Kehadiran Moeldoko di pusaran konflik Demokrat memunculkan asumsi adanya intervensi kekuasaan dalam konflik. Sejauh mana Presiden Joko Widodo mengetahui tindak tanduk bawahannya itu?
Oleh
NINA SUSILO
·5 menit baca
Konflik di Partai Demokrat masih membara. Kedua kubu yang berkonflik, kubu di bawah kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono dan kubu Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang terpilih sebagai ketua umum dalam Kongres Luar Biasa Demokrat, beberapa waktu lalu, saling klaim diri paling benar. Masing-masing juga saling klaim paling sah.
Masih panasnya konflik ini setidaknya terlihat pula dalam tayangan Satu Meja The Forum bertajuk ”Demokrat Terbelah, Istana di Mana?” di Kompas TV, Rabu (10/3/2021) malam. Dalam acara yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo ini hadir, antara lain, Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng dan juru bicara Partai Demokrat Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, Muhammad Rahmad.
Selain keduanya, hadir pula Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi, dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Donny Gahral Adian.
Rahmad menuding KLB terjadi karena pada 2020 terdapat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Demokrat yang muncul di luar kongres. Dalam AD/ART ini, kewenangan majelis tinggi dan ketua umum dinilai terlalu besar, ditambah lagi kepengurusan hanya dikuasai oleh satu keluarga.
Ketua majelis tinggi dijabat Susilo Bambang Yudhoyono, sedangkan putranya, Agus Harimurti Yudhoyono, menjabat wakil ketua majelis tinggi selain sebagai Ketua Umum Demokrat. Adapun putra Susilo Bambang Yudhoyono yang lain, yaitu Edhie Baskoro Yudhoyono, didapuk menjabat Wakil Ketua Umum Demokrat.
Masalah lain, menurut Rahmad, antara lain adanya pungutan yang harus dibayar pengurus daerah dan laporan pertanggungjawaban keuangan yang dinilai tak jelas.
Berangkat dari hal itu, dalam KLB Demokrat, 5 Maret lalu, AD/ART yang disebut Rahmad sebagai antidemokrasi dibatalkan. AD/ART Demokrat tahun 2005 digunakan kembali dan majelis tinggi dibubarkan.
Namun, Andi Mallarangeng membantah dan menyebut Rahmad tak paham dengan kemunculan AD/ART 2020. Sebab, menurut dia, Rahmad tak hadir dalam Kongres V Demokrat 2020 yang melahirkan AD/ART 2020. Rahmad pun disebutnya tidak pernah muncul dalam kegiatan partai delapan tahun terakhir.
AD/ART 2020, yang telah disahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), juga disebut Andi tak bisa begitu saja diubah. Perubahan AD/ART harus melalui kongres yang sah. Sementara KLB Demokrat di Deli Serdang dinilainya tidak sah karena tak mengacu pada AD/ART 2020. Salah satunya adalah syarat KLB dihadiri minimal dua pertiga ketua DPD Demokrat dan separuh ketua DPC Demokrat. Selain itu, harus ada persetujuan dari ketua majelis tinggi.
”Ada enggak ketua DPD dan DPC yang hadir? Hanya 32-34 DPC dan satu ketua DPD, makanya mereka kesulitan membuat berkas,” kata Andi.
Konflik masa lalu
Burhanuddin Muhtadi melihat konflik di Partai Demokrat sebagai kombinasi dari masalah di masa lalu, masa kini, dan tarikan kepentingan
masa depan yang kemudian berkelindan dengan persoalan etika.
Kongres Demokrat 2010 di Bandung, misalnya, menghasilkan faksi-faksi, yakni kubu Anas Urbaningrum, kubu Andi Mallarangeng, dan Marzuki Alie. Fragmentasi ini tak tuntas.
Saat ini muncul pula kekecewaan terhadap Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Ketua Umum Demokrat. Ada pula tarikan kepentingan untuk mendorong Partai Demokrat bisa bersaing kembali dalam Pemilu 2024.
”Persoalan itu dibawa ke KLB Deli Serdang, tetapi antara persoalan yang menjadi dasar dan kesimpulan untuk menunjuk Pak Moeldoko sebagai ketua umum itu tidak klop, tidak nyambung,” kata Burhanuddin.
Selain itu, masalah etika muncul ketika Moeldoko sebagai pejabat tinggi negara terpilih dalam KLB. Apalagi bukan sembarang pejabat tinggi negara, Moeldoko bisa dibilang berada di lingkar utama kekuasaan. Ini yang lantas memunculkan asumsi adanya intervensi kekuasaan dalam konflik Demokrat. ”Jadi, sulit orang mengabaikan (asumsi) munculnya intervensi kekuasaan,” ujar Burhanuddin.
Kekhawatiran bahwa siapa yang dekat dengan kekuasaan akan dimenangkan di Kemenkumham juga dinilainya lumrah. Pasalnya, hal serupa terlihat dalam konflik-konflik kepengurusan partai politik (parpol) sebelumnya. Ini seperti Aburizal Bakrie versus Agung Laksono dalam konflik di Partai Golkar, Djan Faridz versus M Romahurmuziy di PPP, dan terbaru adalah Hutomo Mandala Putra versus Muchdi Pr di Partai Berkarya.
Problem internal
Konflik di Demokrat dan parpol lain selama ini, menurut Burhanuddin, juga disebabkan kelembagaan parpol yang masih lemah. ”Parpol sebagai institusi demokrasi dalam banyak hal justru sering kali gagal mendemokratiskan dirinya sendiri,” ujarnya.
Belum lagi ada tarikan kepentingan para elite untuk mendapatkan kekuasaan.
Selain itu, yang baru dalam kasus Demokrat, keterlibatan orang luar di konflik parpol karena biasanya yang berkonflik adalah kader-kader parpol sendiri. Moeldoko bukanlah kader Demokrat. Ia justru tercatat pernah menjadi kader Partai Hanura.
”Ini relatif baru dalam tradisi parpol kita, dualisme ini melibatkan pihak luar meski hulunya persoalan di internal Demokrat,” ujarnya.
Donny Gahral Adian mengatakan, sejauh ini Moeldoko bekerja di KSP seperti biasa. Kerja di tataran internal KSP juga tidak terpengaruh. ”Kami bisa memisahkan ini persoalan beliau sebagai warga negara yang punya hak politik,” ujar Donny.
Lantas, sejauh mana Presiden Joko Widodo mengetahui keterlibatan Moeldoko dalam konflik di Demokrat?
Mahfud MD mengatakan, Moeldoko menghadiri KLB tanpa sepengetahuan Presiden. Presiden, yang sehari sebelum KLB meresmikan Waduk Sindangheula di Banten dan didampingi Moeldoko, tidak mendapatkan laporan mengenai hal itu.
Moeldoko pun, menurut dia, mengatakan tidak menceritakannya kepada Presiden. ”Saya tidak ditanya, untuk apa cerita,” ujar Mahfud menirukan ucapan Moeldoko.
Mahfud juga meyakinkan, konflik kepentingan saat pemerintah menilai sah atau tidaknya kepengurusan hasil KLB tidak akan terjadi. Dalam era keterbukaan saat ini, aturan tidak bisa dipermainkan.
Pemerintah menegaskan akan berpedoman pada Undang-Undang Parpol, Peraturan Menkumham Nomor 34 Tahun 2017, dan AD/ART Demokrat. Sejauh ini, katanya, Ketum Demokrat yang terdaftar masih Agus Harimurti Yudhoyono dan AD/ART yang berlaku adalah yang disahkan pemerintah pada 18 Mei 2020.