Pemohon Minta MK Abaikan Syarat Formil karena Anggap Status WNA Orient Problem Fundamental
Dua pemohon sengketa Pilkada Sabu Raijua, NTT meminta majelis hakim MK mengesampingkan syarat formil pengajuan permohonan. Sebab, persoalan status warga negara AS bupati terpilih Orient dinilai amat fundamental.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi mulai menyidangkan dua perkara perselisihan hasil Pilkada Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Senin (8/3/2021). Dua pemohon meminta hakim konstitusi memeriksa kebuntuan hukum terkait dengan status kewarganegaraan asing bupati terpilih Sabu Raijua, NTT, Orient P Riwu Kore.
Mereka berharap majelis hakim panel dapat mengesampingkan syarat formil pengajuan permohonan yang melampaui tenggat pengajuan serta tidak memenuhi ketentuan ambang batas selisih perolehan suara. Adapun majelis hakim panel yang memeriksa perkara itu diketuai Saldi Isra, dengan hakim anggota Enny Nurbaningsih serta Suhartoyo.
Dalam persidangan, kuasa hukum perkara nomor 133/PHP.BUP.XIX/2021, Adhitya Nasution, mengatakan, fakta bahwa bupati terpilih merupakan warga negara asing diketahui setelah proses penetapan pemenang pilkada serentak 2020. Mahkamah Konstitusi diminta untuk memahami kondisi tersebut.
Aspek legal formal seperti aturan tenggat yang diatur dalam Pasal 157 Ayat (5) serta ambang batas selisih perolehan suara pada Pasal 158 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada diminta untuk dikesampingkan.
Pemohon menyadari, dalam sengketa hasil pilkada Sabu Raijua ini, ambang batas perolehan suara cukup tinggi, yaitu 18,19 persen. Jika melihat ketentuan dalam UU Pilkada, selisih tersebut melebihi syarat ambang batas perolehan suara. Namun, pemohon berpendapat, tahapan pencalonan adalah bagian yang fundamental dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.
Pemohon tidak mempersoalkan selisih perolehan hasil suara pilkada. Namun, termohon, yaitu Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu Sabu Raijua, dianggap telah lalai dan melanggar asas mandiri, jujur, dan adil dalam penyelenggaraan pilkada serentak 2020. Dengan demikian, pasangan calon nomor urut 1, yaitu Nikodemus N Rihi Heke dan Yohanis Uly Kale, dinilai memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan sengketa hukum pilkada kepada MK.
”Pemohon mengetahui segala keterbatasan terkait ambang batas perolehan suara. Akan tetapi, terdapat fakta yang nyata dan tidak dapat dimungkiri bahwa setelah proses penetapan pemenang bupati dan wakil bupati Sabu Raijua ternyata bupati terpilih merupakan warga negara asing,” kata Adhitya.
Sementara itu, perkara nomor 134/PHP.BUP.XIX/2021 diajukan oleh pemantau pemilu, yaitu Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi Sabu Raijua. Kuasa hukum Amapedo, Yafet Rissy, mengatakan, para pemohon tak semata mempersoalkan selisih penghitungan suara, tetapi juga isu konstitusionalitas dan hukum moral dari sejumlah keputusan KPU Sabu Raijua.
Tahapan pemilihan, terutama pencalonan bupati Sabu Raijua, dianggap cacat formil, melawan konstitusi, moral, dan hukum. Menurut dia, ada implikasi konstitusional, hukum, dan moral ketika diketahui calon bupati dari pasangan nomor urut 2, yakni Orient, dinyatakan oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, pada 1 Februari 2020, memegang kewarganegaraan AS. Apalagi, Indonesia adalah negara yang tidak menganut asas kewarganegaraan ganda.
Oleh karena itu, pemohon meminta kepada MK untuk melakukan penemuan hukum demi mengatasi kebuntuan dan kekosongan hukum status kewarganegaraan bupati terpilih Sabu Raijua. Mereka juga meminta MK membatalkan sejumlah keputusan KPU Sabu Raijua.
Keputusan itu tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua 2020; Keputusan KPU Sabu Raijua tentang Penetapan Nomor Urut dan Daftar Calon Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua 2020; dan Keputusan Penetapan Rekapitulasi Hasil Perolehan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua 2020.
”Secara formal, pemenuhan syarat untuk ditetapkan sebagai calon mengandung cacat hukum formil. Dengan demikian, penetapan pasangan calon nomor urut 2 dapat dinyatakan melanggar hukum atau batal demi hukum,” ujar Yafet.
Seusai pemohon membacakan permohonannya, tak terlalu banyak pertanyaan yang diajukan majelis hakim panel. Hakim Suhartoyo sempat menanyakan detail selisih perolehan suara pasangan nomor urut 1, 2, dan 3. Adapun hakim Enny Nurbaningsih menyoroti penyusunan daftar alat bukti yang dinilai kurang sistematis.
Ketua majelis panel Saldi Isra kemudian menerima perkara tersebut. Alat bukti yang dibawa pemohon disahkan. Selain itu, permohonan untuk menjadi pihak terkait juga diterima. Agenda sidang berikutnya adalah jawaban termohon atau KPU, mendengarkan keterangan dari Bawaslu, dan pemeriksaan pihak terkait. Sidang berikutnya akan dilaksanakan pada Senin, 15 Maret 2021.
”Diharapkan, dalam persidangan selanjutnya termohon, pihak terkait, dan Bawaslu juga menyerahkan bukti-bukti yang dimiliki. Jika alat bukti jumlahnya banyak, diharapkan alat bukti diserahkan sebelum persidangan,” kata Saldi.
Hormati proses hukum di MK
Peneliti Kode Inisiatif, Ihsan Maulana, mengatakan, MK diharapkan mampu menjadi lembaga yang memberikan jawaban dari problem yang ada di Pilkada Sabu Raijua. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat akan menjadi tumpuan untuk memberi kepastian hukum dan keadilan elektoral.
Adapun persoalan tersebut masih dalam tahap penelitian di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Dalam Negeri. Hingga saat ini belum ada keputusan resmi dari Kemenkumham ataupun Kemendagri terhadap kebuntuan hukum status kewarganegaran itu.
”Karena kasus sudah bergulir di MK, para pihak yang meneliti masalah hukum dalam perkara ini, yaitu Kemenkumham dan Kemendagri, harus bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan keputusan yang dapat mengganggu proses penyelesaian sengketa pilkada di MK. Jangan sampai ada proses hukum ganda dan keputusan yang mengganggu proses di MK,” kata Ihsan.
Terkait dengan substansi perkara, meskipun sengketa hasil pilkada Sabu Raijua melampaui ketentuan batas waktu dan ambang batas selisih perolehan suara, hal itu berkaitan dengan syarat pencalonan yang merupakan titik awal kontestasi pilkada. MK diharapkan dapat mempertimbangkan untuk memeriksa masalah syarat pencalonan tersebut.