Putusan PT DKI Jakarta yang mengorting hukuman empat terdakwa kasus korupsi Jiwasraya melukai rasa keadilan masyarakat. Pengadilan harus memiliki argumen kuat yang menjadi dasar pengurangan hukuman tersebut.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan berbeda Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terhadap enam terdakwa kasus korupsi Jiwasraya dipertanyakan dan dinilai mencederai rasa keadilan. Diperlukan eksaminasi putusan terutama terhadap empat putusan yang mengoreksi hukuman seumur hidup yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama.
Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah memutus perkara banding sejumlah terdakwa kasus korupsi Jiwasraya. Dari enam terdakwa, empat terdakwa mendapatkan pengurangan hukuman pidana. Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memutus keenam terdakwa dengan penjara seumur hidup.
Mereka yang mendapatkan potongan hukuman pidana itu adalah Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim yang dihukum pidana menjadi 18 tahun, bekas Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo dihukum pidana menjadi 20 tahun penjara, bekas Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan menjadi 18 tahun penjara, dan Direktur PT Maxima Integra Joko Hartono Tirto menjadi 18 tahun penjara. Adapun dua terdakwa lainnya, yaitu Benny Tjokro dan Heru Hidayat, tetap dihukum penjara seumur hidup.
Putusan PT DKI Jakarta terhadap Hary Prasetyo, misalnya, diunggah di laman resmi Mahkamah Agung pada 24 Februari lalu. Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang diketuai Haryono, dan hakim anggota Berlafat Akbar dan Renny Halida Ilham Malik, menyatakan bahwa bekas Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya itu terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama. Majelis juga mengatakan bahwa pertimbangan hukum majelis hakim tingkat pertama telah tepat, benar, dan baik sesuai dengan fakta-fakta, pemeriksaan perkara, dan hukum acara.
Sementara memori banding yang diajukan jaksa penuntut umum, dan kontra memori banding yang diajukan penasihat hukum terdakwa juga dinilai tidak memuat hal-hal baru. Oleh karena itu, putusan pengadilan tingkat pertama dapat dikuatkan, kecuali pidana yang dijatuhkan. Majelis hakim PT DKI Jakarta berpendapat, penjatuhan pidana di pengadilan tingkat pertama kurang sesuai dengan teori pemidanaan yang dianut sistem hukum di Indonesia.
”Pengadilan tinggi tidak sependapat dengan lamanya pidana yang tercantum dalam putusan tindak pidana pertama tersebut,” ujar majelis dalam salinan putusan.
Dalam teori pemidanaan, tujuan pemidanaan seseorang yang bersalah tidak semata-mata untuk pembalasan dari konsekuensi keterbatasan lingkungan, ruang, rasa malu, dan pengekangan dari terpidana. Namun, pemidanaan juga untuk memberi pembinaan moral, intelektual, dan kesadaran hukum.
Hakim berpandangan, dalam teori pemidanaan, tujuan pemidanaan seseorang yang bersalah tidak semata-mata untuk pembalasan dari konsekuensi keterbatasan lingkungan, ruang, rasa malu, dan pengekangan dari terpidana. Namun, pemidanaan juga untuk memberi pembinaan moral, intelektual, dan kesadaran hukum. Menurut majelis, seseorang harus dipandang sebagai makhluk Tuhan yang berpotensi dapat diperbaiki, dibina, dan dikembalikan kepada kehidupan bermasyarakat dan bersosial.
”Dalam teori utilitas atau kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum, suatu keputusan harus bisa menjadi instrumen koreksi bagi terdakwa serta merupakan jawaban dari keadilan responsif bagi masyarakat menuju perbaikan tatanan moral dan tatanan sosial,” papar majelis dalam salinan putusan.
