Saatnya Memenuhi Keyakinan Publik dalam Menghadapi Pandemi Covid-19
Survei Litbang Kompas memperlihatkan, mayoritas responden yakin pemerintah mampu mengatasi pandemi Covid-19. Problem dalam penanganan pandemi setahun terakhir, harus diperbaiki agar keyakinan itu tak berujung kekecewaan.
Oleh
TIM KOMPAS
·5 menit baca
Survei Litbang Kompas pada Januari 2021 memperlihatkan, mayoritas responden yakin pemerintah akan mampu mengatasi pandemi Covid-19. Problem dalam penanganan pandemi setahun terakhir, terutama dalam hal kepemimpinan dan efektivitas pemerintahan, dinilai menjadi pekerjaan rumah yang harus diperbaiki agar keyakinan publik itu tak justru berujung pada kekecewaan.
Belum lama ini, sebuah lembaga think tank yang berbasis di Australia, Lowy Institute, memublikasikan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 98 negara terkait kinerja dalam mengendalikan penyebaran Covid-19. Dengan skor 24,3, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan Selandia Baru (94,4), Vietnam (90,8), dan Taiwan (86,4), yang menduduki peringkat tiga teratas.
Ada sejumlah indikator yang digunakan untuk membuat indeks itu, di antaranya kasus terkonfirmasi positif Covid-19, kematian, kasus per satu juta orang, kematian per satu juta orang, rata-rata rasio tes positif (positivitiy rate), dan tes per seribu orang.
Dengan berbagai indikator itu, tak mengherankan Indonesia menduduki ”papan bawah”. Kasus positif Covid-19 di Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Setidaknya 36.000 orang meninggal akibat Covid-19.
Kepiawaian pemimpin dari pusat hingga daerah pun diuji ketika menghadapi situasi krisis seperti saat ini. Mereka yang piawai tentu akan cepat merumuskan resep jitu untuk menangkal penyebaran virus Covid-19. Sebaliknya, yang tidak kapabel akan kesulitan, bahkan berimbas pada ketidakpercayaan publik.
Ilmuwan politik Amerika Serikat, Francis Fukuyama, dalam sebuah artikel berjudul ”The Thing That Determines a Country’s Resistance to the Coronavirus” (2020) menegaskan, di tengah situasi pandemi, kepercayaan dibangun di atas dua fondasi.
Pertama, warga harus percaya bahwa pemerintah memiliki keahlian, pengetahuan teknis, dan kapasitas. Landasan kedua, kepercayaan pada ujung hierarki, yakni presiden. Presiden harus mampu menjadi tokoh yang memperjuangkan kepentingan nasional.
Namun, apa yang terjadi di Indonesia? Indonesia masih berkutat pada persoalan silang kebijakan pusat dan daerah.
Ambil contoh soal penerapan pembatasan sosial. Ada daerah yang ingin menarik rem darurat, yakni dengan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Ada pula yang ingin agar rem darurat tidak diberlakukan menyeluruh dalam satu daerah.
Belum lagi, kebijakan yang kerap gonta-ganti. Misalnya, setelah PSBB, pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Lalu diubah lagi menjadi PPKM skala mikro.
Terlihat gamang
Peneliti bidang pembangunan daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, menilai, pemerintah pusat dalam setahun penanganan pandemi ini terlihat gamang. Imbasnya, tidak terlihat kejelasan sikap dan arahan kepada daerah.
Problem lain yang kentara adalah persoalan konsolidasi dan komunikasi antara pusat dan daerah. ”Prinsip relasi pusat dan daerah dalam negara kesatuan itu belum bekerja. Artinya, itu baru imajinasi, belum operasional,” ujarnya.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan berpandangan, dalam kondisi krisis seperti pandemi saat ini, presiden seharusnya mengambil komando penuh. Jika komando dipegang langsung presiden, ia meyakini penanganan pandemi lebih kuat dan efektif. Kepercayaan masyarakat pun bisa semakin meningkat karena melihat presidennya tampil langsung sebagai panglima dalam perang melawan pandemi.
”Di Selandia Baru, Singapura, itu juga pimpinannya memimpin langsung. Jadi, leadership (kepemimpinan) harus tampak clear dan kuat,” kata Djohermansyah.
