Ketua Pansus Papua DPD Anggap RUU Otsus Papua Belum Wakili Aspirasi Daerah
Ketua Pansus Papua DPD Filep Wamafma menyebut, RUU Otsus Papua belum mewakili aspirari daerah. Pemda Papua, DPR Papua, ataupun Majelis Rakyat Papua belum diajak berbicara oleh pemerintah dalam penyusunan draf RUU itu.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua yang drafnya kini telah masuk di Dewan Perwakilan Rakyat dinilai belum mewakili aspirasi dari daerah. Dewan Perwakilan Daerah meminta RUU Otsus Papua dibahas tripartit antara DPR, pemerintah, dan DPD.
Anggota tim kerja pembahasan RUU Otsus Papua dari Komite I DPD, Filep Wamafma, dihubungi pada Selasa (2/3/2021) dari Jakarta, mengatakan, sesuai ketentuan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), pembahasan UU dilakukan secara tripartit, yakni antara pemerintah, DPR, dan DPD.
Khusus mengenai RUU Otsus Papua, DPD menilai penyusunannya belum mendengarkan masukan dan aspirasi dari daerah. Perwakilan kepentingan daerah, yakni pemerintah daerah, DPR Papua, ataupun Majelis Rakyat Papua, belum diajak berbicara oleh pemerintah dalam penyusunan draf RUU tersebut.
Menurut dia, dua poin yang diajukan sebagai perubahan oleh pemerintah, yakni tentang penambahan dana otsus dan pengaturan soal pemekaran wilayah di Papua, itu belum mampu menjawab persoalan di daerah.
”Sebab, dari hasil kajian Pansus Papua yang dibentuk Komite I DPD, sejumlah ketentuan di UU Otsus yang lama belum diterapkan dengan baik sehingga mestinya dievaluasi oleh pemerintah,” ujarnya.
Filep mengingatkan, pembentukan UU Otsus Papua berbeda dengan UU yang lain karena ada kekhususan menyangkut penyiapan draf dan substansi UU. UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua telah mengatur diberikannya kewenangan kepada DPRP dan MRP untuk memberikan pertimbangan dalam revisi UU Otsus Papua.
Oleh karena itu, masukan dari DPRP dan MRP harus sungguh-sungguh menjadi acuan utama penyusunan draf revisi UU Otsus Papua. Sayangnya, hal itu, lanjut Filep, belum dijalankan pemerintah. Menurut dia, pemerintah seolah mengesampingkan UU Otsus Papua dan mengambil jalan pintas dengan alasan anggaran segera berakhir.
”Jika hal ini diteruskan, dan ada keterpaksaan dalam pembahasannya, serta ada pelanggaran terhadap kewenangan DPRP dan MRP, ini sama saja dengan melanggar UU dan konstitusi,” ujar Filep yang juga senator dari Papua Barat.
Sebagai Ketua Pansus Papua di Komite I DPD dan juga anggota tim kerja pembahasan RUU Otsus Papua, Filep mendorong Komite I DPD meminta pemerintah dan DPR agar membahas RUU itu sesuai prosedur. Artinya, masukan dan pendapat dari pemda, DPRP, dan MRP harus didengarkan.
Bahkan, menurut dia, pemerintah juga diminta terbuka terhadap diskusi dengan kelompok-kelompok yang menolak otsus. Bagaimanapun suara mereka harus didengarkan dan dicarikan solusi terbaik. ”Jika hal itu tidak dilakukan, revisi UU Otsus Papua ini hanya akan menjadi awal dari persoalan Papua 20 tahun ke depan,” ujarnya.
Di luar isu kenaikan dana otsus dan pemekaran wilayah, ada beberapa hal lain yang sebetulnya sangat krusial bagi warga Papua. Hal itu, antara lain, mengenai aktivasi Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang sebetulnya menjadi tuntutan dari warga di akar rumput. Selain itu, ada pula pengaturan mengenai hak ekonomi warga Papua, perlindungan masyarakat adat, akomodasi terhadap partai politik (parpol) lokal sebagaimana juga ditemui di daerah yang menjalani otonomi khusus lainnya, yakni Aceh.
