DPR Mendapat Catatan Merah Terkait Perencanaan Legislasi
Perencanaan legislasi melalui penetapan Prolegnas Prioritas 2021 dinilai sejak awal bermasalah. Seharusnya prolegnas prioritas tahunan ditetapkan di akhir tahun sebelumnya atau paling lambat di awal tahun berjalan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perencanaan dan proyeksi capaian dalam bidang legislasi dinilai sebagai catatan merah bagi Dewan Perwakilan Rakyat. Hingga pertengahan Maret 2021, prolegnas prioritas tahunan bahkan belum disahkan. DPR dan pemerintah juga harus mengulang rapat kerja dalam penetapan prolegnas prioritas karena ada inkonsistensi sikap menyangkut Rancangan Undang-Undang Pemilu.
Rapat kerja (raker) antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Selasa (9/3/2021), telah menyepakati RUU Pemilu dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Raker juga memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diusulkan pemerintah sebagai gantinya. Dengan demikian, tetap ada 33 RUU Prolegnas Prioritas 2021.
Kendati telah disepakati antara pemerintah dan DPR, prolegnas prioritas tahunan itu belum bisa ditindaklanjuti kecuali telah ada pengesahan di rapat paripurna DPR. Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar, Kamis (11/3/2021), di Jakarta, mengatakan, rapat paripurna itu baru dapat diagendakan ketika ada kesepakatan di rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
Sesuai dengan tata tertib DPR, rapat Bamus DPR diadakan hari Selasa atau Rabu. Artinya, antara dua hari itu, atau Kamis, pekan depan, paripurna terdekat dapat diadakan untuk mengesahkan prolegnas prioritas tahunan. Umumnya, paripurna paling cepat diadakan sehari setelah rapat Bamus, atau dalam kondisi tertentu dapat dilakukan pada hari yang sama dengan rapat Bamus.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Agil Oktaryal, mengatakan, perencanaan legislasi melalui penetapan prolegnas prioritas tahunan sejak awal bermasalah. Seharusnya prolegnas prioritas tahunan itu ditetapkan di akhir tahun sebelumnya atau paling lambat di awal tahun berjalan. Namun, karena ada tarik-menarik kepentingan terkait dengan RUU tertentu, prolegnas prioritas tahunan itu tidak dapat segera disahkan.
”Waktu yang tersisa, yakni selama sembilan bulan, pun kecil kemungkinan dapat memenuhi harapan publik atas kebutuhan hukum yang mendesak, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan RUU lainnya,” ucap Agil.
Sebab, menurut dia, biasanya DPR hanya mampu menyelesaikan paling banyak 10 UU setiap tahunnya. Itu pun biasanya revisi UU, atau tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, bukan UU yang betul-betul baru. Dari 33 RUU yang masuk prolegnas prioritas tahunan, menurut Agil, belum kelihatan juga arah politik hukum nasional yang ingin dituju.
Dengan perencanaan prolegnas yang buruk, dan eksekusi pembahasan yang minor, proyeksi pemenuhan target 33 RUU sepanjang 2021 itu akan sulit dilakukan oleh DPR dan pemerintah.
”Saya tidak yakin semua RUU prioritas itu selesai semua, apalagi RUU yang menjadi perhatian atau tuntutan publik. Ini akan menjadi catatan merah bagi DPR karena beberapa RUU yang menjadi kebutuhan publik justru tidak masuk dalam prolegnas prioritas tahunan, seperti RUU Pemilu dan RUU ITE. Sekalipun keduanya masuk sebagai RUU jangka panjang, hal itu tidak mencerminkan kehendak publik,” paparnya.
Sebelumnya, RUU Pemilu telah disepakati masuk ke prolegnas prioritas tahunan, tetapi kemudian fraksi-fraksi di DPR berubah haluan, demikian juga pemerintah yang tidak menghendaki UU itu direvisi. Akhirnya pemerintah dan DPR harus melakukan raker ulang untuk membahas Prolegnas Prioritas 2021.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, jika ukuran yang dilekatkan kepada DPR hanya kuantitas, boleh jadi DPR tahun ini mungkin tidak produktif karena tidak semua RUU yang dimasukkan ke dalam prolegnas prioritas tahunan akan bisa dituntaskan. Namun, jika melihat secara kualitatif, DPR disebutnya telah menghadirkan arah politik hukum yang jelas.
”Dari 33 RUU itu, semuanya mewakili kepentingan pemerintah, DPR, dan publik secara umum. Kita usulkan RUU Perlindungan Pembantu Rumah Tangga, RUU Larangan Minuman Beralkohol, dan RUU Masyarakat Hukum Adat, yang semuanya berorientasi pada kepentingan publik. Kalau akhirnya tidak bisa selesai pada satu tahun, dan kami dinilai tidak produktif, ya, silakan saja karena sudut pandangnya kuantitas. Tetapi, harus dilihat juga substansi RUU yang kami bahas,” katanya.
Waktu sembilan bulan yang ada, menurut Supratman, akan dioptimalkan DPR. Setiap komisi atau alat kelengkapan dewan (AKD) yang mengajukan usulan akan berusaha menuntaskan RUU usulannya. Ada 11 komisi di DPR yang akan bekerja untuk membahas 33 RUU itu, termasuk Baleg yang juga melakukan pembahasan. Dari 33 RUU itu, semuanya telah ada draf dan naskah akademisnya sehingga ketika masuk ke dalam prolegnas prioritas tidak mulai dari nol lagi.
”Ada yang sudah ada surpres (surat presiden), masuk tahapan harmonisasi di Baleg, dan ada yang dalam tahap pembahasan di panja. Jadi, kalau dibilang waktu sembilan bulan itu sudah mepet untuk memenuhi target legislasi, ya, tidak juga. Kami tidak menargetkan harus selesai berapa UU, tetapi kami berharap yang ada di daftar prolegnas itu dapat dituntaskan,” ujarnya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, mengatakan, dengan waktu yang ada, DPR harus menggenjot pembahasan legislasi bersama pemerintah. Praktis dengan memperhitungkan masa reses DPR adalah 30 hari setiap kali masa sidang, maka dari sembilan bulan tersisa akan ada empat bulan masa reses dan empat kali masa sidang.
”Terkadang masa resesnya lebih lama dari masa sidangnya. Padahal, pandemi ini mestinya sulit melakukan reses secara maksimal. Mestinya waktu reses bisa dimaksimalkan untuk menggenjot legislasi yang jadi prioritas,” ujarnya.