Antisipasi Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Penjabat Kepala Daerah
Pemerintah diminta imparsial, netral, transparan, dan sesuai harapan publik dalam memilih ratusan penjabat kepala daerah akibat tak adanya pilkada 2022 dan 2023. Masyarakat pun diminta mengawasi kerja para penjabat itu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak 2024 akan berimplikasi pada munculnya ratusan daerah yang diisi oleh penjabat kepala daerah. Pemerintah pusat harus mampu menjamin independensi dari para penjabat tersebut agar kualitas dan legitimasi hasil Pemilu 2024 tidak diragukan publik.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, dalam penetapan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021, Selasa (9/3/2021), Badan Legislasi DPR dan Kementerian Hukum dan HAM sepakat mencabut Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dari daftar prolegnas prioritas tahunan. Artinya, pada 2024 nanti, pelaksanaan pemilu tetap akan digelar serentak sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, dan tidak ada pilkada pada 2022 dan 2023.
Jika pilkada ditarik ke 2024, ada sekitar 270 penjabat kepala daerah yang tidak memiliki legitimasi karena tidak dipilih secara langsung oleh rakyat.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi, dalam diskusi ”Implikasi Batalnya Revisi UU Pemilu”, Sabtu (13/3/2021), mengatakan, jika pilkada ditarik ke 2024, ada sekitar 270 penjabat kepala daerah yang tidak memiliki legitimasi karena tidak dipilih secara langsung oleh rakyat. Ironisnya, mereka akan menjabat dalam waktu yang relatif panjang, yakni dua tahun.
”Mereka bukan penjabat by election, tetapi mereka penjabat by selection. Itu problem demokrasi,” ujar Burhanuddin.
Dalam diskusi virtual tersebut, hadir sejumlah narasumber, di antaranya Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Zulfikar Arse Sadikin, Ketua Departemen Politik DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nabil Ahmad Fauzi, serta Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Ferry Kurnia Rizkiyansyah.
Kehadiran para penjabat ini, menurut Burhanuddin, akan memicu masalah legitimasi pada hasil pemilihan presiden dan pemilihan legislatif 2024. Sebab, yang muncul adalah isu politik. Sebagaimana diketahui, penjabat gubernur ditentukan Presiden dan Mendagri.
Jika daerah-daerah diisi penjabat yang memiliki preferensi partisan bagi kelompok tertentu, ini akan memunculkan kekhawatiran dan persepsi yang buruk di publik.
Apalagi, lanjut Burhanuddin, pada 2022 dan 2023, kepala daerah yang habis masa jabatannya pun di wilayah-wilayah yang tergolong populasinya besar, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Jika daerah-daerah diisi oleh penjabat yang memiliki preferensi partisan bagi kelompok tertentu, ini akan memunculkan kekhawatiran dan persepsi yang buruk di publik.
”Jadi, kalau ada persepsi penjabat itu menguntungkan pihak-pihak tertentu, munculnya persepsi saja, itu sudah merugikan legitimasi pemilu,” kata Burhanuddin.
Sikap pemerintah yang membiarkan banyak daerah diisi penjabat ini pun dianggap tidak konsisten. Sebab, di tengah tuntutan penundaan Pilkada 2020 kemarin, pemerintah pada akhirnya memilih pilkada tetap dilanjutkan karena khawatir daerah diisi terlalu lama oleh penjabat, bukan kepala daerah definitif.
Meski demikian, Burhanuddin menilai, yang bisa dilakukan sekarang adalah memitigasi dampak negatif akibat keserentakan pilkada pada 2024. Ia pun meminta kepada Presiden dan Mendagri agar proses pemilihan penjabat nanti harus imparsial, netral, transparan, dan sesuai dengan harapan publik.
”Setelah mereka ditunjuk pun, masyarakat dan civil society, termasuk media, harus mengawasi, jangan sampai terjadi abuse of power, seperti yang kita khawatirkan,” tutur Burhanuddin.
Yang bisa dilakukan sekarang adalah memitigasi dampak negatif akibat keserentakan pilkada pada 2024. Ia pun meminta kepada Presiden dan Mendagri agar proses pemilihan penjabat nanti harus imparsial, netral, transparan, dan sesuai dengan harapan publik.
Nabil Ahmad Fauzi sependapat, pengangkatan penjabat selama dua tahun tidak hanya berpengaruh pada faktor legitimasi, tetapi juga jalannya pemerintahan. Ia mencontohkan, penjabat tidak memiliki legitimasi yang kuat dalam membuat kebijakan penganggaran dengan DPRD setempat.
”Ini, kan, perlu kepala daerah yang punya basis legitimasi. Sementara kalau penjabat dengan basis administrasi saja, tentu ini berbeda dimensinya,” ujar Nabil.
Sementara itu, Bahtiar menjamin, penjabat gubernur, bupati, dan wali kota juga memiliki kewenangan penuh setara dengan kepala daerah definitif. Ia mencontohkan pengalamannya saat ditunjuk sebagai penjabat Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) ketika dirinya tetap bisa menandatangani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Kepri Tahun 2021.
”Jadi, saya yakinkan, bahwa tak berkurang satu pun pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan karena penjabat itu,” ucap Bahtiar.
Bahtiar pun meminta publik tidak khawatir dengan legitimasi dari para penjabat kepala daerah. Sebab, mereka memiliki legitimasi hukum sesuai amanah Pasal 201 Ayat (10) dan Ayat (11) UU Pilkada.
Dalam penjelasan di pasal-pasal tersebut, lanjut Bahtiar, kinerja para penjabat ini selalu dievaluasi. Bahkan, jika ada pelayanan publik yang bermasalah, penjabat tersebut sangat mungkin dicopot. ”Kalau bermasalah, hari ini dilantik, besok pun bisa dicopot itu,” katanya.
Kinerja para penjabat ini selalu dievaluasi. Bahkan, jika ada pelayanan publik yang bermasalah, penjabat tersebut sangat mungkin dicopot.
Soal kekhawatiran netralitas penjabat, Bahtiar menegaskan, hal itu tidak akan terjadi. Sebab, hingga saat ini belum ada catatan yang signifikan terkait pelanggaran netralitas penjabat. Pelanggaran netralitas itu malah lebih rentan dilakukan oleh kepala daerah definitif karena mereka berasal dari partai politik.
”Jadi, yang tidak netral itu, siapa pun bisa terjadi sebenarnya. Tetapi, saya yakinkan, kalau penjabat ini, catatan kami menunjukkan, yang penjabat setahun ada beberrapa orang, yang pernah lebih dari setahun juga ada, saya kira tidak ada catatan yang menunjukkan ketidaknetralan,” kata Bahtiar.