Kesederhanaan Hidup dan Cara Artidjo Menjaga Integritas Penegak Hukum
Etika dan moral yang dipegang teguh oleh mantan hakim agung Artidjo Alkostar bisa diseminasikan secara terus-menerus kepada hakim-hakim muda. Standar moral itu bisa menjadi sebuah sistem perekrutan calon hakim agung.
Kepergian mantan hakim agung Artidjo Alkostar meninggalkan begitu banyak keteladanan bagi anak bangsa. Pria sederhana dari Situbondo itu telah meletakkan standar moral dan integritas yang tinggi bagi penerusnya. Di tengah tantangan krisis integritas aparat penegak hukum, sosok Artidjo menjadi teladan yang ideal.
Artidjo Alkostar meninggal dunia pada Minggu, 28 Februari 2021. Ia telah lama mengidap penyakit jantung dan paru-paru. Namun, bagi sahabat, kolega, dan pengagumnya, kepergiannya terasa begitu mengagetkan. Sebab, dua hari sebelum meninggal, Artidjo diketahui masih ”ngantor” di Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jabatan terakhir yang dia emban setelah pensiun dari hakim agung.
Banyak yang menilai Artidjo Alkostar adalah sosok ideal hakim yang langka di Indonesia.
Para sahabatnya pun terus mengenang kebaikan Artidjo. Banyak yang menilai Artidjo adalah sosok ideal hakim yang langka di Indonesia. Artidjo juga dosen yang menguasai teori hukum dan berpengalaman sebagai aktivis mahasiswa ataupun pejuang hak asasi manusia (HAM) di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Tak heran jika saat menjadi advokat publik pun, dokumen pembelaan atau pleidoi disusun dengan argumen hukum yang kuat.
Sahabatnya, Suparman Marzuki, yang pernah menjadi Ketua Komisi Yudisial (2013-2015), mengatakan, Artidjo sosok yang tekun membaca. Dia juga menyukai karya sastra. Tak heran, saat menjadi advokat LBH Yogyakarta, dia kerap mengutip filsuf dan sastrawan asal Pakistan, Muhammad Iqbal. Dia juga kerap mengutip ayat-ayat Al Quran. Ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang Muslim yang taat.
”Saya mengenal Artidjo sejak 1981. Saat itu, kami sama-sama menjadi pengajar di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Dia adalah pejuang hak asasi manusia yang sangat kuat. Sebab, sejak mahasiswa sudah menjadi aktivis, kemudian di UII juga sempat mendirikan Pusat Studi Hak Asasi Manusia,” kata Suparman.
Direktur LBH Yogyakarta (1991-2001) Budi Santoso dulu kerap bersama-sama dengan Artidjo bersidang dalam perkara yang ditangani oleh LBH Yogyakarta. Budi kerap mendampingi Artidjo saat menjadi advokat dalam suatu perkara di pengadilan. Saat itulah, dia mengerti bahwa Artidjo sosok yang tidak berkompromi dengan aparat penegak hukum lain.
Artidjo selalu menjaga jarak dengan pengacara lain dan hakim. Di sisi lain, pengacara lain justru malah terlihat begitu akrab dengan hakim. Saat bertemu di pengadilan, pengacara bisa cipika-cipiki, bahkan membicarakan olahraga tenis bersama. Fenomena itu juga sempat mengagetkan Budi.
”Saya agak terkesiap juga waktu itu. Kok, bisa, antara pengacara dan hakim bertemu saling cipika-cipiki dan terlihat akrab sekali. Itu kalau sampai terlihat oleh klien, apakah tidak menjadi masalah?” terang Budi.
Pak Artidjo sosok yang tidak berkompromi dengan pihak mana pun, termasuk aparat penegak hukum. Beliau memang orangnya terkesan sangat hitam-putih. (Budi Santoso)
Namun, hal berbeda justru diterapkan oleh Artidjo. Saat tiba di pengadilan, dia tidak pernah mau duduk di ruangan yang disediakan untuk pengacara. Dia justru memilih untuk menunggu di luar, misalnya di bawah pohon, sembari membaca koran atau majalah. Kemudian, saat persidangan hendak dimulai, panitera akan memanggil mereka untuk masuk ke ruangan sidang.
”Dari situ saya tahu bahwa Pak Artidjo adalah orang yang tidak berkompromi dengan pihak mana pun, termasuk aparat penegak hukum. Beliau memang orangnya terkesan sangat hitam-putih,” kata Budi.
Aktivis perempuan Nursyahbani Katjasungkana mengungkapkan, saat menjadi direktur nonlitigasi LBH Yogyakarta, Artidjo adalah sosok yang selalu memiliki argumen hukum yang kuat. Nursyahbani juga mengatakan, Artidjo sangat cocok sebagai hakim agung. Dia adalah orang yang tekun membaca, menulis, dan dibekali pengalaman memperjuangkan hak asasi manusia.
Dengan demikian, tak mengherankan jika dalam putusannya, pertimbangan hukum yang dikemukakan selalu intens. Artidjo bukan hanya hakim yang menegakkan hukum, tetapi juga keadilan. Komitmennya dalam memberantas korupsi sebagai kejahatan luar biasa sangat tinggi.
