak terjadi disparitas putusan dalam kasus serupa, kejaksaan seharusnya juga mengevaluasi. Sebab, jika dibiarkan, hal itu akan berkaitan dengan putusan hakim di pengadilan yang dianggap mencederai rasa keadilan. Apalagi jika hakim yang menangani perkara tersebut tidak memiliki kesadaran hukum yang tinggi.
Di pengadilan, jaksa juga memiliki kewenangan untuk menggali bukti-bukti dan keterangan saksi untuk memperkuat argumen tuntutannya. Demikian juga dengan hakim, yang memiliki kewenangan untuk menggali bukti-bukti selama pemeriksaan terdakwa.
”Namun, apabila memang dirasa dibutuhkan, pedoman pemidanaan itu jangan sampai membelenggu jaksa untuk melakukan penuntutan,” kata Topo.
Terkait dengan pasal di UU Tindak Pidana Korupsi, menurut Topo, selama ini disparitas tuntutan ataupun putusan yang lebih banyak disorot memang Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Sebab, dua pasal tersebut berkaitan langsung dengan kerugian negara.
Dengan demikian, parameter yang digunakan dalam pedoman pemidanaan lebih konkret karena berkaitan langsung dengan besaran nilai kerugian negara. Sementara itu, untuk pasal suap dan gratifikasi, terkadang tidak berkaitan langsung dengan kerugian negara. Ini yang harus dikaji terlebih dahulu untuk menentukan kira-kira parameter apa yang cocok digunakan sebagai pedoman pemidanaan.
Pengajar hukum Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji, menambahkan, dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana, memang sebaiknya disparitas penuntutan dan vonis dihindari.
Hal itu penting bagi pencari keadilan, terutama menyangkut rasa keadilan. Mereka yang mengalami disparitas penuntutan dan pemidanaan seolah menjadi korban. Oleh karena itu, dibutuhkan pedoman penuntutan dan pemidanaan yang terukur.
Namun, dalam praktiknya, implementasi dari pedoman penuntutan dan pemidaaan itu tidak bisa digeneralisasi. Semuanya harus dilihat kasus per kasus. Pedoman seharusnya hanya digunakan untuk meminimalisasi disparitas penuntutan dan putusan.
”Memang sebaiknya ada ukuran obyektif untuk menyeragamkan tuntutan dengan kasus yang hampir serupa. Dengan demikian, tidak ada lagi fenomena disparitas penuntutan untuk obyek dan perbuatan yang sama,” kata Indriyanto.
Kasus HAM
Dalam kunjungan ke Kejagung, Mahfud juga menegaskan komitmen pemerintah terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Menurut dia, Kejagung juga serius akan menuntaskannya dan kini masih berproses untuk dicarikan solusinya.
”Kami serius semua. Kejagung serius. Tadi itu juga disinggung karena memang sudah berproses,” ucap Mahfud.
Berdasarkan undang-undang, Mahfud menjelaskan, kasus dugaan pelanggaran HAM berat dapat diselesaikan secara yudisial ataupun non-yudisial. Kasus dugaan pelanggaran HAM berat sangat memungkinkan untuk diselesaikan secara yudisial jika telah memenuhi prosedur, misalnya telah dilengkapi alat bukti yang cukup.
Baca Juga: Penuntasan Kasus HAM Berat oleh Tim Khusus Kejagung Dinantikan
”Nah, ini semua masih jalan. Kami merencanakan penyelesaian itu, yudisial dan non-yudisial,” katanya.
Terkait dengan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu, Topo mengatakan, perjuangan korban untuk menuntut keadilan akan semakin terjal. Sebab, Kejaksaan Agung dinilai telah menunjukkan politik hukumnya terhadap peristiwa Semanggi I dan II.
Padahal, Kejaksaan Agung seharusnya bersikap independen terhadap suatu kasus karena mereka merupakan aparat penegak hukum yang akan menyidik dan menuntut peristiwa tersebut di pengadilan HAM. Pelanggaran HAM berat menjadi tanggung jawab negara untuk penyelesaiannya. Namun, jika aparat penegak hukumnya bias dan partisan, hal itu semakin menjauhkan korban dari upaya mencari keadilan.
”Di dalam sistem peradilan kita, perkara pelanggaran HAM berat itu diselesaikan di pengadilan HAM berdasarkan keputusan dari kejaksaan. Negara melalui aparat penegak hukum seharusnya lebih mendengarkan korban, bukan malah menyatakan sebaliknya (bukan pelanggaran HAM berat),” kata Topo.
Apalagi, dalam kasus Semanggi I dan II ini, korban mengatakan sudah ada komitmen dari Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kasus secara hukum. Sikap yang ditunjukkan oleh kejaksaaan dinilai justru kontradiktif dengan janji politik presiden. Akibatnya, janji itu hanya akan dianggap sebagai gimik politik semata.
Sebelumnya, keluarga korban Semanggi I dan II kecewa atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang memenangkan upaya banding Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Anggota tim kuasa hukum keluarga korban, M Isnur, mengatakan, pihaknya akan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) untuk menanggapi putusan PTTUN. Ia berharap MA bisa mengoreksi putusan PTTUN dan mengembalikan keadilan kepada korban.
Adapun, PTTUN Jakarta membatalkan vonis PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan keluarga korban Semanggi I dan II terhadap Jaksa Agung. Burhanuddin dinilai melakukan perbuatan melawan hukum atas pernyataannya terkait penanganan kasus Semanggi I dan II di Rapat Kerja Jaksa Agung dan Komisi III DPR, 16 Januari 2020.