”Dua Wajah” di Balik Keputusan Politik Istana
Dalam wawancara dengan ”Kompas”, Mensesneg Pratikno menyampaikan tantangan berat Presiden Jokowi dan pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 setahun terakhir. Di antaranya harus dihadapi dengan ”dua wajah”. Apa itu?
Satu tahun penanganan pandemi Covid-19 sarat lika-liku. Publik melihat berderet keputusan yang dikeluarkan pemerintah sejak awal 2020 membuat kelegaan, tetapi di balik keputusan tersebut sebenarnya ada ”dua wajah” tersembunyi, yakni bagaimana menyampaikan masalah serius tanpa kepanikan di masyarakat.
”Salah satu tantangan terberat kita waktu itu, bagaimana mengomunikasikan bahwa ini hal serius tetapi juga tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat. Kami menjaga agar masyarakat tidak panik karena kami khawatir, kepanikan terhadap penyakit akan diikuti kepanikan-terhadap yang lain. Dan, implikasinya bisa social unrest. Itu yang kami jaga walaupun itu harganya mahal bagi pemerintah, dianggap tidak serius,” ujar Menteri Sekretaris Negara Pratiko, saat diwawancarai Kompas di ruang kerjanya di Gedung Utama Setneg, Jakarta, Jumat (26/2/2021).
Seperti apa proses dan dinamika pengambilan keputusan politik Presiden Joko Widodo dibantu para menteri selama pandemi hingga kini, terutama di lingkaran Istana Kepresidenan?
Sekitar 90 menit, dengan santai, Pratikno, yang mengenakan baju lengan pendek berwarna biru dongker, celana hitam dan sepatu kets, bercerita terbuka. Berikut sebagian petikannya.
Bagaimana cerita sejak awal penanganan pandemi di lingkaran Istana?
Presiden pertama kali memimpin rapat terbatas Covid-19 pada 2 Februari 2020 siang di Halim Perdanakusuma setelah mendarat dari perjalanan luar kota. Setelah itu, rapat terus-menerus.
Yang tercatat di saya, 62 kali rapat khusus terkait Covid-19, mulai 2 Februari 2020 sampai sekarang. Sebanyak 51 kali rapat, di antaranya dipimpin Presiden. Ini belum termasuk Presiden panggil langsung, dan menelepon menteri.
Ketika kasus Wuhan di China muncul, terus terang kita sangat kebingungan. Waktu WHO memutuskan untuk darurat kesehatan global, 30 Januari 2020, kita tidak tahu ini penyakit apa dan kita harus bagaimana. Selanjutnya Wuhan di-lockdown. Maka kita evakuasi pertama kali WNI. Evakuasi ini kompleks.
Apa cerita selanjutnya?
Bagaimana mengevakuasi dan karantina mereka? Mayoritas mengusulkan di kapal. Pertimbangannya karena kapal itu isolasinya bagus dan bisa dekat dengan layanan publik. Tapi, Presiden tidak setuju karena orang sehat justru bisa sakit karena lama perjalanannya dan karantina di kapal.
Keputusannya, bukan main sulitnya. Presiden akhirnya memutuskan evakuasi dengan pesawat dan karantina di darat, tetapi di mana? Syaratnya harus dekat bandara, tetapi tidak mudah. Karena evakuasi memakai pesawat berbadan lebar. Mencari lokasi yang terisolasi, artinya jauh dari tempat permukiman, dekat dengan bandara, dan ada rumah sakit. Akhirnya diputuskan Natuna. Cerita di balik itu, heroik sekali. Kelihatannya mudah, tetapi teknisnya tak semudah itu.
Baca juga: Perlombaan Mutasi dan Vaksinasi Covid-19
Bagaimana selanjutnya?
Lockdown dalam bahasa hukum kita adalah karantina. Tapi (sebagian) ekonomi kita adalah ekonomi informal. Ekonomi yang hidup dari mobilitas orang, dari crowd seperti tukang parkir, penjual, warung. Kalau tidak ada crowd, langsung kolaps. Makanya, Pak Presiden mengatakan, ini gas dan remnya harus tepat. Orang komplain, kan. Ini, kok, gesturnya pemerintah santai. Di luar kita dianggap tidak serius. Tapi sebenarnya kami pening.
Mengapa mesti begitu?
Dari awal kita tahu, tidak mungkin fiskal kita mampu mensubstitusi belanja kelas menengah atas dalam waktu panjang. Padahal, yang menghidupi kelas bawah selama ini adalah belanjanya kelas menengah dan atas. Dalam waktu setengah tahun saja sudah berat sekali kemampuan fiskal kita untuk bisa mengambil alih belanja kelas menengah dan atas. Maka, kemudian kita harus mengganti belanja kelas menengah atas ini dengan belanja pemerintah. Mengapa beban fiskal kita menjadi sangat berat, karena menyubstitusi itu.
