DPR-KPU Akan Bahas Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024
DPR dan KPU segera membahas pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak 2024. Mengingat beratnya beban penyelenggaraan pemilihan, KPU meminta agar tahapan pemilu dimulai 30 bulan sebelum hari pemungutan suara.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat mengagendakan rapat kerja dengan Komisi Pemilihan Umum pada Senin (15/3/2021) mendatang. Rapat tersebut diharapkan mampu mengidentifikasi permasalahan sekaligus mencari solusi teknis penyelenggaraan pemilu dan pilkada serentak 2024.
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (12/3/2021), mengatakan, dalam rapat kerja besok, Komisi II DPR ingin mendapatkan gambaran yang utuh mengenai tahapan yang pernah dijalankan pada Pemilu 2019. Dari pemaparan itu, seluruh pihak akan bersama-sama mengkritisi hal-hal apa saja yang perlu dijadikan pembelajaran untuk penyelenggaraan Pemilu serentak 2024.
”Ketika kita tidak punya undang-undang yang baru, kita menggunakan undang-undang yang lama, dengan waktu yang panjang ini, kita mau ngapain untuk mempersiapkan itu. Jadi, walaupun ada tahapan yang berimpitan pada Pemilu 2024 nanti, dipastikanlah, ya, antara pemilu serentak dan pilkada itu tidak menimbulkan beban kerja yang semakin banyak,” ujar Zulfikar.
Permintaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar diberi waktu persiapan selama 30 bulan jelang Pemilu 2024 sangat bisa dimengerti.
Permintaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar diberi waktu persiapan selama 30 bulan jelang Pemilu 2024, menurut Zulfikar, sangat bisa dimengerti. Ini demi meminimalkan atau mengantisipasi sejak dini keadaan yang pernah dialami pada Pemilu 2019.
”Kan, bahasanya di undang-undang itu paling lambat, jadi bisa saja persiapannya lebih cepat. Toh, di 2022 dan 2023 tidak ada pilkada, lantas penyelenggara, kan, tidak bisa diam saja,” tutur Zulfikar.
Menurut Zulfikar, ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan. Pertama, simulasi waktu. Simulasi waktu ini harus bisa diperhitungkan dengan matang agar tak membebani penyelenggara. Setelah itu, segera dibuat peraturan KPU (PKPU) tahapan, program, dan jadwal.
Kedua, KPU harus bisa memastikan PKPU apa saja yang dibutuhkan agar pelaksanaan Pemilu 2024 lancar. Penyusunan PKPU-PKPU tersebut perlu melihat pengalaman Pemilu 2019.
Misal, PKPU mengenai data pemilih yang sangat penting supaya tidak terjadi lagi perbedaan data antara KPU dan Kemendagri. Lalu, PKPU tentang penggunaan teknologi informasi dalam semua tahapan karena saat ini penggunaan teknologi yang diakomodasi di UU Pilkada hanya sebatas pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara.
Simulasi waktu penyelenggaraan pemilu serentak 2024 harus bisa diperhitungkan dengan matang agar tak membebani penyelenggara.
Contoh lain lagi, PKPU tentang pemilihan awal (early voting). Sebenarnya, pemilihan awal, seperti melalui pos, tidak diatur dalam undang-undang. Namun, hal itu patut pula didiskusikan agar diatur di PKPU. Sebab, tujuannya sangat baik, yakni demi menyederhanakan proses penyelenggaraan pemilu dan meminimalkan hilangnya hak pilih.
”Pembahasan PKPU secara bersama-sama ini supaya ada pemahaman yang sama antara Bawaslu dan KPU. Jadi, sepakat bukan merupakan pelanggaran undang-undang sehingga tak ada asal nanti di tengah jalan malah membatalkan (PKPU),” tutur Zulfikar.
Anggota KPU, Viryan Aziz, mengatakan, KPU dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR akan memaparkan simulasi pelaksanaan pemilu serentak 2024. ”Kami juga akan menunjukkan urgensi agar tahapan pemilu dimulai sejak dini,” katanya.
Viryan mengatakan, persiapan sejak dini perlu kesepakatan bersama dengan pemerintah dan DPR. Bila sudah ada kesepakatan, KPU dapat langsung menyusun PKPU tentang tahapan, program, dan jadwal Pemilu 2024.
”Guna meningkatkan kualitas Pemilu 2024, sebaiknya tahapan pemilu dimulai sekitar 30 bulan dari waktu pemungutan suara. Menambah waktu tahapan pemilu 10 bulan lebih awal menjadi solusi agar persiapan pemilu selesai dengan matang baru dilaksanakan, tidak lagi membuat perencanaan sambil melaksanakan (planning by doing),” katanya.
Guna meningkatkan kualitas Pemilu 2024, sebaiknya tahapan pemilu dimulai sekitar 30 bulan dari waktu pemungutan suara. (Viryan Azis)
Jika melihat pelaksanaan Pemilu 2019, salah satu keterbatasan yang dihadapi adalah pendeknya waktu merencanakan tahapan, program, dan jadwal secara detail dan matang. Saat itu, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diundangkan pada 16 Agustus 2017 atau hanya berselisih sehari sebelum tahapan Pemilu 2019 dimulai.
”Perencanaan tahapan pemilu yang sangat terbatas waktunya atau bahkan tidak rasional secara manajerial hendaknya tidak diteruskan,” ujar Viryan.
Menurut dia, persiapan yang pendek atau kurang dari 30 bulan dikhawatirkan akan menyebabkan masalah-masalah pada Pemilu 2019 bisa terulang. Bahkan, bisa lebih kompleks karena pemilu dan pilkada dilakukan serentak di tahun yang sama, berbeda dengan Pemilu 2019 yang tidak ada pilkada.
Adapun masalah-masalah yang perlu diantisipasi dari evaluasi pelaksanaan Pemilu 2019, antara lain meninggalnya 722 petugas pemilu, penggunaan teknologi informasi, penyediaan anggaran, serta penyusunan regulasi teknis.
Persiapan yang pendek atau kurang dari 30 bulan dikhawatirkan akan menyebabkan masalah-masalah pada Pemilu 2019 bisa terulang.
Merampas hak rakyat
Sementara itu, anggota DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, menilai, pemerintah dan koalisi pemerintah di DPR telah merampas hak demokratasi rakyat apabila penyelenggaraan pemilu masih serentak pada 2024. Sebab, hal tersebut akan memunculkan 272 penjabat (pj) kepala daerah akibat tidak adanya pilkada pada 2022 dan 2023.
”Pemerintahan ini merampas hak demokratis rakyat untuk menentukan kepala daerah,” kata Mardani.
Menurut Mardani, pemerintah dan koalisinya di DPR tidak mendengarkan masukan KPU dan Bawaslu yang menilai pemilu serentak pada 2024 dapat membebani penyelenggara. Hasil evaluasi di Komisi II DPR dan pengalaman pemilu serentak 2019 seharusnya bisa menjadi pembelajaran bagi seluruh pihak untuk memperbaiki sistem politik.
Ia mengatakan, Fraksi PKS DPR sampai akhir akan memperjuangkan revisi UU Pemilu masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. ”Kita harus semakin menunjukkan kedewasaan kita sebagai bangsa. Memperbaiki sistem politik dan pemilu seharusnya jadi prioritas,” katanya.