Artidjo, Kidung Sunyi Seorang Hakim...
Kepergian Artidjo Alkostar, mantan Ketua Kamar Pidana MA, mengingatkan pentingnya pelembagaan sikap antikorupsi, berintegritas, jujur, lurus, dan independen dalam diri seorang hakim.
Wahai para hakim rawatlah nalar
Adili nuranimu sebelum mengadili orang lain
Tegarkan hati
Agar tidak mempan godaan
Tidak gentar ancaman
Kupaslah buah hukum
Agar keluar saripati keadilan
(Artidjo Alkostar, Titian Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan, 2018)
Kepergian Artidjo Alkostar yang tiba-tiba, Minggu (28/2/2021), mengagetkan banyak orang. Pada Jumat (26/2), dua hari sebelum kepergiannya, ia masih datang ke kantor Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bekerja. Namun, pada Minggu sore, ketika pintu apartemennya di Springhill Terrace Residence, Jakarta Utara, harus dibuka paksa, Artidjo ditemukan telah meninggal di kamarnya. Sunyi. Artidjo tinggal seorang diri di apartemen itu.
Sejak Desember 2019, Artidjo menjadi anggota Dewas KPK. Sebelumnya, ia adalah hakim agung selama 18 tahun, dan pensiun pada 22 Mei 2018. Mulanya ia berniat untuk beternak kambing di tempat kelahirannya di Situbondo, Jawa Timur, dan membuka rumah makan di Sumenep, Madura, Jatim. Namun, negara rupanya kembali memanggil. Ia dilantik menjadi anggota Dewas KPK periode 2019-2023.
Selama berkarier di bidang hukum, Artidjo dikenal sebagai orang yang lurus. Karakternya yang pendiam seolah menambah bobot tersendiri dalam perjalanannya sebagai hakim yang berintegritas. Teman-teman dan koleganya sesama hakim, serta yang bergerak di bidang hukum, mengenalnya dengan berbagai atribut positif. Tak ayal, kepergian seorang Artidjo adalah kehilangan besar bagi dunia hukum di Tanah Air.
Baca juga: ”Algojo Para Koruptor” Itu Telah Menunaikan Tugasnya
Dalam salah satu kesempatan, misalnya, Artidjo terlihat duduk sendiri di samping pintu masuk ruangan wawancara hakim ad hoc tipikor di Mahkamah Agung, yang diadakan di Gedung Komisi Yudisial (KY), 2016. Ia duduk sendiri di kursi bagian belakang, di deretan wartawan. Oleh karenanya, kehadiran Artidjo di barisan itu terlihat mencolok. Sementara di depan, anggota KY sedang melakukan tes wawancara terhadap para calon hakim ad hoc tipikor di MA.
Sebagai Ketua Kamar Pidana di MA, tugas-tugasnya juga akan banyak berkaitan dengan para hakim ad hoc tipikor itu. Oleh karenanya, seleksi para hakim itu menjadi perhatiannya. Namun, seperti biasa Artidjo enggan memberikan banyak komentar soal kegiatan itu.
”Saya cuma melihat-lihat saja. Saya enggak bisa komentar,ya, karena mereka ini, kan, macam-macam latar belakangnya. Nanti ada yang mengaku dari Yogyakarta, dari Situbondo, atau dari mana lagi. Saya ini, kan, hakim, ya, jadi saya melihat prosesnya saja,” ucapnya buru-buru menyudahi percakapan.
Demikianlah Artidjo yang irit bicara tapi banyak bekerja. Kode etik hakim mensyaratkan hakim tidak berkomentar tentang sesuatu yang berkaitan dengan perkara, atau yang mungkin memengaruhi putusannya.