Kalau seandainya di negara maju yang banyak pekerja formalnya, tidak banyak orang hidup dari bekerja yang mengandalkan crowd, ceritanya mungkin lebih mudah. Karena masyarakat bawah itu hidupnya dari mobilitas dan ”di jalan” dan di crowd, itu yang membuat program skala mikro di daerah-daerah padat sulit untuk dilakukan. Makanya yang relatif jalan di desa-desa.
Jadi kita ini selalu dihadapkan dengan dilema-dilema ketika membuat keputusan. Jadi kalau tegas, iya. Tapi harus memikirkan mana yang tidak memberikan dampak besar kepada masyarakat yang rentan. Termasuk bisnis yang rentan. Idenya Pak Presiden adalah meminimalisasi risiko ekonomi tapi cukup efektif mengerem laju Covid-19.
Apa tantangan terberatnya?
Jadi, ya, stres. Berat badan Pak Presiden turun sampai 4 kilogram. Sekitar pertengahan 2020. Tekanannya luar biasa. Sekarang beratnya sudah tambah.
Kalau kita menunjukkan gestur panik, masyarakat bisa semakin panik. Padahal, sebetulnya kita tertekan juga di balik layar. Jadi kita ini kayak main drama. Dalam kehidupan riil, kita stres betul. Begitu tampil ke publik, setenang mungkin. Kita memang harus kerja keras agar setenang mungkin.
Waktu itu, kita kayak dua muka. Di dalam kita deg-degan. Di bawah panggung kita deg-degan. Kalau dibilang panik, nggak tepat juga. Kita hectic (pontang-panting). Tapi, kalau di atas panggung, Pak Presiden ingin menunjukkan gestur jangan panik. Karena kalau panik, akan diikuti panik-panik lainnya, termasuk panic buying yang kita khawatirkan.
”Lockdown” atau PSBB
Untuk mengatasi pandemi Covid-19, Presiden Jokowi akhirnya memilih pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan bukan lockdown atau karantina. Presiden tak hanya melawan ”arus” keinginan karantina dari sebagian publik bahkan sebagian menteri mengusulkan lockdown.
Apa dasar di balik keputusan Presiden itu?
Presiden berpandangan, jika ada orang terinfeksi Covid-19, masa satu kota harus ditutup. Di mata Presiden, korbannya akan terlalu banyak. Praktik lockdown ternyata juga tak mudah, kaitannya dengan pelacakan. Berarti kita kan harus melakukan testing aktif dan tracing, ketemu orang yang kena, orang itu kemudian diisolasi. Padahal, kemampuan tracing di level mikro jadi kendala dan tidak bisa cepat.
Karena itu, pendataan Menteri Kesehatan mencoba masuk ke mikro. Pelajaran dari negara lain, lockdown juga tak secara nyata diikuti penurunan kasus. Sementara dampak ekonomi langsung terasa. Jadi keputusannya mengambil inspirasi dari sisi negatif lockdown. Selain itu, Presiden itu sensitif sekali dengan kelas bawah. Sensitivitas ke bawah itu juga yang saya kira membuat beliau memutuskan lebih ke PSBB skala mikro juga.
Seperti apa dukungan politik dan sosial?
Yang luar biasa dari Indonesia adalah modal sosial, itu luar biasa. Partisipasi masyarakat luar biasa. Tapi, yang juga luar biasa juga dukungan politik. Misalnya, pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Tidak banyak keributan ketika revisi APBN oleh Menteri Keuangan. Bahkan, hal-hal yang sangat fundamental di luar Covid-19, seperti Undang-Undang Cipta Kerja. Keributan di sosial media dan lain-lain, itu biasa.
Idenya Pak Presiden, jangan sampai kita tidak mempersiapkan diri melompat pascakrisis. Jadi, ibaratnya kendaraan di jalan harus tetap jalan meski pelan agar tetap melaju kencang begitu (krisis Covid-19) selesai.
Koordinasi pemerintah daerah seperti apa?
Dengan menyatakan kondisi darurat, maka punya dasar hukum untuk masuk. BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) juga punya basis landasan hukum kuat karena ini jadi bencana nasional non-alam.
Baca juga: Memakai Masker Ganda dengan Benar
Dengan pemerintah daerah, selain jalur birokrasi normal yang secara politik memang otonom, kita juga (memberdayakan) TNI dan Polri. Berurusan dengan politisi di daerah memang harus banyak art-nyalah.
Makanya, Pak Presiden sering sekali memanggil gubernur. Misalnya untuk daerah-daerah yang menjolak kasusnya, untuk ditanyakan apa masalahnya. Di luar itu, BNPB, TNI, dan polri terus membantu, terutama 3M dan 3T. Tapi, ketika kasus positif Covid-19 pertama itu terjadi, kita semua serba belajar. Termasuk pemerintah daerah.