”Dalam kasus cessie Bank Bali yang ditangani Mahkamah Agung, ada empat hakim agung yang membebaskan terdakwa Joko Tjandra saat itu. Namun, saat itu Mas Artidjo berpendapat berbeda (dissenting opinion). Sekarang, bisa kita lihat dalam perkembangannya, Joko Tjandra kembali menghebohkan publik dalam skandal mafia hukum dan peradilan,” kata Nursyahbani.
Artidjo bukan hanya hakim yang menegakkan hukum, tetapi juga keadilan. Komitmennya dalam memberantas korupsi sebagai kejahatan luar biasa sangat tinggi.
Suparman menceritakan, saat menjabat sebagai anggota ataupun Ketua Komisi Yudisial, dia kerap bersurat kepada Artidjo. Total sekitar 10 surat klarifikasi dan peringatan yang dikirimnya. Surat itu selalu dijawab dengan panjang dan detail. Suatu ketika, Suparman pernah mendapatkan komplain dari warga karena putusan Mahkamah Agung.
Saat itu, MA mengoreksi putusan pengadilan di bawahnya. Seorang saksi yang namanya selalu disebut-sebut dalam suatu perkara, tidak pernah diperiksa oleh penegak hukum. Kemudian, keterangan tersebut dijadikan petunjuk oleh MA untuk memidana saksi tersebut. Dia kemudian dipidana empat tahun penjara.
Saat diklarifikasi oleh KY, Artidjo dengan tegas mengatakan bahwa dia tidak percaya dengan pengadilan di bawah MA. Dia mengatakan bahwa dalam memutus perkara tersebut, dia berkeyakinan penuh dan akan mempertanggungjawabkannya.
”Satu kalimat yang saya ingat sampai sekarang adalah Artidjo mengatakan bahwa dirinya bukan hanya sekadar speaker of law. Dia juga adalah speaker of justice,” kata Suparman.
Ketua Umum Peradi Luhut MP Pangaribuan mengatakan, Artidjo adalah sosok hakim yang berintegritas. Saat menjabat sebagai hakim agung, dia sengaja menempel tulisan pengumuman di depan ruang kerjanya. Pengumuman itu bertuliskan siapa saja pihak yang sedang beperkara di MA tidak boleh masuk ke ruang kerjanya. Cara itu dilakukan agar pihak-pihak yang beperkara tidak datang menemui dan memengaruhinya saat sedang menangani perkara.
Menjadi standar moral
Prinsip kesederhanaan hidup dengan cara berpikir mulia itu seharusnya bisa dicontoh oleh calon-calon hakim sekarang. Luhut berharap ada semacam standar kompetensi yang dibuat oleh KY untuk memastikan disiplin dan etika yang dipegang oleh Artidjo bisa diimplementasikan menjadi sebuah sistem. Jika hal itu bisa diterapkan, Indonesia tak perlu berharap sosok Artidjo dilahirkan kembali. Hakim dengan integritas yang sama bisa dibentuk dengan sistem yang ada.
Prinsip kesederhanaan hidup dengan cara berpikir mulia itu seharusnya bisa dicontoh oleh calon-calon hakim sekarang.
Luhut memberikan contoh, saat melakukan seleksi calon hakim agung, KY akan melakukan penelusuran rekam jejak dan harta kekayaan. Dari situ, bisa ditelusuri bagaimana gaya hidup calon hakim agung tersebut. Gaya hidup tersebut bisa disesuaikan dengan kemampuan gaji yang didapatkan. Misalnya, ketika calon hakim itu memiliki hobi olahraga mahal bermain golf, seberapa kemampuan gaji dan finansialnya untuk membiayai hobinya tersebut.
Sementara itu, menurut Suparman, saat awal menjabat sebagai hakim agung, Artidjo mengontrak di sebuah rumah sederhana di Kwitang, Jakarta Pusat. Artidjo pernah beberapa tahun tidak mendapatkan rumah dan mobil dinas sehingga saat pergi ke kantor, dia harus mengendarai bajaj. Setelah memiliki tabungan yang cukup, dia membeli sebuah mobil kecil berwarna hijau.
Namun, hal itu tidak mengurangi profesionalitas dan melemahkan integritasnya sebagai penegak hukum. Menurut Luhut, Artidjo justru telah memiliki syarat kejujuran, kesederhanaan, dan integritas sejak sebelum menjadi pejabat publik. Gaya hidupnya tidak lebih besar daripada gaji yang dia peroleh dari negara.
”Barangkali, etika dan moral yang dipegang teguh oleh Artidjo ini bisa diseminasikan terus-menerus. Atau barangkali bisa menjadi sebuah sistem perekrutan calon hakim agung sehingga Indonesia bisa memiliki lebih banyak hakim berkualitas dan berintegritas,” kata Luhut.
Begitulah sosok Artidjo di mata sahabat, kolega, dan pengagumnya. Sosok yang sederhana, menjaga jarak, dan memegang teguh etika moral untuk menjaga integritasnya sebagai penegak hukum. Kepergiannya meninggalkan harapan kelak akan ada lebih banyak hakim lain yang mengikuti sikapnya, semoga….