Demikianlah Artidjo yang irit bicara tapi banyak bekerja. Kode etik hakim mensyaratkan hakim tidak berkomentar tentang sesuatu yang berkaitan dengan perkara, atau yang mungkin memengaruhi putusannya. Kendati seleksi hakim ad hoc tipikor itu tidak ada kaitannya dengan perkara, tetapi dengan sangat hati-hati Artidjo membatasi diri, lantaran bisa saja komentarnya atas seleksi itu memengaruhi jalannya seleksi, atau bahkan memengaruhi putusan tentang siapa yang akan diloloskan. Dengan menjadi hakim, Artidjo riuh dalam pekerjaannya memutuskan perkara, dan kadang kala tenggelam dalam sunyi lantaran sangat menjaga diri.
Sikap yang demikian juga ditunjukkan kepada siapa pun, bahkan kepada teman-teman dekatnya. Mantan Ketua KY yang juga pernah menjadi pimpinan KPK, Busyro Muqoddas, mengenang Artidjo sebagai sosok lurus, dan teguh menjaga integritasnya. Ia sangat menjaga dirinya dari pengaruh pertemanan, dan hubungan dekat, karena posisinya waktu itu hakim agung. Karakter ”lurus” itu dikenal sejak lama, bahkan ketika ia masih menjadi pengacara dan aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
”Beliau menjadi orang yang seperti itu bukan tiba-tiba, tetapi melalui proses yang panjang. Beliau berangkat dari keluarga yang sangat jujur dan sederhana, serta mendapatkan pendidikan agama yang baik dan ketat di keluarganya. Disiplin ilmunya (ilmu hukum) itu digunakan untuk mendengarkan problem-problem kemanusiaan dan HAM,” katanya.
Sikap lurus Artidjo itu, antara lain, terlihat ketika dalam suatu kasus advokasi di Yogyakarta, ketika ia direkomendasikan oleh Busyro kepada seorang pencari keadilan, ia bahkan tidak meminta sepeser uang pun kepada kliennya itu. Artidjo juga menolak dijemput dengan mobil. Artidjo lebih memilih naik bus jurusan Yogyakarta-Semarang. Demikian pula dalam jalannya advokasi, ketika si klien menanyakan biaya perkara, Artidjo diam saja. Sampai perkara berakhir, Artidjo tidak meminta uang.
Mantan Ketua KY (2013-2015) Suparman Marzuki sudah 40 tahun mengenal Artidjo sejak tahun 1981. Baginya, Artidjo adalah gurunya saat di perguruan tinggi, serta rekan sejawat di bidang hukum. Kemudian, mereka juga sama-sama tercatat sebagai staf pengajar hukum di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Di UII, Artidjo dan Suparman juga sama-sama pernah bergabung di organisasi Lembaga Pembela Hukum (LPH) dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia. Mereka juga sama-sama pernah menjabat sebagai Ketua Pusat Studi HAM UII.
Di mata Suparman, Artidjo adalah figur penting, dan sosok yang langka dalam penegakan hukum di Indonesia. Selain menjadi hakim agung, dia juga pernah menjabat sebagai advokat dan dosen hukum di UII. Prinsip dan konsistensinya terutama dalam upaya memberantas kejahatan luar biasa korupsi layak diteladani.
Artidjo juga sosok sederhana. Hal itu terlihat dalam penampilan, laku keseharian, ataupun sikapnya dalam hidup. Menurut Suparman, saat menjadi hakim agung, selama beberapa tahun dia tidak mendapatkan jatah rumah dan mobil dinas. Namun, dia tetap menjalankan tugasnya secara profesional. Bahkan, karena begitu sederhananya, Artidjo kerap tidak memikirkan serius penyakitnya. Terkadang, jika tidak dalam kondisi mendesak, dia menganggap berobat ke rumah sakit itu sebagai kemewahan.
Artidjo juga sosok sederhana. Hal itu terlihat dalam penampilan, laku keseharian, ataupun sikapnya dalam hidup.
”Dia terlalu bersahaja memahami hidupnya. Saat beliau sakit terakhir, kami teman-teman keras mengatakan bahwa beliau harus dirawat, tetapi sempat menolak. Dia sudah lama ada masalah pada jantung dan paru-parunya,” kata Supratman.
