RUU Pemilu, di antara Pragmatisme dan Kebutuhan Politik
Hampir dapat dipastikan RUU Pemilu urung dibahas karena akan ditarik dari Prolegnas Prioritas 2021. Hal ini dinilai menandakan pragmatisme politik lebih dominan ketimbang ikhtiar memperbaiki sistem politik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Suasana audiensi dan diskusi mengenai RUU Pemilihan Umum dan UU terkait di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu (19/2/2020). Sejumlah lembaga seperti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Indonesia Corruption Watch, Perludem, dan KoDe Inisiatif hadir dalam pertemuan dengan Pelaksana Tugas Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar tersebut.
Rancangan Undang-Undang Pemilu yang merupakan inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat hampir dapat dipastikan tidak akan dibahas pada tahun ini. Komisi II DPR selaku pengusung telah menarik usulan RUU Pemilu. Menurut rencana, Selasa (9/3/2021) ini, akan digelar rapat kerja Badan Legislasi DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tujuannya untuk mencabut RUU Pemilu dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.
Di tengah keputusan politik tersebut, DPR juga sebenarnya menyadari realitas politik kekinian yang memerlukan respons melalui perbaikan regulasi pemilu sebagai bagian dari upaya pembangunan sistem politik dan demokratisasi yang lebih baik. Tanpa revisi UU Pemilu, hal itu sulit dicapai.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung termasuk yang meyakini perubahan itu bagaimanapun akan dilakukan. Kalaupun perubahan tidak terjadi tahun ini, paling tidak masih ada waktu tahun depan, dua tahun lagi, atau waktu yang tidak pasti. Menurut dia, saat ini hanya momentumnya saja yang belum tepat. Sejak awal Komisi II DPR menginginkan adanya perubahan UU Pemilu.
”Kami juga telah memetakan masalah-masalah yang harus diatasi di revisi. Intinya saya ingin kita semua, walaupun dalam beberapa bulan atau tahun ini tidak lakukan penyempurnaan, tetapi perbaikan ini jangan diurungkan. Penyempurnaan sistem politik dan demokrasi harus dilakukan,” kata Doli dalam diskusi daring bertajuk ”Quo Vadis RUU Pemilu,” yang diadakan Sekretariat Jenderal DPR bersama dengan Universitas Padjadjaran, Bandung, Kamis pekan lalu.
Kompas/Wawan H Prabowo
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia membuka rapat dengar pendapat bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/6/2020).
Dalam kerangka Komisi II DPR, kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada dalam RUU Pemilu adalah bagian dari paket UU Politik. Kodifikasi itu jadi langkah pertama dari penataan sistem politik dan demokrasi melalui berbagai revisi UU. Ada delapan revisi UU di bidang politik yang ditargetkan dapat diselesaikan DPR hingga 2024.
Delapan UU itu ialah UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU Pemerintahan Daerah, UU Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah (MD2), UU DPRD, UU Pemerintah Desa, serta UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.
DPR berharap dapat menyelesaikan delapan UU paket politik itu dalam satu periode DPR (2019-2024). Dengan demikian, setelah 2024, Indonesia dapat memiliki sistem politik yang lebih baik. Revisi UU Pemilu dianggap sebagai pintu masuk memulai perbaikan sistem politik dan demokrasi di Tanah Air. Namun, pada kenyataannya pembahasan RUU Pemilu terkendala di awal.
Padahal, RUU Pemilu juga diharapkan bisa memangkas praktik buruk dalam sistem politik dan pemilu Indonesia, seperti politik uang dan politik biaya mahal. Namun, dalam realitas politik, persoalan eksistensi parpol menjadi pertimbangan pragmatis yang cukup kuat. Sebab, revisi UU Pemilu sudah pasti akan berpengaruh terhadap eksistensi parpol.
Sebagai contoh, wacana kenaikan ambang batas raihan suara untuk dapat diikutkan dalam penghitungan kursi parlemen (parliamentary threshold). Dalam RUU Pemilu, ambang batas itu dinaikkan menjadi 5 persen untuk tingkat pusat, 4 persen di tingkat provinsi, dan 3 persen untuk tingkat kabupaten/kota. Adapun dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ambang batas parlemen hanya untuk tingkat pusat, yakni 4 persen.
