Pembenahan Sistem Lebih Tepat Dibanding Hukuman Mati
Pembenahan sistem dan pendidikan antikorupsi lebih efektif kurangi korupsi dibandingkan dengan penerapan hukuman mati. Meski terapkan vonis mati, Indeks Persepsi Korupsi China tetap kalah dengan negara Skandinavia.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alih-alih menerapkan hukuman mati bagi koruptor, pembenahan sistem dan pendidikan antikorupsi akan lebih efektif mengurangi korupsi dalam jangka panjang. Dalam konteks penegakan hukum, paradigma menghukum pelaku perlu diganti dengan paradigma pemulihan keuangan negara secara maksimal, antara lain dengan mewujudkan segera Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.
Hal itu terungkap di dalam diskusi daring bertajuk ”Hukuman Mati untuk Koruptor: Apakah Tepat?” yang diselenggarakan Imparsial, Jumat (12/3/2021), di Jakarta. Hadir sebagai narasumber anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani; Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo; Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri; Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ahmad Taufan Damanik; dan Peneliti Imparsial Amalia Suri.
Menurut Adnan, keinginan agar hukuman mati diterapkan merupakan refleksi rasa frustrasi masyarakat atas upaya pemberantasan korupsi yang tidak berjalan efektif. China adalah salah satu negara yang sering menjadi rujukan dalam penerapan hukuman mati bagi koruptor. Namun, skor China dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2020 hanya sebesar 42 dan menduduki peringkat ke-78 dari 181 negara. Sementara negara yang dianggap bersih adalah negara dengan skor di atas 70, seperti negara-negara Skandinavia. Adapun skor Indonesia adalah 37.
Keinginan agar hukuman mati diterapkan merupakan refleksi rasa frustrasi masyarakat atas upaya pemberantasan korupsi yang tidak berjalan efektif.
Korupsi, lanjut Adnan, terjadi ketika ada kesempatan dan merupakan kejahatan yang terkalkulasi atau terencana, bukan terjadi tiba-tiba. Untuk menangani korupsi, diperlukan tiga pendekatan sekaligus, yakni penindakan, pencegahan, dan pendidikan.
”Kalau hanya penegakan hukum dalam arti sempit, korupsi tidak akan efektif sebagaimana terjadi saat ini. Yang perlu kita bangun adalah sistem antikorupsinya. Kemudian paradigma penegak hukum harus diubah bukan lagi follow the suspect, tetapi follow the money untuk pemulihan kerugian,” kata Adnan menjelaskan.
Bisa saja diterapkan
Sementara menurut Ali, KPK tidak dalam kapasitas menyatakan setuju atau tidak dengan hukuman mati bagi koruptor meski pihaknya dapat menerapkannya. Terkait dengan pemberian vonis, Mahkamah Agung saat ini telah memiliki pedoman sebagai pertimbangan hakim dalam pertimbangan vonis pidana mati, antara lain, adanya hal yang memberatkan dan meringankan.
Untuk meminimalkan korupsi, lanjut Ali, diperlukan pembangunan sistem beserta integritas manusianya. Untuk itu, strategi KPK ke depan adalah melalui pendidikan. Untuk memaksimalkan pemulihan kerugian negara, Ali berharap Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset segera disahkan.
Menurut Ahmad, Indonesia telah terikat dengan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Meski dalam kovenan tersebut terdapat pasal yang membenarkan hukuman mati, seluruh negara didorong terus untuk menghapus hukuman mati. Sementara negara di dunia yang masih menerapkan hukuman mati tidak banyak.
Kita tidak secara resmi moratorium, tetapi dua tahun terakhir ini, eksekusi hukuman mati sangat terbatas. Meski secara formal tidak pernah dikatakan, ada penundaan.
Meskipun Indonesia masih menerapkan hukuman mati, lanjut Ahmad, dalam dua tahun terakhir, pelaksanaan eksekusi hukuman mati sangat terbatas. ”Kita tidak secara resmi moratorium, tetapi dua tahun terakhir ini, eksekusi hukuman mati sangat terbatas. Meski secara formal tidak pernah dikatakan, ada penundaan,” ujar Ahmad.
Arsul lebih melihat pengaturannya dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Menurut dia, posisi pidana mati telah digeser dari pidana pokok menjadi pidana alternatif. Meskipun seseorang telah dijatuhi hukuman mati yang berkekuatan hukum tetap, dalam proses dimungkinkan untuk diubah menjadi pidana seumur hidup atau penjara 20 tahun. Pergeseran itu merupakan jalan tengah antara pihak yang menginginkan hukuman mati dan pihak yang ingin itu dipertahankan.
Adapun Amalia menyatakan, hukuman mati selama ini memiliki banyak permasalahan, seperti pengabaian hak terpidana, data kebijakan tidak jelas, proses pelaksanaan eksekusi yang tidak transparan, praktik hukuman mati yang diskriminatif, hingga fenomena deret kematian. Indonesia dapat meniru cara negara-negara yang digolongkan bersih, tetapi tidak untuk hukuman mati.