Pedoman Kejaksaan yang Baru Hilangkan Diskriminasi Perempuan dan Anak
Pedoman Kejaksaan No 1/2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak Tangani Pidana diluncurkan Jaksa Agung Burhanuddin, Senin ini. Pedoman itu menghilangkan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan dan anak.
JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana akan menjadi petunjuk bagi jaksa untuk memenuhi hak-hak perempuan dan anak dalam sebuah perkara pidana. Pedoman tersebut diharapkan dapat menghilangkan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan dan anak ketika berhadapan dengan hukum.
Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 diluncurkan oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Senin (8/3/2021), secara virtual dari Jakarta. Peluncuran dilakukan bertepatan dengan perayaan Hari Perempuan Sedunia.
Burhanuddin mengatakan, dalam penanganan perkara pidana yang berkaitan dengan perempuan dan anak, hambatan sering ditemui dalam proses pembuktian, seperti minimnya saksi dan alat bukti. Demikian pula dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, sering kali saksi adalah anak yang masih di bawah umur sehingga keterangannya tidak dapat didengar di persidangan.
Baca juga : Amnesti Disetujui, Momentum Perkuat Perlindungan Perempuan
Sementara, lanjut Burhanuddin, mengutip hasil survei Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2018, dua dari tiga anak dan remaja, baik perempuan maupun laki-laki, pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Hal itu memperlihatkan kebutuhan agar negara hadir untuk memenuhi akses keadilan bagi perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum.
Dalam penanganan perkara pidana yang berkaitan dengan perempuan dan anak, hambatan sering ditemui dalam proses pembuktian, seperti minimnya saksi dan alat bukti. Demikian pula dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, sering kali saksi adalah anak yang masih di bawah umur sehingga keterangannya tidak dapat didengar di persidangan.
”Harapan saya, adanya pedoman ini dapat semakin menjamin dan memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak dalam menghadapi proses hukum yang selama ini masih menghadapi hambatan dan tantangan, terutama dalam pemenuhan hak-haknya dalam pemenuhan rasa keadilan,” kata Burhanuddin.
Menurut Burhanuddin, Pedoman No 1/2021 akan mengoptimalkan akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam penanganan perkara pidana, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi, dengan ruang lingkup penyelidikan hingga pelaksanaan putusan. Pedoman tersebut mengatur adanya pertemuan pendahuluan yang akan membantu saksi dan korban serta mengatur tentang permintaan keterangan atau pemeriksaan terhadap perempuan dan anak dalam perkara pidana, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi.
Ia menambahkan, dalam pedoman tersebut terdapat petunjuk kepada jaksa untuk menghindari uraian yang terlalu detail dan vulgar dalam menyusun surat dakwaan. Demikian pula identitas pihak perempuan dan anak dalam sebuah perkara pidana dilindungi. Pedoman tersebut juga mengatur jaksa agar memperhatikan proses peradilan yang tidak diskriminatif, serta tidak boleh memberikan pertanyaan ataupun pernyataan yang tidak berhubungan dengan perkara selama pemeriksaan, seperti riwayat seksualitas.
Jaksa berperan aktif
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejagung Fadil Zumhana menjelaskan, Pedoman Kejaksaan itu mengatur penuntut umum agar berperan aktif dalam menjamin keberlangsungan ketentuan dalam perundang-undangan yang sudah ada. Pedoman tersebut juga menjadi standar dalam mengualifikasi terminologi dalam menangani perkara perempuan dan anak, termasuk memberikan tafsiran sistematis tentang beberapa terminologi.
Menurut Fadil, Pedoman No 1/2021 merangkum lebih kurang 11 undang-undang yang memiliki ketentuan untuk memberikan perlindungan bagi terjaminnya hak perempuan dan anak. Undang-undang itu antara lain Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, UU Pornografi, UU Hak Asasi Manusia, serta UU Pengadilan HAM.
”Pedoman ini diharapkan memberikan solusi bagi penegak hukum dalam menangani kesulitan praktik di lapangan yang pada akhirnya memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan dan anak,” kata Fadil.
Sementara Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Ali Mukartono mengatakan, pedoman tersebut akan memberikan kesadaran dan aksi, khususnya bagi jaksa, untuk memberdayakan kaum lemah dan marjinal atau yang sering disebut kaum rentan. Dengan demikian, mereka memiliki kekuatan yang sama.
Di bidang pidana khusus, lanjut Ali, yang sering ditemui adalah perempuan atau anak sebagai penerima hasil korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Meski demikian, terdapat pula perempuan yang menjadi pelaku tindak pidana korupsi maupun pencucian uang.
