Perkara Sabu Raijua Akhirnya Disidangkan Pekan Depan
Dua perkara kebuntuan hukum status kewarganegaraan asing bupati Sabu Raijua, NTT, No. 133/PHP.BUP/XIX/2021 dan No.134/PHP.BUP/XIX/2021 disidangkan MK pekan depan. Syarat formal dipinggirkan untuk keadilan substantif.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi segera menyidangkan perkara kebuntuan dan kekosongan hukum akibat status kewarganegaraan asing bupati terpilih Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Orient P Riwu Kore. Rencananya, dua perkara yang telah teregistrasi itu akan disidangkan pada Senin, pekan depan (8/3/2021).
Dalam informasi yang tertera di situs resmi mkri.id, ada dua perkara mengenai kebuntuan hukum status kewarganegaraan asing bupati terpilih Sabu Raijua, NTT. Perkara tersebut teregistrasi dengan nomor 133/PHP.BUP/XIX/2021 dan diajukan oleh Nikodemus N Rihi Heke dan Yohanis Uly Kale. Adapun, perkara kedua teregistrasi dengan nomor 134/PHP.BUP/XIX/2021 diajukan oleh Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi Sabu Raijua (Amapedo) dan warga yang terdaftar sebagai daftar pemilih tetap (DPT) Sabu Raijua.
Dalam permohonannya, Amepedo memohon kepada Mahkamah Konstitusi sebagai the positive legislator dapat melakukan penemuan hukum untuk mengatasi kebuntuan dan kekosongan hukum sehubungan dengan status kewarganegaraan bupati terpilih Sabu Raijua, NTT. Mereka juga meminta MK membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sabu Raijua tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua 2020, Keputusan KPU Sabu Raijua tentang Penetapan Nomor Urut dan Daftar Calon Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua 2020, dan Keputusan Penetapan Rekapitulasi Hasil Perolehan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua 2020.
Para pemohon tidak semata mempersoalkan selisih penghitungan suara tetapi isu konstitusionalitas dan hukum moral dari sejumlah keputusan KPU Sabu Raijua dalam rangkaian pemilihan yang dianggap cacat formil, melawan konstitusi, moral, dan hukum. Ada implikasi konstitusional, hukum, dan moral ketika diketahui bahwa calon bupati dari pasangan nomor urut dua dinyatakan secara resmi oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta pada 1 Februari 2020, bahwa yang bersangkutan memegang kewarganegaraan AS. Indonesia tidak menganut asas kewarganegaraan ganda.
“Maka, secara formal pemenuhan syarat untuk ditetapkan sebagai calon mengandung cacat hukum formil. Sehingga penetapan pasangan calon nomor urut dua dapat dinyatakan melanggar hukum atau batal demi hukum,” ujar kuasa hukum Amepedo, Yafet Rissy.
"Secara formal pemenuhan syarat untuk ditetapkan sebagai calon mengandung cacat hukum formil. Sehingga penetapan pasangan calon nomor urut dua dapat dinyatakan melanggar hukum atau batal demi hukum”
Pemohon sebenarnya juga mengetahui bahwa permohonan yang mereka ajukan, telah melewati tenggat waktu yang diatur dalam Pasal 157 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Kuasa hukum perkara nomor 133, Adhitya Nasution, mengatakan, Mahkamah Konstitusi diminta untuk memahami kondisi bahwa Bawaslu Sabu Raijua menemukan fakta bahwa bupati terpilih merupakan warga negara asing setelah proses penetapan pemenang pilkada serentak 2020.
Hal itu dianggap akan menjadi preseden buruk bagi sistem demokrasi di Indonesia jika dibiarkan. Oleh karena itu, negara diminta hadir melalui Mahkamah Konstitusi untuk memberikan kepastian hukum.
“Pemohon juga mengetahui segala keterbatasan terkait ambang batas perolehan suara. Akan tetapi, terdapat fakta yang nyata dan tidak dapat dimungkiri bahwa setelah proses penetapan pemenang bupati dan wakil bupati Sabu Raijua ternyata bupati terpilih merupakan warga negara asing,” tambah Adhitya.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif Ihsan Maulana berharap MK dapat menggali keadilan substantif, dan menghadirkan keadilan elektoral dalam perkara Sabu Raijua ini. MK diharapkan tidak terbebani dengan syarat formil. Karena pada prinsipnya, dalam sengketa pilkada serentak 2020 ini, MK juga telah membuat regulasi baru untuk menunda pemeriksaan ambang batas selisih perolehan suara di tengah atau di akhir pemeriksaan perkara. MK diharapkan dapat membuat terobosan hukum untuk menghadirkan keadilan elektoral dan kepastian hukum bagi pencari keadilan.
“MK seharusnya bisa melihat pada substansi perkaranya, dan bisa sedikit mengabaikan syarat formilnya untuk menghadirkan keadilan elektoral serta kepastian hukum. Apalagi, ini menyangkut syarat pencalonan kepala daerah yang dianggap melanggar konstitusi,” kata Ihsan.
“MK seharusnya bisa melihat pada substansi perkaranya, dan bisa sedikit mengabaikan syarat formilnya untuk menghadirkan keadilan elektoral serta kepastian hukum. Apalagi, ini menyangkut syarat pencalonan kepala daerah yang dianggap melanggar konstitusi”
Sebelumnya, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, pada prinsipnya MK melihat ketentuan mengenai batas waktu pengajuan dan ambang batas selisih perolehan suara sebagai syarat formil sebuah perkara. MK akan melihat apakah seluruh tahapan telah dilakukan sebagaimana mestinya. Jika seluruh tahapan telah dilakukan sesuai aturan, tentu permohonan yang telah melewati batas waktu pengajuan akan tidak diterima oleh MK. Namun, jika ada tahapan pilkada sudah selesai semua ternyata ada yang bermasalah dalam pelaksanaannya, hanya MK yang bisa memutus. Sebab, jika diputus institusi lain, putusannya pasti akan digugat misalnya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Jika dalam penyelenggaraan pilkada ternyata ada kewenangan yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, dapat dikatakan keadilan elektoral tidak dapat diwujudkan. Oleh karena itu, pemohon dapat mencari keadilan konstitusional di MK. Sebagai penegak konstitusi, MK dituntut melaksanakan fungsi untuk memberikan keadilan elektoral tersebut,” kata Enny.