JAKARTA, KOMPAS — Tim Kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE mengundang masyarakat sipil, aktivis, dan praktisi media sosial untuk dimintai masukan terkait wacana revisi UU tersebut. Masyarakat sipil mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera mencabut sembilan pasal karet yang ada di UU ITE.
Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo, dalam keterangan resmi, Selasa (9/3/2021), mengatakan, tim kembali menghimpun data dan masukan dari berbagai pihak.
Pekan lalu, tim telah mengundang korban dan pelapor UU ITE. Saat ini, tim mengundang perwakilan masyarakat sipil yang aktif bergerak mengadvokasi masalah hukum di dunia digital. Mereka yang diundang dan hadir, antara lain, Direktur Eksekutif Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (Safenet) Damar Juniarto, Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Anita Wahid, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu, Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani, serta pegiat media sosial Deddy Corbuzier dan Ferdinand Hutahean.
”Pada prinsipnya, tim bersikap bahwa ruang digital harus tetap dijaga supaya sehat, beretika, dan produktif, tetapi tetap berkeadilan. Harus ada edukasi terhadap pengguna ruang digital, dan apabila ada masalah terhadap profesi wartawan lebih tepat diterapkan UU Pers, bukan UU ITE,” kata Sugeng.
Baca juga: Meretas Jerat UU ITE pada Kebebasan Pers
Sugeng menambahkan, tim masih terus bekerja untuk mendengarkan dan menggali masukan dari sejumlah pihak.
Sesuai perintah dari Menko Polhukam Mahfud MD, tim yang terdiri dari tim penyusun panduan atau pedoman pelaksanaan dan revisi UU ITE ini diberi tenggat dua bulan untuk menyelesaikan tugasnya. Tim ditargetkan akan menyerahkan laporannya pada 22 Mei mendatang. Tim penyusun pedoman pelaksanaan UU ITE diketuai Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Adapun tim kajian revisi UU ITE ini diketuai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
”Khususnya untuk tim subdua itu mengkaji dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah apakah perlu atau tidak dilakukan revisi UU ITE,” ujar Sugeng.
Direktur ICJR Erasmus Napitupulu yang hadir dalam rapat dengar pendapat itu mengatakan, koalisi masyarakat sipil mendesak Presiden untuk segera mencabut sembilan pasal karet dalam revisi UU ITE. Apalagi, pasal-pasal itu sudah ada di Kitab Undang-undang Hukum Pidana, seperti pasal penghinaan dan pencemaran nama baik. Namun, dalam UU ITE, pasal-pasal tersebut diatur secara buruk, dengan ancaman pidana yang lebih tinggi. Akibatnya, banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam penggunaan pasal UU ITE.
Pasal 27 Ayat (1) UU ITE, misalnya, memuat unsur konten yang melanggar kesusilaan. Pasal tersebut seharusnya dikembalikan kepada tujuan awal seperti diatur dalam Pasal 281 dan 282 KUHP dan atau UU Pornografi. Konten yang melanggar kesusilaan itu hanya dapat dipidana apabila dilakukan di ruang dan ditujukan untuk publik. Selama ini, Pasal 27 Ayat (1) UU ITE justru menyerang kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan. Penerapannya pun berbasis diskriminasi jender.
Kemudian, implementasi Pasal 27 Ayat (3) UU ITE juga kerap digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat di ruang digital. Pasal ini bertentangan dengan komentar umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 34 yang merekomendasikan dihapusnya pidana defamasi atau pencemaran nama baik. Penerapan pasal defamasi hanya diperbolehkan untuk kasus paling serius dengan ancaman bukan pidana penjara.
Pasal penghinaan dengan ancaman hukuman pidana pun dinilai tak lagi relevan. Aparat seharusnya mengarahkan penghinaan ke ranah perdata yang telah diakomodasi dalam pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selain itu, koalisi juga menyoroti tentang aturan penyebaran informasi yang menimbulkan penyebaran kebencian berbasis SARA sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (2) UU ITE. Pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tindak pidana propaganda kebencian. Pasal ini justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah. Pasal juga kerap digunakan untuk membungkam pengkritik presiden. Padahal, Mahkamah Konstitusi telah menghapus pasal penghinaan terhadap presiden karena dianggap inkonstitusional.
”Laporan dari Safenet, sejak 2016-Februari 2020, penghukuman dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE mencapai 96,8 persen dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88 persen. Jurnalis, aktivis, dan warga kritis adalah kelompok yang paling rentan dikriminalisasi dengan pasal-pasal karet tersebut. Ini dikhawatirkan semakin membungkam kebebasan berekspresi,” kata Erasmus.
Erasmus pun mendorong pemerintah dan DPR untuk mencabut semua pasal karet yang kerap menjadi alat kriminalisasi dan membungkam pendapat serta ekspresi masyarakat. Pemerintah dan DPR juga diminta untuk merevisi ketentuan mengenai kewenangan eksekutif yang terlalu besar untuk melakukan pemutusan akses elektronik yang diatur di UU ITE.
Baca juga: Kebutuhan Revisi UU ITE Tak Sekadar Masalah Pemidanaan
Pemerintah dan DPR diminta untuk mengevaluasi secara menyeluruh implementasi UU ITE oleh aparat penegak hukum, serta mendorong aparat untuk memiliki pemahaman dan perspektif hak asasi manusia (HAM) dalam menangani perkara UU ITE.