Upaya menaikkan dana otsus ditanggapi positif, tetapi itu bukan segalanya. Sebab, menurut Filep, pada kenyataannya dana otsus 20 tahun terakhir belum berhasil mengangkat kondisi masyarakat Papua. Pada akhirnya, dana itu hanya dinikmati kelompok elite tertentu, sementara masyarakat cenderung apatis.
”UU Otsus Papua ini subyek utamanya rakyat Papua. UU ini semestinya dibuat untuk memberdayakan, melindungi, dan meningkatkan kesejahteraan warga di Papua. Jadi tidak boleh gegabah dan memaksakan sesuatu yang berpotensi ditolak. Karena itu, hal-hal filosofis di UU Otsus Papua itu harus diperhatikan, dan tidak hanya atur kenaikan dana otsus atau pemekaran,” ucapnya.
Jaring aspirasi
Guru Besar Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, sebenarnya sudah pernah ada draf revisi UU Otsus Papua di era pemerintahan sebelumnya yang diajukan ke DPR. Draf RUU itu dinamai RUU Otsus Papua Plus karena itu bukan hanya bersifat revisi. Namun, mengganti substansi-substansi krusial di dalam UU Otsus Papua yang lama. Ketika itu, Djohan dan tim ikut menyusun dengan menjaring aspirasi dari daerah.
Menurut dia, RUU tersebut disiapkan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan DPR periode 2009-2014. ”RUU itu disusun hampir dua tahun, dan melalui prosedur sebagaimana diatur di UU Otsus Papua, yakni dengan meminta masukan DPRP dan MRP. Karena prosesnya yang lama, draf RUU itu telat dibahas tahun 2014. Akibatnya, RUU itu tidak dapat dibahas pada periode DPR yang baru karena belum ada aturan carry over RUU,” ujar mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu.
Menurut Djohan, jika pemerintah bersedia, sebenarnya draf RUU Otsus Papua Plus itu masih tersimpan di DPR. Artinya, hasil usulan dari pemerintahan sebelumnya itu dapat dijadikan acuan kembali dalam penyusunan RUU Otsus Papua. Selain itu, untuk mengatasi kendala proses yang lama dalam penyerapan aspirasi masyarakat Papua, dalam waktu dekat ini harus ada upaya dari Presiden Joko Widodo atau perwakilannya yang ditunjuk untuk menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh kunci di Papua dan Papua Barat.
”Karena saat ini posisi draf RUU sudah di DPR, dan sudah ada pansus yang akan membahas, sebaiknya pemerintah bergerak cepat. Pemerintah harus menemui tokoh-tokoh Papua, mulai dari kepala daerah, tokoh adat, dan tokoh agama, selain juga DPR Papua dan MRP yang memang diamanatkan UU Otsus Papua memberi pertimbangan dalam penyusunan revisi UU Otsus Papua,” ujarnya.
Jika langkah itu tidak segera diambil, Djohan mengkhawatirkan sikap antipati warga kian tereskalasi, dan penolakan terhadap RUU itu makin masif. RUU itu ditakutkan tidak lagi menjadi solusi, tetapi justru memperpanjang persoalan yang terjadi di Papua. ”Sama saja dengan kita menyimpan bom waktu di sana,” katanya.
Secara terpisah, anggota Pansus RUU Otsus Papua DPR RI Guspardi Gaus mengatakan, pembahasan RUU itu belum dapat dilakukan saat ini karena DPR masih reses. Agenda pembahasan akan segera disusun setelah masa sidang keempat DPR dibuka, 8 Maret 2021. Akan tetapi, persoalan draf RUU Otsus Papua yang ditolak oleh sejumlah elemen itu pun telah didengarnya.
”Ya, kami mendengar kalau di UU Otsus Papua itu ada aturan mereka (DPRP dan MRP) yang seharusnya membahas. Saya belum membaca detail mengenai hal ini. Namun, kalau memang betul proses itu belum dilakukan, kita harus akomodatif juga. Bisa saja mereka mengajukan usulannya ke pansus, lalu kami bicarakan mana yang perlu dikritisi, dan disempurnakan, serta dikurang-tambahkan,” katanya.
Guspardi menegaskan, aspirasi masyarakat Papua harus didengarkan sehingga tidak memicu resistensi terhadap keberadaan revisi UU tersebut.