Awal-awal dulu, inisiatif daerah itu menimbulkan masalah baru karena kita harus melakukan sinkronisasi lagi, harus rapat lagi. Satu per satu menteri juga diminta menghubungi personal kepala daerah. Kita semua lagi belajar mencoba untuk mengintepretasikan ini dan sebagai politisi, banyak kepala daerah yang berpikir untuk merespons aspirasi.
Vaksinasi dan Fokus 2021
Fokus pemerintah pada 2021, baik perhatian maupun seterusnya tidak berkurang. Hanya agenda yang bergeser dari pencegahan penularan lewat 3M dan 3T, sekarang jadi energi besar, vaksinasi. Energi mengatasi Covid-19, juga belum turun. Namun, jenis kegiatannya berbeda.
Langkah 2021 seperti apa?
Top of mind-nya tetap Covid-19. Dari sisi kesehatan, kita tetap harus waspada dan preventif lebih baik. Pembangunan tetap jalan. Triwulan ini kita sudah putuskan untuk fokus pada padat karya. Untuk itu, realokasi anggaran lagi untuk proyek-proyek padat karya. Ini dilakukan semua kementerian dan lembaga, terutama untuk daerah suburban dan perdesaan. Kalau perkotaan, digenjot bansos.
Tapi, yang penting juga adalah ekonomi untuk bergerak. Bagaimana kita mengeluarkan uang yang mandeg di perbankan misalnya. Begitu vaksinasi selesai, maka mobilitas orang mulai bisa dibuka dengan protokol kesehatan.
Dengan demikian, berarti pariwisata menjadi penggerak penting ekonomi, bisa berjalan. Industri kreatif bisa bergerak, retail bisa jalan lagi. Otomatis belanja kelas menengah atas mulai mengalir, uangnya bisa keluar. Sekarang ini, tabungannya justru meningkat.
Tentu saja pemulihan ekonomi bisa terjadi ketika demand bergerak. Tapi yang lain juga, kita perlu proyek baru menyedot uang dunia yang menganggur. Beberapa investasi kan terbukti masuk. Ibu kota baru masih dibicarakan. Karena ada konsekuensi ke fiskal. Kita harus tetap menjaga kredibilitas fiskal kita.
Bagaimana vaksinasi dijalankan?
Vaksinasi kita termasuk cepat dan berani. Teori yang digunakan waktu itu, kalau begini caranya, kepercayaan dunia bisnis akan meningkat jika kesehatan tertangani. Diputuskan pengadaan dan membuat vaksin, maka didorong vaksin Merah Putih. Vaksin Merah-Putih ini adalah pengalaman pertama. Masih terus didorong. Kalaupun kita sudah melakukan vaskinasi, kita mikirnya masih banyak belahan dunia lain yang belum vaksin. Dan, kita juga belum tahu, imunitasnya ini bertahan berapa lama.
Vaksinasi butuh waktu 15 bulan. Apa usaha percepatannya?
Menkes berusaha mempercepat. Jangan sampai jadwal vaksin tertunda karena ketidaksiapan vaksinasi. Selama vaksinnya ada, ya, langung cepat dijalankan. Kolaborasi melibatkan lembaga-lembaga lain dijalin. Presiden akan ke daerah dan minta saya kawal vaksinasi daerah. Presiden juga bilang ke Menkes membuat permanen tempat-tempat vaksinasi sehingga mayarakat tahu.
Vaksinasi berjalan baik. Cuma ini masalah volume. Karena kita harus memastikan vaksinasi pada waktu bersamaan untuk membangun herd immunity. Vaksin itu ada batas waktunya dan herd immunity terbangun ketika vaskinasi dilakukan serentak. Maka, kecepatan menjadi penting.
Jangan sampai ini disuntik, yang lain baru disuntik ketika yang lain tidak imun lagi. Maka kecepatannya itu penting. Beberapa epidemiolog melihat, vaksinasi di Indonesia kelihatannya banyak, tapi, kan, durasinya panjang sehingga enggak akan ngejar untuk mencapai herd immunity-nya. Makanya ini harus fokus.
Komunikasi Presiden Jokowi dengan kepala negara lain?
Pak Presiden termasuk sangat rajin menjaga komunikasi informal. Ya, gaya Pak Presiden, kan, enggak terlalu formal diplomatik. Termasuk ketika berkomunikasi dengan negara lain, ya begitu beliau. Dan, menurut saya, itu sangat membantu pasukan diplomasi formal.
Ini terasa banget ketika bicara mengenai vaksin. sebelum vaksin, ya, kita saling belajar saja. Pak Presiden sering menelepon kepala negara lain untuk belajar dari pengalaman negara lain. Termasuk ketika membangun aksi kolektif.
Presiden juga rajin menelepon produsen vaksin untuk membantu Menteri Kesehatan dan Menteri Luar Negeri. Presiden juga, selain belajar, mengambil inspirasi dari negara lain. (HAR/ADP/SUT)