LIPI: DPR Paling Banyak Persoalan Saat Mengawasi Kerja Intelijen
Hasil penelitian LIPI dalam acara ”Menguak Kabut Pengawasan Intelijen di Indonesia”, kemarin, secara daring, ada 55 problem utama dialami tujuh aktor pengawas. Terbanyak oleh DPR karena ada konflik kepentingan.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan intelijen dinilai belum responsif. Hal ini terutama disebabkan oleh konflik kepentingan dan kelemahan regulasi yang dialami oleh pihak-pihak pengawas intelijen. Kelemahan pengawasan ini tidak saja menimbulkan masalah efektivitas intelijen, tetapi dikhawatirkan juga bisa merusak demokrasi.
Dari hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang disampaikan lewat kertas kerjanya, ”Menguak Kabut Pengawasan Intelijen di Indonesia”, kemarin, secara daring, ada 55 problem utama yang dialami tujuh aktor pengawas intelijen. Problem terbanyak dialami oleh DPR sebanak 14 problem, pengawasan publik 11 problem, dan presiden 10 problem. Lainnya, pengawasan dilakukan oleh lembaga negara independen, pihak internasional, internal intelijen, dan pengadilan negeri.
Wakil dari tim peneliti, Diandra M Mengko, mengatakan, dari sisi latar belakang problem, kluster konflik kepentingan menempati jumlah masalah yang terbesar, yaitu 20 problem, diikuti dengan kelemahan regulasi dengan ada 18 problem.
Diandra mengatakan, masalah konflik kepentingan dialami berbagai aktor. Di kalangan DPR, misalnya, konflik kepentingan di antaranya disebabkan oleh tidak adanya insentif kepentingan elektoral ketika anggota DPR melakukan pengawasan intelijen. Selain itu, juga ada kepentingan internal di mana ada dinamika politik praktis dan relasi transaksional dengan pihak eksekutif.
Hal serupa dialami publik yang terdiri atas kelompok-kelompok masyarakat ketika melakukan pengawasan intelijen, baik lewat media maupun LSM. Banyaknya kelompok di publik dengan kepentingan yang berbeda melatari konflik kepentingan ini, selain juga karena tidak percaya pada profesionalitas aparat penegak hukum dan risiko intimidasi dan kekerasan serta kriminalisasi.
Masalah konflik kepentingan dialami berbagai aktor. Di kalangan DPR, misalnya, konflik kepentingan di antaranya disebabkan oleh tidak adanya insentif kepentingan elektoral ketika anggota DPR melakukan pengawasan intelijen. Selain itu, juga ada kepentingan internal di mana ada dinamika politik praktis dan relasi transaksional dengan pihak eksekutif.
Kontrol tidak efektif juga dilakukan oleh insitusi presiden karena adanya relasi politis antara presiden dan kepala intelijen. ”Kecenderungan memanipulasi intelijen untuk bertahan dari serangan oposisi politik, juga adanya kecederungan pemberian impunitas bagi aktivitas intelijen yang mendukung kekuasaan presiden,” kata Diandra.
Masalah regulasi yang lemah juga digarisbawahi oleh para peneliti LIPI. Lembaga negara independen, misalnya, tidak disebutkan oleh paradigma UU Intelijen sebagai pengawas. Belum juga ada regulasi yang menentukan mandat dan akses informasi bagi lembaga negara independen.
Bahkan, presiden juga terkekang oleh regulasi dalam pengawasan intelijen karena hanya ditempatkan sebagai pengguna. ”Tidak ada peraturan terkait tanggung jawab presiden dalam memastikan ruang lingkup dan interpretasi ancaman oleh intelijen,” kata Diandra.
Mengomentari kertas kerja LIPI, anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanuddin, mengatakan, untuk melakukan penelitian tentang intelijen dibutuhkan pengetahuan rinci tentang kerja-kerja intelijen. Ia sepakat harus ada pengawasan terhadap intelijen. Tubagus mencontohkan, tugas intelijen adalah mencari informasi. Misalnya, terkait dengan Covid-19, tugas intelijen adalah mencari informasi tentang jalur masuknya orang dari luar negeri yang mungkin saja membawa virus. Namun, setelah itu tidak sesuai tugas pokok seksinya kalau intelijen kemudian melakukan program swab dan vaksinasi juga kepada publik.
Hasanuddin mengatakan, DPR hanya bisa melaksanakan pengawasan terhadap tugas-tugas intelijen yang memang terlihat. Terkait dengan kritik tentang konflik kepentingan yang terjadi, Hasanuddin mengingatkan bahwa pengguna intelijen adalah presiden yang memang merupakan jabatan politik sehingga keputusan yang diambil berdasarkan informasi intelijen itu tentunya bersifat politis.
Bangun pengawasan integratif
Muhamad Haripin, salah satu anggota tim riset LIPI, mengatakan, kertas kerja ini ditujukan untuk menjadi langkah awal forlumasi kebijakan dalam membangun pengawasan intelijen yang integratif. Di balik hiruk- pikuk politik dan perkembangan yang meresahkan, termasuk terkait dengan aktor intelijen, ada banyak pihak yang ingin menjaga agar aktor intelijen tidak keluar dari demokrasi.
”Kami sampaikan kajian akademis yang kritis, tetapi juga mencari solusi,” katanya.
Berbagai kesenjagan antara konsep dan praktik intelijen di Indonesia. Ia merujuk thesisnya yang menyebutkan bahwa maraknya gerakan radikalisme bisa merupakan hasil kegagalan intelijen atau memang misi intelijen.
Sementara akademisi yang juga mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Busyro Muqoddas, menyoroti berbagai kesenjagan antara konsep dan praktik intelijen di Indonesia. Ia merujuk thesisnya yang menyebutkan bahwa maraknya gerakan radikalisme bisa merupakan hasil kegagalan intelijen atau memang misi intelijen.
Ia juga mempertanyakan tentang pembunuhan aktivis Munir dan tebar isu radikalisme terhadap umat Islam dan kelompok kritis serta mencuatkan isu Taliban menjelang proses seleksi pimpinan KPK jilid 5. ”Intelijen profesional itu kebutuhan dalam etika negara beradab,” katanya.
Ke depan, Busyro mengusulkan revisi UU Intelijen. Adapun Sandra Moniaga, komisioner Komnas HAM, merekomendasikan lembaga pengawas yang punya tugas dan wewenang lebih jelas dalam pengawasan intelijen.
Hal senada disampaikan Pemimpin Redaksi Koran Tempo Budi Setyarso yang mengatakan, perlu ada badan pengawas untuk meninjau kepatutan kegiatan intelijen dan melaporkan secara berkala temuan-temuan kegiatan intelijen yang melanggar hukum dan kepatutan.