Soal Bupati Sabu Raijua, MK Jangan Terbebani Syarat Formil
Kasus kewarganegaraan calon Bupati Saju Raijua terpilih, Orient P Riwu Kore, berlabuh di MK. Meski tetap melihat syarat formal pengajuan perkara, MK membuka peluang menangani perkara jika keadilan elektoral terlanggar.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diharapkan menjadi jalan terakhir atas kebuntuan persoalan bupati terpilih Sabu Raijua, Orient Patriot Riwu Kore, yang masih mengambang hingga kini.
Polemik bupati terpilih yang berkewarganegaraan asing itu diharapkan segera berakhir dan ada kepastian hukum. Oleh karena itu, MK dituntut membuat terobosan hukum dan tak terpaku pada syarat formil pemeriksaan perkara semata.
Dua perkara perselisihan hasil pilkada (PHP) Bupati Kabupaten Sabu Raijua telah diregistrasi oleh MK. Perkara pertama diregistrasi dengan Nomor 133/PHP.BUP/XIX/2021. Perkara itu diajukan pada 16 Februari dan diregistrasi pada 26 Februari 2021.
Adapun perkara kedua diregistrasi dengan Nomor 134/PHP.BUP.XIX/2021. Perkara kedua ini diajukan pada 18 Februari dan diregistrasi pada 26 Februari 2021.
Jika melihat pada dokumen permohonan, penetapan rekapitulasi hasil perhitungan suara dan penetapan hasil pemilihan Bupati Sabu Raijua tahun 2020 sudah dilakukan pada 16 Desember 2020.
Mengacu pada Pasal 157 Ayat (5) UU No 10/2016 tentang Pilkada, peserta pemilihan dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil perhitungan suara oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota kepada MK paling lambat tiga hari kerja sejak diumumkan KPU.
MK dituntut membuat terobosan hukum dan tidak terpaku pada syarat formil pemeriksaan perkara semata.
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, pada prinsipnya, MK tetap melihat ketentuan mengenai batas waktu pengajuan dan ambang batas selisih perolehan suara sebagai syarat formil sebuah perkara.
MK akan melihat apakah seluruh tahapan telah dilakukan sebagaimana mestinya. Jika seluruh tahapan telah dilakukan sesuai aturan, tentu permohonan yang telah melewati batas waktu pengajuan akan tidak diterima oleh MK.
”Jika ada tahapan pilkada sudah selesai semua ternyata ada yang bermasalah dalam pelaksanaannya, hanya MK yang bisa memutus. Karena jika diputus institusi lain, putusannya pasti akan digugat, misalnya, lewat PTUN,” kata Enny.
Sebagaimana diketahui, sejumlah perkara yang sudah diregistrasi di MK tidak dapat diperiksa pokok perkaranya karena melewati batas waktu pengajuan. Menurut kajian Kode Inisiatif, ada 15 perkara yang melewati batas waktu pengajuan. Hasilnya, perkara diputus tidak dapat diterima oleh MK dan tidak dapat diperiksa pokok perkaranya.
Baca juga: Status Bupati Sabu Raijua Terpilih Masih Mengambang
Meskipun demikian, ada satu perkara dalam pilkada serentak 2020 yang melewati batas waktu tetapi berlanjut ke pemeriksaan. Perkara itu tak lain sengketa hasil pilkada Kabupaten Samosir, Sumatera Utara.
Pasangan calon Rapidin Simbolon dan Juang Sinaga mendaftarkan gugatan pada 21 Desember 2020, sedangkan hasil rekapitulasi diumumkan pada 16 Desember 2020, (Kompas, 28/2/2021).
Enny juga menjelaskan bahwa UU Pilkada sebenarnya telah membagi kewenangan hukum setiap institusi penyelenggara pilkada. Bahkan, ada penambahan penguatan kewenangan pada Bawaslu hingga jajaran ke bawah.