Selain kepentingan terkait dengan eksistensi parpol, perdebatan mengenai RUU Pemilu juga sangat dipengaruhi kepentingan pemerintah. Sebab, dalam rencana pembahasan RUU Pemilu ini, pemerintah adalah pihak yang menolak pembahasan. Alasan yang digunakan, pemerintah ingin semua pihak fokus dalam penanganan pandemi Covid-19 dan dampaknya.
Alasan ini dipertanyakan masyarakat sipil karena berkebalikan dengan logika yang digunakan pemerintah ketika menginginkan Pilkada 2020 tetap digelar. Saat itu banyak pihak menginginkan pemerintah tidak meneruskan penyelenggaraan pilkada pada tahun 2020. Alasannya pandemi yang berkecamuk. Namun, pemerintah meneruskannya dengan alasan itu adalah bagian dari agenda ketatanegaraan yang harus dilakukan. Bahkan, pilkada disebut sebagai sarana untuk menghidupkan perekonomian di daerah.
Kini, sebaliknya, dalam pembahasan RUU Pemilu, pemerintah meminta agar ditunda dengan alasan semua pihak fokus dalam mengatasi dampak pandemi. Sementara sebelumnya RUU (kini menjadi UU) Cipta Kerja dibahas dengan kilat selama enam bulan oleh DPR, juga di masa pandemi. Padahal, secara risiko, dampak sosial yang ditimbulkan akibat pembahasan RUU Cipta Kerja ketika itu lebih nyata lantaran memantik protes dari berbagai kalangan.
Jadwal pilkada
Di sisi lain, parpol berargumen agar jadwal pilkada tidak perlu dinormalisasi. Sebelumnya, dengan UU No 10/2016, pilkada serentak nasional diatur untuk dilakukan pada 2024, diselenggarakan pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Ketentuan dalam UU Pilkada itu disebut belum dilaksanakan sehingga sebaiknya dilaksanakan dulu sebelum direvisi.
Alasan yang sama diungkapkan oleh pemerintah. Sementara dalam RUU Pemilu diatur agar pilkada dilakukan pada 2022 dan 2023 sehingga tidak berbarengan dengan Pemilu 2024.
”Memang sejak awal sudah diperkirakan bahwa hal ini akan menjadi titik tarik-menarik di antara parpol. Namun, seharusnya DPR sebagai pengusul tidak begitu saja berbalik menolak suatu RUU yang sejak awal mereka inisiasi. Perubahan sikap ini menunjukkan inkonsistensi DPR,” ujar Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Peneliti Formappi, Lucius Karus
Mudiyati Rahmatunissa, Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Politik Unpad, mempersoalkan pragmatisme sikap DPR ini. Menurut dia, jika mau berbasis pertimbangan rasional, RUU Pemilu dapat diteruskan sepanjang memperhitungkan cost-benefit analysis. Namun, sayangnya, nuansa pragmatisme lebih kental daripada pertimbangan rasional perlunya UU Pemilu itu direvisi.
Ia juga mengkritik fokus parpol yang menyoroti enam isu krusial semata yang berkaitan langsung dengan kepentingan mereka. Enam isu itu adalah ambang batas pencalonan presiden, ambang batas parlemen, besaran daerah pemilihan, sistem pemilu, mekanisme konversi suara, dan keserentakan pemilu. Padahal, banyak isu lain yang juga sangat penting, seperti penataan kelembagaan penyelenggara pemilu serta akses pada pemilu bagi kelompok minoritas dan difabel.
Anggota Dewan Pengawas Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengingatkan, tidak adanya revisi UU Pemilu memberi beban berat kepada penyelenggara pemilu. Tanpa revisi UU Pemilu, sejumlah kelemahan pada Pemilu 2019 tidak dapat dievaluasi, seperti petugas yang kelelahan, hasil pemilu yang lama diketahui, tenggelamnya isu lokal, dominasi isu pilpres, dan banyaknya suara rakyat yang tak sah.
Kompas/Wawan H Prabowo
Titi Anggraini
Selain itu, menurut Titi, risiko penyelenggaraan pemilu yang kurang berkualitas juga semakin besar karena dalam tahun yang sama akan dilakukan tiga jenis pemilihan sekaligus, yaitu pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pilkada.