Untuk menentukan status perempuan dan anak dalam pidana khusus, kuncinya bergantung pada mens rea, apakah ada niat jahat atau tidak. Ini biasanya paling banyak dialami seorang istri yang menerima penghasilan dari suaminya yang diketahui hasil korupsi. Apakah pantas istri ini didakwakan pencucian uang tergantung dari mens rea yang bersangkutan.
”Untuk menentukan status perempuan dan anak dalam pidana khusus, kuncinya bergantung pada mens rea, apakah ada niat jahat atau tidak. Ini biasanya paling banyak dialami seorang istri yang menerima penghasilan dari suaminya yang diketahui hasil korupsi. Apakah pantas istri ini didakwakan pencucian uang tergantung dari mens rea yang bersangkutan,” kata Ali.
Secara khusus terkait dengan peristiwa pelanggaran HAM berat, menurut Ali, penentuan adanya korban atau tidak, mengharuskan adanya proses yudisial atau ditentukan melalui putusan pengadilan. Tanpa ada putusan pengadilan, maka tidak ada korban. Yang menjadi tantangan, selama ini korban, semisal korban pemerkosaan peristiwa Mei 1998, tidak dapat diajukan ke pengadilan karena sifatnya hanya keterangan dari orang per orang yang tidak mengetahui peristiwanya secara langsung.
Mendapat rintangan berganda
Menurut peneliti Indonesia Judicial Research Society, Bestha Inatsan Ashila, meski terdapat banyak peraturan dan perundang-undangan yang memberikan jaminan perlindungan kepada perempuan dan anak, di lapangan perempuan dan anak mengalami rintangan berganda. Perempuan disebutkan lebih rentan menjadi korban suatu tindak pidana enam kali lebih besar dibandingkan laki-laki.
Bestha menyebutkan, aparat penegak hukum perlu memahami konsep relasi kuasa dalam penanganan pidana terkait perempuan. Kemudian adanya stereotip hingga reviktimisasi kepada korban. Sementara proses pemidanaan masih fokus pada pemenjaraan pelaku, bukan fokus pada pemulihan bagi korban.
”Kekerasan seksual bukan hanya karena ancaman kekerasan, melainkan juga karena tipu muslihat yang membuat korban tidak berdaya secara psikis. Dengan adanya pedoman ini, meski tanpa ancaman kekerasan, tetapi dengan memanfaatkan kerentanan posisi perempuan dan anak sehingga terdapat relasi kuasa, pelaku dapat dituntut pidana,” kata Bestha.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, berpandangan, Pedoman Kejaksaan No 1/2021 tersebut tidak hanya mengisi kekurangan dalam hal teknis penerapan dari UU yang sudah ada, tetapi juga memberikan landasan perspektif bagi kejaksaan ketika menangani perkara terkait perempuan dan anak. Taufik berharap agar Polri juga membuat pedoman serupa.
Semoga melalui pedoman ini, korban menemukan jaksa yang baik bukan lagi keberuntungan, tetapi menjadi sebuah sistem. Lalu jaksa yang tidak melaksanakan pedoman ini agar diberikan sanksi agar tidak seenaknya.
Menurut Taufik, dirinya memahami kesulitan yang selama ini dihadapi kejaksaan dalam menangani perkara terkait kekerasan seksual karena memang belum ada perundang-undangan yang menaungi. Adanya Pedoman Kejaksaan No 1/2021 akan menjadi bahan bagi DPR dalam penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Baca juga : Perkuat Perlindungan terhadap Perempuan
Menurut Direktur LBH Apik Jakarta Siti Mazumah, dari pengalaman LBH Apik Jakarta, dalam beberapa kasus terdapat jaksa yang memang memberikan perhatian kepada korban perempuan. Namun, mendapatkan jaksa semacam itu adalah keberuntungan.
”Semoga melalui pedoman ini, korban menemukan jaksa yang baik bukan lagi keberuntungan, tetapi menjadi sebuah sistem. Lalu jaksa yang tidak melaksanakan pedoman ini agar diberikan sanksi agar tidak seenaknya,” kata Siti.
Deputi Bidang Hukum dan HAM Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sugeng Purnomo meminta agar para jaksa konsisten mengikuti pedoman tersebut. Sebab, sebaik apa pun ketentuan yang dilahirkan, jika tidak diikuti dengan konsistensi dalam pelaksanaannya, aturan itu akan menjadi sia-sia.