Dukungan Parpol Dibutuhkan untuk Pelibatan Perempuan
Pelibatan perempuan dalam politik idealnya tidak sekadar soal pemenuhan kuantitas anggota legislatif perempuan di parlemen, tetapi juga perlu adanya ruang tumbuh dan kaderisasi yang disediakan oleh partai politik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelibatan perempuan dalam politik idealnya tidak sekadar soal pemenuhan kuantitas anggota legislatif perempuan di parlemen, tetapi juga perlu adanya ruang tumbuh dan kaderisasi yang disediakan oleh partai politik. Dengan demikian, peningkatan kualitas anggota legislatif perempuan dapat dilakukan. Di sisi lain, akses perempuan pada potensi keterpilihan dalam pemilu harus dibuat seimbang oleh parpol dalam pencalonan.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, selama ini ada ekspektasi yang tinggi terhadap perempuan yang berkiprah di dunia politik. Ada pula kritik kepada mereka yang menjadi bagian dari politik kekerabatan atau kecenderungan asal comot untuk memenuhi kuota perempuan di parlemen. Di sisi lain, seharusnya parpol memiliki peran akselerasi terhadap perempuan.
”Tuntutan yang tinggi terhadap anggota legislatif perempuan mestinya diimbangi oleh parpol dengan menyediakan ruang kaderisasi dan pendidikan politik terhadap perempuan. Parpol tidak bisa lepas tangan begitu saja atau sekadar untuk memenuhi keterwakilan perempuan,” kata Titi, di Jakarta, Senin (8/3/2021).
Perempuan di satu sisi juga tidak dapat dilepaskan dari ekosistem politik yang ada selama ini. Mereka juga harus menghadapi kendala kultural dan struktural untuk dapat bersaing di kancah politik. Oleh karena itu, ketika melihat perempuan dalam politik, tidak dapat dilepaskan dari situasi politik saat ini yang oligarkis dan pragmatis. Problem kualitas anggota legislatif pun sebenarnya bukan persoalan jenis kelamin, melainkan persoalan seluruh anggota legislatif di Indonesia secara umum.
”Perempuan mungkin akan lebih disorot dan mendapat perhatian karena harapan yang tinggi terhadap mereka agar dapat mewarnai kebijakan dan menyuarakan persoalan perempuan lebih keras lagi. Namun, posisi mereka tidak bisa dilihat hanya sebagai perempuan semata, tetapi mereka juga bagian dari identitas dan ideologi politik melalui parpol yang diwakilinya,” tutur Titi.
Kehadiran perempuan dalam politik bagaimanapun diperlukan karena selain mereka diharapkan lebih mampu menyuarakan kepentingan perempuan, pertimbangan mengenai politik representasi dalam demokrasi juga mensyaratkan inklusivitas dan kesetaraan bagi peran perempuan. Kesetaraan politik itu dapat diartikulasikan dalam kehadiran perempuan pada pengambilan keputusan.
”Pengambilan keputusan yang melibatkan perempuan akan memberikan pendekatan komprehensif dalam kebijakan kita,” ujarnya.
Hari Perempuan Internasional
Sementara itu, dalam peringatan Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) 2021, aktivitas dan kiprah perempuan parlemen dirayakan dalam pameran foto dan rangkaian diskusi, 8-18 Maret 2021. Sebanyak 124 anggota DPR dan 42 anggota DPD perempuan memajang tiga potret diri yang menggambarkan kegiatan mereka masing-masing.
Selain itu, rangkaian diskusi juga digelar dengan berbagai topik, seperti lingkungan hidup, energi, pendidikan, pengarusutamaan jender dalam pembangunan, pembangunan desa, pemerintahan daerah, hingga teknologi informasi. Seluruh pembicara adalah perempuan anggota parlemen. Acara diselenggarakan oleh Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) dan dibuka oleh Ketua DPR Puan Maharani.
Ketua Presidium KPP-RI Diah Pitaloka mengatakan, kegiatan pameran foto dan diskusi dalam rangka Hari Perempuan Internasional itu diadakan untuk memberikan apresiasi kepada perempuan parlemen yang dengan segala kesulitannya dapat berkiprah dalam politik. Mereka yang menjadi anggota DPR bagaimanapun harus menghadapi berbagai kesulitan, termasuk ketika harus bersaing di kalangan internal parpol atau berhadapan dengan calon yang memiliki sumber daya lebih besar.
”Kiprah perempuan dalam politik sebenarnya sudah ada sejak era perjuangan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, perjuangan perempuan dalam politik seiring sejalan dengan perjuangan kebangsaan kita. Perjuangan perempuan tak terpisahkan dari perjuangan kebangsaan kita,” ujarnya.
Sekretaris Panitia Pameran Foto dan Diskusi KPP-RI Netty Prasetiyani mengatakan, parpol memang perlu memberi dukungan kepada perempuan, mulai dari pencalonan, persiapan, hingga bekal pendidikan politik.
”Kalau kita dibiarkan bersaing bebas, memang akan banyak yang jatuh menjadi korban sebab memang tidak mudah mengatasi ketertinggalan lantaran titik mulainya sudah berbeda antara caleg perempuan dan caleg laki-laki. Perempuan harus meyakinkan keluarganya, lingkungan, dan parpol untuk dapat maju menjadi caleg. Kesulitan semacam ini mungkin tidak dihadapi oleh caleg laki-laki,” tuturnya.
Sejak pencalonan, perempuan harus bersaing ketat di kalangan internal parpol. Aturan yang ada saat ini, yakni satu perempuan dalam setiap tiga caleg, belum ideal sehingga perlu terus diafirmasi. Sistem zipper (selang-seling) antara caleg laki-laki dan perempuan, menurut Netty, harus terus didorong sehingga lebih banyak perempuan mendapatkan nomor urut kecil.
Kehadiran perempuan dalam parlemen secara kuantitas dan juga kualitas amat diperlukan karena secara personal ada beberapa persoalan yang dapat disuarakan lebih baik oleh perempuan, misalnya soal upaya menurunkan angka kematian ibu. Persoalan ini, lanjut Netty, mungkin saja disuarakan oleh laki-laki, tetapi penghayatan dan pengalaman laki-laki dan perempuan berbeda.
”Jika hal ini disuarakan oleh perempuan, perspektifnya akan berbeda karena perempuan mengalami rasa sakitnya melahirkan atau kesulitan ketika mengandung,” ucapnya.
Namun, persoalan yang dapat disuarakan perempuan tidak terbatas hanya pada isu-isu yang terkait dengan perempuan. Secara umum, semua persoalan di masyarakat akan berdampak langsung pada kehidupan perempuan. Sebab, perempuan sebagaimana laki-laki adalah bagian dari populasi.