Namun, jika ternyata kewenangan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, dapat dikatakan keadilan elektoral tidak dapat diwujudkan. Oleh karena itu, pemohon dapat mencari keadilan konstitusional di MK. Sebagai penegak konstitusi, MK dituntut melaksanakan fungsi untuk memberikan keadilan elektoral tersebut.
Jika ternyata kewenangan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, dapat dikatakan keadilan elektoral tidak dapat diwujudkan. Oleh karena itu, pemohon dapat mencari keadilan konstitusional di MK.
Enny mencontohkan, dalam putusan terhadap pilkada di Kabupaten Sampang tahun 2018, Nomor 38/PHP.BUP-XVI/2018, MK memerintahkan pemungutan suara ulang karena KPU Kabupaten Sampang tidak menggunakan Daftar Penduduk Potensial Pemilihan (DP4) sebagai acuan.
Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dibuat oleh KPU Sampang dinilai tidak valid, tidak logis, dan janggal dalam penyelenggaraan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sampang Tahun 2018.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menilai adanya persoalan serius masalah DPT. MK melihat ada pengurangan jumlah pemilih dalam DPT yang sebelumnya 803.499 pemilih menjadi 767.032 pemilih dalam DPT yang dipergunakan ketika pemungutan suara ulang.
DPT kemudian diperbaiki mengacu pada UU Pilkada yang hasilnya ditetapkan dengan daftar pemilih tetap hasil perbaikan (DPTHP). DPTHP disepakati oleh para pihak termasuk peserta pilkada.
”Dalam perkara Sampang tahun 2018, tahapan penyusunan DPT dilakukan tidak sesuai dengan aturan. Penyusunan DPT itu kemudian harus dikembalikan pada ketentuan yang semestinya sehingga pilkada harus diulang,” kata Enny.
Jika ditemukan ada masalah yang berdampak pada hasil atau esensi pilkada, seharusnya bisa menjadi pertimbangan MK untuk menerima perkara. Apalagi, jika MK memang mengejar keadilan substantif pilkada.
Jangan formalistik
Peneliti Kode Inisiatif, Ihsan Maulana, berpendapat, dalam sengketa hasil pilkada sebelumnya, batas waktu pengajuan merupakan syarat formil yang selalu diperiksa MK pertama kali. MK cukup konsisten dan ketat terhadap ketentuan pada Pasal 157 Ayat (5) UU Pilkada tersebut. Jika melewati batas waktu, dapat dipastikan perkara tidak dapat diterima.
Namun, seharusnya, jika memang ditemukan ada masalah yang berdampak pada hasil atau esensi pilkada, seharusnya bisa menjadi pertimbangan MK untuk menerima perkara. Apalagi, jika MK memang mengejar keadilan substantif pilkada.
”Kalau MK formalistik dan menggunakan kacamata kuda, maka tidak akan ada perkara lewat batas waktu atau ambang batas yang diterima. Nyatanya, dalam perselisihan Pilkada 2020, ada sembilan perkara yang melewati ambang batas dan batas waktu yang lanjut ke pokok perkara. Terkait perkara Kabupaten Sabu Raijua yang baru saja masuk ke MK, ini akan tergantung pilihan MK untuk membuat terobosan hukum,” kata Ihsan.
Ihsan juga berpendapat, MK seharusnya tidak terbebani dengan ketentuan di Pasal 157 Ayat (5) UU Pilkada sebagai syarat formil. Untuk ketentuan syarat ambang batas selisih perolehan suara saja, MK telah membuat terobosan sejak tahun 2017. Terobosan hukum tersebut dapat dijelaskan di pertimbangan hukum putusan. MK bisa menegaskan bahwa perkara yang melewati batas waktu pengajuan hanya dapat diterima secara kasuistik.
”Disampaikan pada pertimbangan hukum putusan saja sudah cukup menurut kami. Agar tidak menjadi preseden buruk di masa depan dan memberikan kepastian hukum,” kata Ihsan.