Diperlukan juga pedoman yang komprehensif dan terukur untuk meminimalkan perbedaan tuntutan dan putusan. Pedoman itu difokuskan pada peran, latar belakang jabatan, latar belakang motif, dan cara melakukan tindak pidana.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen pemberantasan korupsi oleh penegak hukum dibutuhkan baik dalam menuntut maupun memutus perkara korupsi. Di sisi lain, diperlukan juga pedoman yang komprehensif dan terukur untuk meminimalkan perbedaan tuntutan serta putusan.
Sebelumnya, perbedaan putusan yang mencolok terjadi dalam perkara terkait Joko Tjandra dengan perkara suap serta gratifikasi yang melibatkan bekas Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono. Tujuh terdakwa dalam perkara Joko Tjandra divonis lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Sementara itu, Nurhadi dan Rezky divonis lebih rendah dari tuntutan jaksa.
Untuk mengatasi perbedaan tersebut dibutuhkan komitmen dalam memberantas korupsi oleh penegak hukum, selain pedoman yang komprehensif dan terukur. Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, menegaskan, setiap penegak hukum wajib memiliki komitmen tinggi dan menempatkan kasus korupsi sebagai perkara yang serius.
Menurut Taufik, perlu ada pedoman yang lebih komprehensif dan terukur pada pasal-pasal di Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk meminimalkan perbedaan dalam penuntutan dan putusan perkara korupsi. Pedoman tersebut sebaiknya difokuskan pada peran, latar belakang jabatan, latar belakang motif, dan cara melakukannya.
Meskipun demikian, setiap perkara harus dilihat secara kasuistik dan spesifik serta tidak bisa digeneralisasi. ”Dalam kasus korupsi, pertimbangan kecanggihan cara melakukan korupsi bisa menjadi pertimbangan memperberat putusan. Misalnya, dengan rencana dan strategi yang sudah disusun sedemikian rupa untuk mendapatkan uang tersebut,” kata Taufik saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (13/3/2021).
Selain itu, kata Taufik, jabatan pelaku, seperti aparat penegak hukum, juga harus jadi faktor pemberat. Namun, itu pun juga harus memperhatikan perannya. Misalnya, ada kasus yang nilai kerugiannya besar, tetapi perannya hanya sebagai kurir atau membantu membuat surat tentu berbeda dengan pelaku yang merencanakan dan menjadi penggerak kasus tersebut.
Hakim pada semua tingkat peradilan mempunyai kebebasan dalam memutus perkara yang tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan apa pun termasuk atasannya.
Pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, hakim pada semua tingkat peradilan mempunyai kebebasan dalam memutus perkara yang tidak dapat diintervensi oleh kekuasaan apa pun termasuk atasannya. Namun, kekuasaan itu tidak absolut karena dibatasi oleh peraturan perundangan termasuk peraturan Mahkamah Agung.
”Ketika memutuskan sebuah perkara, yang sangat dominan adalah keyakinannya apakah seorang bersalah atau tidak bersalah,” kata Fickar.
Menurut Fickar, dengan paradigma seperti itu, banyak tafsir hakim dalam menerjemahkan kebebasannya sesuai dengan kepentingan dan rasa keadilan. Karena itu, banyak muncul perbedaan cara berpikir antara satu hakim dan lainnya.
Para hakim juga memiliki perbedaan persepsi dan tafsir, termasuk juga saat berhadapan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 yang berisi pedoman bagi hakim untuk pemidanaan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Ia menegaskan, pedoman dalam memutuskan perkara adalah undang-undang khususnya pasal-pasal yang didakwakan. Ketika terlalu banyak pedoman, justru akan tidak produktif karena dianggap mengintervensi.
Menurut Fickar, jaksa dan hakim seharusnya memersepsikan fakta persidangan dengan dasar komitmen pada pemberantasan korupsi. Sebab, dalam memutuskan perkara korupsi, terjadi benturan antara komitmen pemberantasan korupsi dan fakta persidangan yang terjadi. Apalagi, ketika ada intervensi yang mencoba memengaruhi putusan.
Putusan perkara korupsi sepenuhnya menjadi pilihan hakim dalam mempertimbangkan komitmen dengan realitas persidangan. Dari sisi aturan, sebenarnya Indonesia sudah memiliki aturan yang lengkap. ”Undang-undang sudah mengatur sedemikian rupa. Tinggal yang penting komitmen yang tinggi para pelaksananya termasuk hakim dan jaksa,” tutur Fickar.
Koordinator Harian Strategi Pencegahan Korupsi Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi Herda Helmijaya membenarkan, selain pedoman pemidanaan dan penuntutan, perlu dibangun juga panduan komitmen bersama dalam pemberantasan korupsi khususnya untuk penegak hukum.
Selain pedoman pemidanaan dan penuntutan, perlu dibangun juga panduan komitmen bersama dalam pemberantasan korupsi khususnya untuk penegak hukum.
Herda mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang melanjutkan dan mengembangkan penerapan Sistem Penanganan Perkara Tindak Pidana Secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI). Melalui aksi ini, selain mendorong penggunaan teknologi informasi untuk transparansi, kepastian hukum, dan keadilan, juga mendorong para aparat penegak hukum untuk saling bekerja sama serta berkomitmen yang sama dalam penegakan hukum.
Sebelumnya, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro mengungkapkan, majelis hakim yang mengadili perkara korupsi yang pelakunya penegak hukum atau peradilan dan aparat penegak hukum lainnya, tidak ada maksud untuk menjatuhkan vonis yang berbeda. Semuanya tergantung dari fakta hukum persidangan dan pertimbangan majelis hakim yang menangani perkaranya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, terhadap perbedaan putusan dan tuntutan, kejaksaan menghormati proses hukum yang ada.