Belum melembaga
Sekalipun tidak banyak bicara, dan terkesan berhati-hati dalam menjalin hubungan personal dengan orang lain, warisan dan teladan Artidjo sangat banyak bagi penegak hukum, termasuk hakim. Dalam biografinya yang berjudul Titian Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan, mantan Ketua MA yang juga mantan Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, memandang sikap Artidjo yang demikian itu justru sesuai dengan karakter hakim.
”Menurut penilaian saya, seorang hakim seharusnya pendiam, tidak boleh banyak berbicara, terutama di media, baik elektronik maupun cetak. Kalau ada hakim seperti itu, berarti hakim itu belum mengerti, juga hakim itu tidak boleh mengomentari suatu perkara, karena itu bisa melanggar kode etik. Hal tersebut dilarang di seluruh dunia. Pak Artidjo memiliki standar seperti itu, dirinya sangat disipin tentang kode etik,” ucapnya.
Teladan yang juga amat dikenal dari seorang Artidjo ialah putusannya yang tidak kenal ampun terhadap kasus korupsi. Sejumlah terdakwa kasus korupsi diganjar vonis berat. Ia, antara lain, memutus hukuman seumur hidup untuk mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar; vonis 14 tahun bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, yang kini dikorting MA menjadi 8 tahun; vonis 18 tahun dan pencabutan hak politik bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq, yang kini sedang diajukan PK ke MA; vonis 12 tahun politikus Partai Demokrat Angelina Sondakh; dan vonis 18 tahun Irjen Djoko Susilo, bekas Kepala Korlantas Polri.
Baca juga: Sosok yang Ditakuti Para Koruptor Itu Telah Tiada...
Ia juga pernah menangani kasus-kasus lain, seperti kasus Soeharto dan cessie Bank Bali. Dalam kasus Bank Bali yang melibatkan Joko Tjandra, ia kalah suara dengan hakim yang lain sehingga dalam PK, 2001, Joko Tjandra bebas.
Dalam kesunyiannya sebagai hakim, Artidjo lantang berbicara melalui putusannya. Integritas, idealisme, dan sikap antikorupsi pada diri Artidjo sukar dicari gantinya.
Dalam kesunyiannya sebagai hakim, Artidjo lantang berbicara melalui putusannya. Integritas, idealisme, dan sikap antikorupsi pada diri Artidjo sukar dicari gantinya. Busyro mengatakan, hal itu terlihat dari ramainya koruptor berburu PK setelah Artidjo pensiun. Tren putusan MA belakangan ini sayangnya juga menunjukkan sejumlah hukuman koruptor yang diperingan.
Busyro mengatakan, hal ini mesti juga menjadi bahan refleksi bagi MA. Artinya, MA harus pula melembagakan integritas, kejujuran, intelektualitas, dan profesionalisme sebagaimana ditunjukkan Artidjo. Sikap Artidjo itu seyogianya menjadi teladan bagi hakim-hakim lain. ”Perlu internalisasi dan institusionalisasi nilai-nilai dasar atau core value hakim. Hakim itu, kan, jelas menegakkan kebenaran dan keadilan,” ujarnya.
Baca juga: Sikap Hidup Artidjo Harus Dilembagakan di Dunia Peradilan
Soal ini, pengajar hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, menuturkan, untuk dapat melakukan institusionalisasi integritas, harus ada iklim yang suportif di lingkungan kerja. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pimpinan institusi. ”Kalau ada hakim yang punya integritas baik, itu harus diberi reward. Adapun mereka yang bermain-main dengan hukum, atau melanggar kode etik, harus dijatuhi sanksi,” ucapnya.
Kini, Artidjo telah berpulang ke haribaan Sang Khalik. Tugasnya menegakkan keadilan telah ditunaikan. Dalam penggalan puisi yang ia gubah, Artidjo menitip pesan kepada para hakim. Hendaknya mereka merawat nalar, mengadili nuraninya sendiri, tidak mudah goyah dengan godaan dan ancaman, serta mengupas sungguh-sungguh substansi hukum agar dapat menghadirkan keadilan. Kiranya warisan Artidjo itu dapat menjadi cermin bagi para hakim di negeri ini...