Pertimbangan hukum yang dipakai majelis hakim pengadilan tinggi dalam putusan terdakwa Syahmirwan juga hampir sama dengan terdakwa Hary Prasetyo. Komposisi majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut juga sama. Terhadap terdakwa Syahmirwan, majelis hakim PT DKI Jakarta berpendapat terdakwa telah terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama. Putusan majelis hakim pengadilan tingkat pertama dinilai tepat, dapat dikuatkan dan dipertahankan, kecuali pemidanaan yang dianggap tidak sesuai dengan teori pemidanaan. Tujuan pemidanaan tidak semata-mata dilakukan untuk pembalasan, tetapi juga pembinaan moral, intelektual, dan kesadaran hukum. Setiap orang harus dipandang sebagai makhluk yang bisa dibina dan diperbaiki.
Wakil Direktur Visi Integritas Emerson Yuntho mengatakan, pengurangan hukuman terhadap empat terdakwa kasus korupsi Jiwasraya bisa dilihat sebagai langkah mundur pengadilan. Sebab, dengan nilai kerugian negara yang mencapai Rp 16 triliun, putusan pengadilan tingkat pertama banyak diapresiasi oleh masyarakat. Apalagi, Mahkamah Agung sendiri juga telah mengeluarkan pedoman pemidanaan, yaitu Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020, yang salah satunya memuat tentang parameter besaran kerugian keuangan negara.
”Ini bisa menjadi preseden buruk terhadap koruptor karena hukuman di tingkat banding justru malah mengorting putusan menjadi lebih rendah. Belum lagi nanti ada remisi, pembebasan bersyarat, dan lain-lain yang membuat hukuman tidak selama putusan hakim. Ini jauh dari rasa keadilan masyarakat,” kata Emerson.
Semenjak almarhum Artidjo Alkostar pensiun dari MA, citra pengadilan dan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi terus meredup. Apalagi, ada kajian dari ICW bahwa rata-rata tren pemidanaan koruptor kian rendah.
Menurut Emerson, semenjak almarhum Artidjo Alkostar pensiun dari MA, citra pengadilan dan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi terus meredup. Apalagi, ada kajian dari ICW bahwa rata-rata tren pemidanaan koruptor kian rendah. Bahkan, upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) disinyalir justru dimanfaatkan untuk memperoleh keringanan hukuman.
Dengan disparitas putusan di kasus Jiwasraya, komitmen pengadilan untuk memberantas korupsi akan kembali dipertanyakan. Selain melukai rasa keadilan, publik juga akan bertanya-tanya ada apa di balik pengurangan hukuman tersebut.
”Kejaksaan sebaiknya melakukan upaya kasasi terhadap putusan pengadilan tinggi yang memotong hukuman koruptor kasus Jiwasraya. Mereka juga sebaiknya memonitor supaya tidak ada lagi praktik mafia hukum di Indonesia,” kata Emerson.
Majelis hakim harus bisa menjelaskan pertimbangan dengan argumen asas keadilan dan asas kemanfaatan.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, berpendapat, pada dasarnya pengadilan tingkat banding adalah memeriksa fakta-fakta yang telah diperiksa di pengadilan tingkat pertama. Putusan majelis hakim pengadilan tinggi juga mempertimbangkan fakta-fakta pemeriksaan selama persidangan (judex factie). Oleh karena itu, majelis hakim harus bisa menjelaskan pertimbangan dengan argumen asas keadilan dan asas kemanfaatan. Di luar itu, hakim memiliki kekuasaan kehakiman, yaitu independensi dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan.
”Namun, di luar asas keadilan, kemanfaatan, dan kekuasaan kehakiman itu, bukan tidak mungkin ditembus dengan faktor-faktor lain. Ini yang harus dieksaminasi lebih lanjut, apakah putusan tersebut memenuhi rasa keadilan masyarakat atau tidak,” kata Fickar.
Dalam mengeksaminasi putusan pengadilan tinggi terhadap enam terdakwa kasus korupsi tersebut, menurut Fickar, yang harus dilihat adalah pertimbangan hukumnya. Apabila terdakwa dinyatakan terbukti melakukan korupsi bersama-sama, tetapi ada pertimbangan hukum yang berbeda, bisa dikatakan itu merupakan disparitas putusan. Apalagi, jika peran dan fungsinya dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan serupa, harus ada argumen hukum yang kuat untuk meringankan hukuman terdakwa. Jika tidak, hal itu tentu dapat mencederai rasa keadilan.