Namun, tak cukup hanya itu. Djohermansyah mengingatkan, pada era otonomi daerah, pemerintah daerah juga harus membantu pemerintah pusat. ”Pada era otonomi daerah, separuh power itu pindah ke daerah. Karena itu, peran kepala daerah strategis dan harus dilibatkan secara langsung,” katanya.
Sinkronisasi data
Persoalan lain yang menonjol dalam setahun pandemi adalah persoalan akurasi data.
Sebagai contoh, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang juga Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, beberapa waktu lalu menyatakan, ada dua juta data Covid-19 dari daerah yang belum masuk ke dalam rekapitulasi data pemerintah.
Hal ini sontak memicu pertanyaan publik dan memantik keraguan terhadap akurasi data Covid-19 yang dikelola pemerintah. Problem data juga sebelumnya dikeluhkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang menyebut data Covid-19 antara pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jabar berbeda.
Pengajar Ilmu Komunikasi dari Universitas Media Nusantara (UMN), Ignatius Haryanto, menilai persoalan data menjadi hal paling mendasar yang harus dibenahi. ”Dahulukan perbaikan data dan gunakan secara tepat, bukan mendahulukan ego sektoral,” ujarnya.
Negara kita sesungguhnya bisa belajar dari negara lain soal ini, misalnya Taiwan. Negara tersebut telah mengantisipasi penyebaran pandemi melalui penggunaan sistem kesehatan berbasis data yang terintegrasi. Kemudian, setelah diumumkan Covid-19 dapat menular antarmanusia, Pemerintah Taiwan dengan cepat mengintegrasikan data besar asuransi nasional ke dalam sistem imigrasi dan bea cukai. Data itu digunakan untuk pemetaan populasi berisiko berdasarkan gejala, keluhan, serta riwayat perjalanan.
Tak heran, sejak awal pandemi, Taiwan hanya mencatatkan sebanyak 955 kasus dan 9 orang meninggal hingga Senin (1/3/2021). Padahal, negara itu hanya berjarak 130 kilometer dari asal virus SARS-CoV-2 ditemukan, yaitu di Wuhan, China.
Contoh lain di Selandia Baru. Faktor kunci keberhasilan negara itu adalah kecepatan penerapan penguncian wilayah setelah kasus-kasus awal. Hingga saat ini, total kasus di negara tersebut sebanyak 2.378 kasus, dengan total kematian 26 orang.
Modal sosial
Terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada dalam setahun terakhir, Pemerintah Indonesia memiliki modal sosial yang besar dalam penanganan pandemi.
Dari hasil survei Litbang Kompas pada Januari 2021, mayoritas publik mengapresiasi kerja-kerja pemerintah di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam mengatasi dampak pandemi. Setidaknya 70 persen responden yakin pemerintah mampu mengatasi pandemi. Modal sosial ini seyogianya bisa menjadi pelecut bagi pemerintah agar lebih agresif menangani pandemi dan dampak ikutannya.
Dalam wawancara dengan Kompas, Jumat (26/2/2021), Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyampaikan, ketika kasus positif Covid-19 muncul pertama kali di Indonesia, tahun lalu, pemerintah pusat dan daerah sama-sama belajar. Kemudian, dengan berjalannya waktu, sinergi lintas instansi, termasuk pusat dan daerah, coba terus diperkuat.
”Makanya tim inti dari penanganan Covid-19 yang minimal rapat tiap Senin pagi itu salah satunya adalah Menteri Dalam Negeri, TNI, dan Polri, selain Menteri Kesehatan. Empat pilar utama,” katanya.
Sebagaimana disampaikan Djohermansyah, pemerintahan yang efektif akan berpengaruh pada kepercayaan publik. Namun, jika kepercayaan itu tak muncul, Indonesia akan terus terkungkung dalam krisis.
Survei Litbang Kompas memperlihatkan, mayoritas responden yakin pemerintah mampu mengatasi pandemi. Kini, saatnya pemerintah membuktikan bahwa keyakinan mayoritas responden itu tidak salah. (NIKOLAUS HARBOWO/RINI KUSTIASIH/SUHARTONO/FX LAKSANA AS)