Penyidik Kejagung menetapkan BTS dan HH sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang dalam rangkaian penyidikan dugaan korupsi Asabri. Dengan begitu, sudah tiga orang yang disangkakan dengan pencucian uang.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung kembali menjerat dua tersangka kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi di PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau PT Asabri (Persero) dengan pidana pencucian uang. Pemidanaan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dengan durasi waktu lama itu dinilai sudah sepatutnya dilakukan.
Sebab, dengan periode kejahatan yang diduga dilakukan dalam kurun waktu panjang, yakni 2012-2019, kemungkinan besar dana telah beralih ke bentuk lain atau dikuasai pihak lain.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, Minggu (7/3/2021), berpandangan, penambahan pasal pencucian uang kepada tersangka dalam kasus dugaan korupsi di Asabri sudah sepatutnya dilakukan. Dengan pasal pencucian uang, penyidik akan menelusuri uang hasil kejahatan korupsi yang disamarkan, semisal dibelikan saham atau aset berupa properti atau lahan.
”Maka, menjadi penting setiap penuntutan perkara pidana seperti korupsi harus selalu digandeng dengan pencucian uang karena sangat mungkin aset-aset itu beralih ke tangan orang lain atau bukan atas nama dirinya,” kata Fickar.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulis, Sabtu (6/3/2021), mengatakan, penyidik menetapkan BTS dan HH sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang. Penetapan tersebut dilakukan setelah penyidik melakukan ekspose.
Dalam kasus dugaan korupsi Asabri, penyidik telah menetapkan sembilan tersangka. Mereka adalah ARD, SW, HS, BE, IWS, LP, BTS, HH, dan JS. Tersangka JS sebelumnya juga telah dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang.
Terkait dengan dugaan pencucian uang terhadap BTS dan HH, lanjut Leonard, selama 2012-2019, Asabri membeli saham maupun produk reksa dana kepada pihak tertentu melalui sejumlah nominee yang terafiliasi dengan BTS dan HH. Hal itu dilakukan tanpa disertai dengan analisis fundamental dan analisis teknikal atau dibuat untuk formalitas saja.
Manajemen Asabri menyetujui penempatan investasi Asabri hanya berdasarkan analisis penempatan reksa dana yang dibuat secara formalitas saja. Akibatnya, terjadi penyimpangan dalam investasi saham dan reksa dana Asabri serta mengakibatkan kerugian Rp 23,73 triliun.
”Oleh karena itu, BTS dan HH sebagai pihak mengelola dan menimbulkan kerugian negara, dalam hal ini PT Asabri (Persero), ditetapkan sebagai tersangka TPPU dengan pasal sangkaan melanggar Pasal 3 dan atau Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,” kata Leonard.
Leonard menyatakan, penyidik akan terus mengejar dan menindak siapa pun pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. Dia juga meminta masyarakat untuk mengawal dan mendukung penuntasan kasus tersebut.
Menurut Leonard, penyidik juga kembali menyita aset milik tersangka BTS yang diduga terkait perkara dugaan korupsi Asabri. Aset yang disita berupa 18 unit kamar di Apartemen South Hills, Jakarta Selatan. Selain itu, penyidik juga memblokir aset tanah persil milik beberapa tersangka, yakni ISW, ARD, SW, LP, BE, BTS, dan HS.
Permohonan pemblokiran tersebut, tambah Leonard, telah diajukan ke kantor Badan Pertanahan Nasional setempat. Upaya pemblokiran aset tanah persil milik atau yang terkait dengan para tersangka merupakan upaya penelusuran aset dan dalam rangka penyelamatan kerugian keuangan negara.
Pemulihan kerugian
Fickar mengingatkan, penuntutan korupsi tidak hanya bertujuan memidana pelaku, tetapi juga memulihkan kerugian negara. Itulah sebabnya tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi dapat diadili tanpa kehadiran tersangka (in absentia) karena tujuannya bukan hanya menghukum pelaku, melainkan juga mengembalikan kerugian negara.
Terkait dengan kasus dugaan korupsi Asabri, lanjut Fickar, penyidik diharapkan tidak hanya menelusuri aset yang dikuasai tersangka, tetapi juga pihak-pihak lain. Dengan jumlah kerugian yang sangat besar dalam periode yang lama, peralihan aset sangat mungkin terjadi dan bukan tidak mungkin terkait dengan pejabat atau mereka yang duduk di pemerintahan.
”Penyidik harus berani menelusuri uang itu yang diduga juga mengalir ke pihak-pihak yang berkuasa atau memiliki jabatan di pemerintahan,” ujar Fickar.
Secara terpisah, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman berpandangan, mestinya tersangka untuk pidana pencucian uang masih akan bertambah. Sebab, salah seorang tersangka kasus Asabri, yang sebagian asetnya di wilayah Solo telah disita penyidik, hingga kini belum dijerat pasal pencucian uang.
Di sisi lain, lanjut Boyamin, mestinya pasal pencucian uang juga dikenakan bagi mereka yang terlibat dalam penggunaan uang tersebut, seperti pihak yang namanya digunakan untuk menyamarkan aset dari Asabri maupun korporasi. Sebab, para tersangka tersebut juga memanfaatkan korporasi, seperti perusahaan atau manajer investasi, untuk melakukan pencucian uang.
”Dengan dikenai pasal pencucian uang yang pengertiannya tidak hanya satu-dua orang, tetapi banyak, hal ini dilakukan dalam rangka untuk melakukan pengembalian kerugian negara, termasuk kepada perusahaan-perusahaan,” kata Boyamin.